Opini AMIRUL ULUM*

Huruf Pegon, Pemersatu Ulama Nusantara

Sen, 11 Februari 2013 | 04:02 WIB

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tulisan. Terlebih tulisan Arab Pegon yang merupakan sarana untuk mentransfer ilmu agama dengan perantara dunia tulis-menulis.
<>
Hal ini tidak menafikan adanya transfer ilmu dengan cara mendengarkan materi yang telah disampaikan oleh seorang ulama atau kiai yang mengajak kepada agama Allah dengan melalui lisan, entah dengan cara dakwah keliling atau dengan cara menyelenggarakan pengajian agama di surau-surau atau pesantren-pesantren.

Transfer ilmu dengan tulisan dilakukan oleh ulama atau kiai dengan tujuan agar ilmu bisa lebih terjaga dan bisa dinikmati oleh orang banyak. Bukan orang yang hidup semasanya, namun generasi yang setelahnya juga bisa meneguk ilmu tadi. Para ulama atau kiai tadi menulis juga dikarenakan melihat kondisi kapasitas otak manusia yang tidak bisa luput dari salah dan lupa. Sehingga, perlu adanya pengabadian dengan cara menulis.

Dengan adanya tulisan Arab Pegon di kala itu, ilmu akan lebih terjaga dari perubahan dan penyimpangan. Bukti pentingnya adanya sebuah tulisan, banyak ulama Nusantara di kala itu yang meninggalkan sebuah karya, seperti Suluk Sunan Bonang (Head Book Van Bonang) yang dipercaya sebagai karya Sunan Bonang, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri, karya kiai Rifai Kalisasak, karya kiai Shaleh Darat, dan lain-lain. Karya-karya ulama Nusantara ini kebanyakan ditulis dengan aksara Arab pegon, baik karya asli atau hasil dari terjemahan dari kitab-kitab yang berliteratur Arab.

Huruf Pegon berasal dari lafal Jawa pego, yang mempunyai arti menyimpang. Hal ini dikarenakan memang huruf Pegon ini menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa. Bagi yang pernah nyantri tentunya faham dengan huruf Pegon. Huruf-huruf pegon ini bisa dikatakan sebagai sebuah aksara yang nyleneh karena susunan atau tatanannya yang agak berbeda dengan bahasa aslinya (Arab bukan, Jawa juga bukan).

Arab Pegon ini disebut pula Arab Pego atau Arab Jawi. Yaitu, tulisan yang menggunakan huruf Arab atau huruf hijaiyah, akan tetapi dalam praktik bahasanya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya yang sesuai dengan selera orang yang ingin menggunakannya. Di suatu daerah, Arab Pegon juga disebut dengan Arab Melayu. Hal ini dikarenakan menggunakan bahasa Melayu atau Indonesia; atau bahasa lokal lain yang ditulis dengan huruf Arab.

Penamaan huruf Pegon sangatlah banyak. Di daerah Malaysia dinamakan huruf Jawi. Sedangkan di kalangan pesantren dinamai huruf Arab Pegon. Akan tetapi, untuk kalangan yang lebih luas, huruf Arab Pegon dikenal dengan istilah huruf Arab Melayu karena ternyata huruf Arab berbahasa Indonesia ini telah digunakan secara luas di kawasan Melayu mulai dari Terengganu (Malaysia), Aceh, Riau, Sumatera, Jawa (Indonesia), Brunei, hingga Thailand bagian Selatan. Maka tidak mengherankan, jika kita membeli produk-produk makanan di kawasan dunia Melayu (Malaysia, Thailand Selatan, Brunei, dan beberapa wilayah di Indonesia) dapat dipastikan terdapat tulisan Arab Pegon dalam kemasannya walaupun dengan bahasa yang berbeda. Bahasa tersebut disesuaikan dengan tempat atau Negara yang mengeluarkan produk-produk tersebut.

Huruf Arab Pegon ini mempunyai keunikan tersendiri. Jika dilihat dari kejauhan, tulisan Arab Pegon seperti tulisan Arab pada biasanya. Namun, kalau dicermati sebenarnya, susunannya atau rangkaian huruf-hurufnya bukan susunan bahasa Arab. Orang Arab asli tidak akan bisa membaca tulisan Arab Pegon. Seandainya mereka bisa membaca Arab Pegon, niscaya tidak sejelas dengan bacaan orang Jawa atau Melayu asli.

Mengenai siapa yang menemukan huruf Arab Pegon ada beberapa pendapat. Menurut suatu catatan, huruf Arab Pegon muncul sekitar tahun 1400 M yang digagas oleh RM. Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dentha Surabaya. Sedangkan menurut pendapat lain, penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi Al-Bantani.

Sayangnya, huruf Arab pegon kini tidak lagi dikenal oleh masyarakat Islam secara luas. Padahal, menurut sejarahnya, huruf Arab Pegon telah digunakan secara luas oleh para penyiar agama Islam, ulama, penyair, sastrawan, pedagang, hingga politikus di kawasan dunia Melayu. Peran penjajah juga mempunyai pengaruh dalam menggrogoti berkurangnya pemahaman tentang huruf Arab Pegon. Sebab, pada masa penjajahan dalam pemerintahannya, tulisan yang digunakan untuk urusan negara adalah dengan menggunakan huruf Latin. Sedangkan huruf Arab Pegon terisolir di dunia pesantren. Keadaan ini berbeda dengan sebelum penjajah menginjakkan kakinya di bumi Nusantara.

Kongres bahasa yang diadakan di Singapura pada 1950-an juga telah memperkuat kedudukan huruf Romawi. Salah satu keputusan dalam kongres tersebut menghasilkan pembentukan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia yang mempelopori dan mengompori penggunaan abjad Romawi. Saat itulah hampir semua penerbit koran, majalah, dan buku dengan terpaksa mengganti aksara Arab pegon dengan huruf Romawi.

Pada tahun 2007 telah diselenggarakan Kongres Ijtima Ulama Nusantara ke 2 di Malaysia. Dalam kesempatan ini, ada ulama asal Indonesia (KH. Maimeon Zubair) telah menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya adalah Arab Pegon. Di tengah masyarakat, Arab Pegon mulai ditinggalkan secara perlahan.

KH. Maimeon Zubair dalam beberapa kesempatan tak henti-hentinya memotivasi beberapa pihak untuk senantiasa mentradisikan salaf, termasuk menghidupkan kembali Arab Pegon sebagai ikon salaf yang perlu dilestarikan.

Jika tradisi Arab Pegon ini terlupakan, maka orang Islam di Indonesia ini telah lupa akan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Oleh karena itu, marilah kita menggali dan melestarikan Arab Pegon agar tidak hilang ditelan bumi. Banyak sekali ilmu-ilmu ulama atau kiai terdahulu yang bertuliskan dengan Arab Pegon. Jika bukan kita umat Islam yang melestarikan, lalu siapa?

*Penulis adalah Esais dan ketua Website PP. Al Anwar Sarang Rembang Jateng asal Pati.