Oleh: Rohmatul Izad
Saat ini, hampir semua penguasa di negara-negara Timur Tengah tampaknya telah disibukkan dengan urusan masing-masing yang secara internal merupakan persoalan dalam negeri mereka. Jika memang ada sebagian pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap persoalan daerah wilayah lain dalam lingkup negara-negara Arab, hal itu lebih merupakan bentuk kepedulian pragmatik yang dapat menguntungkan atau berdampak pada negara mereka.
Sebut saja misalnya masalah Yaman, soal konflik di Suriah, Kurdi, masalah ekstremisme, dan sebagainya. Palestina, ternyata sudah mulai terlupakan. Banyak teriakan dari masyarakat Palestina yang mengingatkan pada penduduk internasional, betapa penderitaan yang terjadi di Gaza merupakan krisis kemanusiaan dan sudah menjadi tanggungjawab masyarakat internasional agar pendudukan Israel segera diakhiri.
Dalam konteks rentan waktu yang begitu panjang, 12 tahun lamanya, Jalur Gaza telah dikepung oleh Israel. Selama itu pulalah masyarakat Gaza menanggung penderitaan yang berkepanjangan sekaligus kepedihan di bawah blokade penjajahan. Warga Gaza menderita melalui dua arah, yakni adanya tindakan diskriminatif yang sewenang-wenang dan juga susahnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Gaza adalah tempat di mana 2 juta penduduk hidup dan tinggal. Meski tempatnya relatif kecil, tetapi dengan penduduk sebanyak itu, sekaligus mendapat tekanan berat baik secara teritorial geografis maupun politik. Pengepungan pun juga dilakukan melalui berbagai arah yang artinya hubungan Gaza dengan dunia luar sama sekali terputus.
Tidak hanya itu, hampir tiap waktu, warga Gaza selalu menjadi sasaran empuk agresi dan serangan terorganisir oleh Israel yang begitu kejam dan mematikan. Warga Gaza pun pasrah dan menyikapi masalah ini dengan penuh putus asa. Boleh jadi, yang terjadi di Gaza selama ini bukan merupakan krisis kemanusiaan, tetapi krisis hati nurani yang begitu mendalam, khususnya di abad 21 ini, sungguh terlalu.
Kita dan semuanya, sebagai masyarakat internasional, tidak boleh menutup mata terhadap segala sesuatu yang menimpa warga Palestina. Ekspansi dan penjajahan Israel yang merupakan sebab dari kepedihan warga Palestina antara lain karena sikap diam dan acuh tak acuh masyarakat dunia internasional.
Data statistik menunjukkan, penjajahan Israel telah menyebabkan tidak kurang dari 500 ribu warga Gaza kehilangan rumah, dua ribu jiwa melayang, termasuk wanita dan anak-anak. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada tahun 2014 dan hanya terjadi dalam rentan waktu yang begitu pendek, 53 hari.
Kita bisa membayangkan bagaimana jika Gaza hilang sepenuhnya dari peta Palestina, karena itulah yang diinginkan oleh Israel. Tepatnya, warga Gaza boleh jadi dan kapan pun itu, bisa kehilangan semuanya dari apa-apa yang sudah mereka miliki. Karena 12 tahun mereka mengalami blokade di mana penderitaan mereka begitu panjang.
Dalam konteks membangun kembali kota Gaza, pemimpin Palestina sebenarnya sudah mengunjungi berbagai kota besar untuk bertemu dengan para pemimpin dunia. Masyarakat dunia, meski sangat terbatas, berusaha keras untuk membantu rekonstruksi kembali Jalur Gaza.
Padahal, Gaza atau Palestina sebagai korban blokade, pembiayaan seluruh konstruksi harusnya dibebankan kepada Israel sebagai aktor yang menghancurkan dan membuat penderitaan masyarakat Palestina. Faktanya, Israel tidak melakukan itu. Justru Palestinalah yang dipaksa untuk membayar sesuai dengan aturan Konvensi Jenewa dan prinsip hukum internasional lainnya.
Hukum itu tidaklah ditulis oleh para pemimpin Palestina, tetapi oleh para pemimpin dunia. Itu artinya, Palestina harus tunduk dan patuh pada hukum internasional beserta dengan seluruh resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, ini sangatlah menyedihkan.
Sejauh ini, sebagian besar dana bantuan untuk warga Gaza berasal dari United Nations Relief and Works Agency, meski beberapa waktu yang lalu, Amerika menggelar konferensi untuk membahas segala sesuatu yang terkait dengan penyelamatan dan bantuan untuk warga Gaza.
Tapi, adalah sesuatu yang sangat menyedihkan di mana konferensi itu sama sekali tidak membahas tentang masalah penjajahan Israel, yang sebenarnya justru menjadi faktor utama dan dalang dari kesengsaraan warga Palestina. Lagi pula, konferensi itu juga mengabaikan adanya persoalan pengungsi Palestina yang mayoritas adalah penduduk Gaza.
Yang paling menyedihkan, konferensi itu justru memberi isyarat bahwa keadaan tragis di Gaza merupakan ulah dan kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat Palestina sendiri. Padahal, tidaklah jelas alasan tentang kesalahan warga Palestina itu.
Memang, seluruh persoalan yang terjadi di Palestina, tidak pernah bisa dipisahkan dari masalah politik, artinya faktor utama terjadinya krisis kemanusiaan di Gaza adalah adanya pendudukan dan blokade ilegal oleh Israel, belum lagi adanya kebijakan bengis partai sayap kanan di Israel yang saat ini menjadi penguasa.
Dan lagi, ini sangat disayangkan, justru masyarakat dunia sudah mulai menunjukkan kepercayaan dan bahkan ikut serta dalam mengkampanyekan sebuah kebijakan yang disebut dengan “demi kepentingan keamanan Israel”. Ini sebuah bentuk kebijakan yang sangat naif dan arogan.
Jika masyarakat internasional terus memberikan bantuan pembiayaan konstruksi dari wilayah pendudukan Israel, itu artinya masyarakat internasional sejatinya telah membantu penjajahan Israel atas warga negara Palestina. Juga, mereka harusnya bertanggungjawab atas seluruh kepedihan warga Palestina karena telah menjadi pendukung tetap dari penjajahan Israel dan pemblokadean terhadap jalur Gaza.
Sangatlah disayangkan jika waktu dan pikiran dari masyarakat dunia habis hanya untuk menyelenggarakan konferensi yang justru akan memperpanjang penjajahan dan memperkecil porsi perdamaian. Sebenarnya, justru yang dibutuhkan adalah menciptakan perdamaian melalui konferensi yang tujuannya diarahkan untuk mengakhiri blokade dan penjajahan, bukan malah melulu membicarakan dan memikirkan bantuan untuk masyarakat Palestina.
Palestina butuh solusi melalui negosiasi keadilan dan menciptakan perdamaian abadi untuk dua negara. Kepedulian masyarakat dunia untuk mengakhiri penjajahan sangatlah dibutuhkan, karena penjajahan dan ekspansi itu sangat bertentangan dengan hak teritorial dan hak asasi manusia.
Bangsa Palestina tidak akan pernah menyerah, mereka akan terus berjuang mempertahankan wilayahnya. Mereka akan bertahan melawan penjajahan Israel, betapapun runcingnya masalah itu. Sebagaimana tertuang dalam konstitusi internasional bahwa perjuangan setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri merupakan hak hingga kemerdekaan dapat dicapai.
Seperti ungkapan Nelson Mandela, “Jalan menuju kebebasan akan sangat panjang, kita harus yakin kemerdekaan suatu waktu akan tercapai”. Begitulah kira-kira keadaan yang sedang diperjuangkan oleh bangsa Palestina.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Gus Baha Ungkap Baca Lafadz Allah saat Takbiratul Ihram yang Bisa Jadikan Shalat Tak Sah
3
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
4
Jamaah Diimbau Hindari Sebar Video Menyesatkan, Bisa Merusak Ibadah Haji
5
Pos-Pos Petugas Penentu Kelancaran Lalu Lintas Jamaah di Jamarat Mina
6
Hilal Awal Dzulhijjah 1446 H Berpotensi Terlihat di Aceh
Terkini
Lihat Semua