Hiruk-Pikuk Pernyataan Ahok, Apa Betul Ini “Test The Water”?
NU Online · Rabu, 19 Oktober 2016 | 23:00 WIB
Pekan lalu hingga kini, efek pernyataan Ahok terkait Al Maidah:51 masih menjadi obrolan ramai di media sosial. "Efek gelombangnya sangat fantastis," demikian yang ada di benak saya, sebagai orang awam.
Belakangan "gelombang" dari pernyataan Ahok yang kemudian direspon sebagai bentuk "penistaan agama" berujung pada peralihan isu, yang tohokannya menyerang lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya yakin ini cuma gara-gara rekomendasi yang dikeluarkan MUI tentang dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ahok.
Isunya beragam, mulai dari "MUI berpolitik" sampai dengan munculnya "Petisi Audit Dana Sertifikasi Halal." Dalam konteks sebagai institusi, pernyataan KH Makruf Amin sebagai Ketua Umum MUI sudah jelas, mewakil lembaga MUI yang tetap berdiri di tengah. Ia mengatakan, "Bahwa Ahok dimaafkan, tetapi proses hukum jalan terus." Sampai-sampai beredar meme KH Makruf Amin dengan kalimat, "MUI tidak memasuki wilayah politik, Ahok yang mencampuri wilayah MUI."
Lagi-lagi sebagai orang awam, saya menilai pernyataan KH Makruf Amin ini sudah sangat netral sekali. Kenapa demikian? Karena pernyataan Ahok terkait Al Maidah 51 ini, telah menjadi delik aduan. Logika saya, namanya ada yang melaporkan, ya aparat kepolisian harus menindaklanjuti laporan tersebut. Oleh karenya saya menjadi bingung, ketika sejumlah kelompok masih menyalahkan MUI dalam kasus ini, bahkan menggiring opini "menohok" ke MUI. Sudahlah, lupakan saja analisis dangkal saya ini tentang ini.
Kembali ke Ahok, sejak beredar video di Youtube tentang Al Maidah ayat 51 yang dilontarkan Ahok saat bertemu dengan warga di Kepulauan Seribu, saya banyak mendapat pertanyaan dari kawan, kolega, bahkan mahasiswa yang sekadar mengajak ngobrol-ngobrol.
Saya hanya mampu menjawab seenak udel saya saja, bahwa dugaan sementara Ahok tengah test the water, melempar batu di tengah kolam yang airnya tenang. Jika saya menjadi konsultan politik, isu Al Maidah 51 ini secara logika terbalik sekaligus mengukur tingkat "gelombang" lemparan tadi, apakah besar atau kecil, dan siapa yang menangkap "gelombang" itu. Setidaknya menjadi rujukan mengukur popularitas dan elektabilitas sebagai kandidat gubernur. Ternyata "gelombangnya" besar. Lumayan, berarti bisa menyimpan "stok isu" yang suatu saat bisa dilemparkan kapanpun.
Saya tidak marah dengan Ahok secara pribadi, karena saya juga tidak dikenal Ahok. Tapi yang saya sayangkan pada sosok dia, ketika Al Maidah 51 terlontar, dan ditafsirkan beragam pandangan, apakah Ahok sadar eskalasi "gelombang" isu ini justru menjadikan para ulama dan para orangtua kita semua yang dipercaya memiliki ilmu mumpuni, tempat kita meminta pendapat, justru menjadi "sasak tinju," yang berujung pada tuduhan institusi keagamaan A, B, dan C main politik.
Saya tetap punya pikiran positif, dan yakin para ulama kita bicaranya bukan soal dukung atau tidak mendukung, tapi lebih pada bagaimana perhelatan politik ini tidak berakhir pada kekisruhan yang justru lebih besar kerugiannya.
Di luar itu, ada yang aneh sebenarnya. Dari rentetan kejadian ini, saya belum melihat ada pihak yang menyoalkan Ahok dengan menggunakan tema-tema pelanggaran Pemilu. Alasan saya simpel. Karena ketika Ahok bertandang menemui warga di Kepulauan Seribu itu, bisa jadi sedang kunjungan kerja sebagai gubernur. Ini artinya: Ahok bisa dikenakan pasal "menggunakan fasilitas negara."
Ditambah lagi Ahok melontarkan pernyataan tentang "memilih saya" tidak dalam posisi cuti. Setahu saya, dalam aturan Pemilu, Ahok hanya dibolehkan melakukan tindakan "ajakan memilih atau ajakan tidak memilih kandidat lain" bukan dalam kapasitas sebagai gubernur, melainkan sebagai kandidat calon gubernur. Tinggal dianalisis saja oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam konstestasi politik Pilkada Jakarta, apalagi timses kandidat lain. Itu masuk kategori pidana loh, karena "menyalahgunakan kekuasaan."
Entahlah apakah sudah ada yang melaporkan ke Bawaslu soal ini. Dan setahu saya ancaman paling maksimal dalam pelanggaran Pemilu itu adalah didiskualifikasi sebagai calon gubernur.
Terakhir, saya hanya mampu berpesan kepada Ahok, Sang Gubernur Jakarta, hati-hati dalam mengukur "gelombang" batu yang Anda lemparkan ke tengah kolam, jika terlalu besar, khawatir Anda terkena cipratan air di dalam kolam itu. Ini menjadi pelajaran buat Anda, agar ke depan, bahwa dalam kepemimpinan, kita juga belajar tentang etika. Karena yang Anda pimpin ini manusia, sama dengan Anda yang juga manusia. Lain kali Anda lebih santun dalam berpolitik, karena politik juga mengajarkan "politik santun."
Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang & Pembelajar di Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
Terpopuler
1
Suami Alami Lemah Syahwat, Apa Hak Istri dalam Islam? Ini Penjelasan Fiqih Lengkapnya
2
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
3
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
4
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
5
Guru Besar Ushul Fiqih UIN Raden Intan Ungkap Nilai-Nilai Pancasila dalam Tahlilan
6
Refleksi Hari Buku Nasional 2025: Meneguhkan Tradisi Literasi Pesantren
Terkini
Lihat Semua