Opini

KH Ma‘ruf Amin dan Gelar Professornya

Sen, 5 Juni 2017 | 04:05 WIB

Oleh Muhammadun
Rabu, 24 Mei 2017, KH Maruf Amin mendapatkan gelar profesor dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Magribi, Malang. Ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Menristek Dikti) Nomor 69195/A2.3/KP/2017, yang menegaskan bahwa KH Ma‘ruf Amin diangkat sebagai professor dengan status sebagai dosen tidak tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi Syariah di UIN Malang.

Sidang senat terbuka itu dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menristek Diktri Muhammad Natsir, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan lain sebagainya.

Para kiai memang tidak lazim mendapatkan gelar professor, karena mereka memang tidak begitu memedulikan urusan teknis akademik. Kiai lebih sibuk dengan melayani umat. Walaupun kiai melakukan proses pengembaraan ilmu begitu panjang, tetapi itu dilakukan tanpa predikat dan ijazah formal. Mereka sibuk mengkhatamkan kitab, kalaupun mendapatkan ijazah itu ijazah sanad ilmu, bukan ijazah sebagaimana lazimnya dalam sekolah. Kalau soal ijazah sanad ilmu, itu menjadi perhatian sangat serius bagi kiai. Karena sanad ilmu yang mereka kaji harus sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

KH Ma’ruf Amin termasuk kiai dengan tradisi keilmuan klasik yang sangat mapan. Ia mewarisi etos generasi santri salaf (klasik) yang sibuk dengan mengkaji ilmu Islam yang termaktub dalam kitab kuning. Kajian dalam kitab kuningnya tidak berhenti dalam diskusi dan ngaji, tetapi diaktualisasikan (dan diamalkan) dalam membangun bangsa dan negara. Tak heran kemudian kalau KH Ma’ruf Amin sekarang menduduki posisi tertinggi dalam tradisi keulamaan, Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI Pusat. Dalam tradisi NU, kedudukan Rais Aam NU bukan amanah biasa, karena selain kedalaman ilmu pengetahuan, juga mempunyai posisi istimewa dalam spiritual.

Gelar profesor, bagi seorang Rais Aam NU, hanyalah melengkapi kewibawaan semata. Karena posisi Rais Aam NU sama sekali tidak terkait dengan gelar akademik seorang kiai. Kalaupun perguruan tinggi memberikan gelar akademik, itu tugas perguruan tinggi untuk memberikan penghargaan sekaligus belajar dari tradisi keilmuan para Rais Aam NU. Tugas negara, melalui perguruan tingginya, untuk memberikan penghargaan itu, karena para kiai sudah menjalankan Tridarma perguruan tinggi dengan begitu tulus dan terbukti memberikan kontribusi besar dalam menjaga negara.

Gelar akademik yang disandang para kiai banyak didapatkan tanpa jenjang perkuliahan formal, karena kiai belajar dari pesantren ke pesantren. Pada masa orde lama, Bung Karno memberikan apresiasi tinggi kepada para kiai. Para kiai diminta mengajar di berbagai perguruan tinggi, walaupun mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Di antara kiai yang mendapatkan gelar professor adalah KH Anwar Musaddad, KH Saifuddin Zuhri, KH R Moh Adnan, KH Ali Yafi. Gelar professor yang mereka dapatkan dikarenakan keahlian yang sangat mumpuni dan kiprahnya yang besar bagi bangsa dan negara. Masih banyak kiai dengan kapasitas keilmuan yang lebih tinggi, tetapi tidak mau mendapatkan gelar akademik tersebut.

Semasa Orde Baru, para kiai “tersingkir” dari dunia kampus. Karena tidak mempunyai ijazah formal, kiai dikembalikan ke pesantren masing-masing. Banyak kiai dengan kapasitas ilmu yang tinggi, santrinya juga ribuan, tetapi Orde Baru lebih memilih gelar akademik untuk mengajar di kampus. Setinggi apapun ilmu yang dicapai, karena tidak memenuhi syarat formal ijazah, kiai tidak bisa mengajar di kampus. Makanya, semasa Orde Baru tidak ada kiai yang mendapatkan gelar kehormatan dalam akademik. Para kiai akhirnya sibuk mendidik santri di pesantren dan melayani umat. Mahasiswa harus datang ke pesantren kalau mau mendapatkan ilmu para kiai. Masa Orde Baru, ilmunya kiai tidak diserap di kampus.

Kiai dan pesantren di masa Orde Baru menjadi kelompok yang termarginalkan, karena kiai dan pesantrennya tidak mau tunduk dalam politik Orde Baru. Orde Baru memangkas gerak langkah kiai dan pesantren, karena disinyalir sebagai bagian dari kekuasaan Orde Lama. Kiai NU dan pesantrennya memang mengalami masa “mesra” bersama Bung Karno, walaupun tetap kritis terhadap kepemimpinan negara. Banyak sekali contoh kritisnya para kiai dengan kebijakan Bung Karno, seperti pembentukan DPR-GR tanpa pemilu, kebijakan terkait PKI, dan kebijakan politik luar negerinya terkait dunia Islam. Tetapi bagaimanapun sikap kritis itu dilancarkan, para kiai selalu teguh menjaga NKRI dari ancaman apapun.

Pada masa Reformasi, ketika peta politik nasional mengalami pergeseran, posisi kiai dalam dunia akademik mendapatkan tempat baru. Tidak sedikit para kiai yang dikenal tinggi kapasitas keilmuannya kemudian mendapatkan gelar kehormatan doktor dan professor. Di antaranya KH MA Sahal Mahfudh, KH A Mustofa Bisri, KH Ahmad Hasyim Muzadi, KH Sholahuddin Wahid, dan KH Tholhah Hasan. Sedangkan yang mendapatkan gelar professor adalah KH Said Aqil Siroj dan KH Ma’ruf Amin.

Gelar yang diterima KH Ma’ruf Amin dan kiai lainnya adalah adalah bukti bahwa negara kembali hadir memberikan pengakuannya terhadap khazanah keilmuan yang berkembang di pesantren. Pengakuan negara ini sangat penting, bukan untuk kalangan pesantren, tetapi untuk masa depan negara itu sendiri. Karena pesantren sepanjang sejarah negeri ini terbukti memberikan kontribusinya dalam mencerdaskan anak bangsa.

Diakui atau tidak diakui negara, pesantren tetap menyelenggarakan pendidikan yang khas, sesuai dengan karakternya. Kalau negara tidak mengakui, yang rugi negara sendiri, karena telah mengabaikan proses belajar anak bangsa. Pesantren juga memberikan beasiswa tidak sedikit kepada santrinya yang tidak mampu, karena biaya sama sekali tidak menjadi acuan dalam belajar di pesantren. Banyak santri yang mengabdi di pesantren, tanpa bekal biaya sepeserpun, mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama dengan lainnya. Para kiai tidak memedulikan anggaran dan bantuan dari negara, karena para kiai hanya fokus mengajar santri atau umat, tanpa peduli dengan urusan gaji.

Dokter Sutomo, salah satu pengagas Budi Utomo, melihat pesantren sebagai perguruan asli milik Nusantara ini. Dalam hal ini, Dokter Sutomo mengatakan.

“Pada zaman nenek saya, yaitu kira-kira pertengahan abad ke-19, pesantrenlah tempat perguruan kita yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolah Gubernemen, pesantren ribuan jumlahnya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, peradaban rakyat, tidak dapat diabaikan. Hubungan antara santri-santri dewasa (istilah sekarang mahasiswa dari universitas; di dalam pondok-pondok yang besar juga diajarkan ilmu lahir dan batin, yang di waktu ini jarang didapati di tanah air kita) erat sekali. Umpamanya, di waktu menanam dan menuai padi, di waktu ada kematian, di waktu bulan Puasa, hubungan yang erat itu nyata benar.”

Sutomo bahkan mengusulkan pesantren sebagai model pendidikan untuk Indonesia yang akan dilahirkan, walaupun usulannya ditolak. Sutomo memilih pesantren dengan beberapa alasan, yakni dalam dunia pesantren ada hubungan akrab dan intens antara santri dan kiai; lulusannya ternyata mampu masuk dalam dunia lapangan pekerjaan secara merdeka; kehidupan kiai yang sederhana; dan  model pendidikannya berjalan duapuluh empat jam. Dokter Sutomo mengatakan.

“Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak petani, anak saudagar, anak bangsawan berkumpul di dalam pondok itu. Keadaan lahir dan batinnya mendapat bimbingan yang sama dari guru sehingga pemuda-pemuda itu, yang di kemudian hari memegang pekerjaan yang beraneka warna di dalam masyarakat, merasa satu karena ikatan lahir dan batin yang telah diletakkan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu. Sikap hidup bangsa kita di waktu itu, dari lapisan mana pun, tidaklah terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.”

Gelar professor yang diterima KH Ma’ruf Amin memang patut diapresiasi. Tetapi, kalangan pesantren harus tetap mengalir sebagaimana aslinya. Jangan sampai gelar-gelar akademik yang didapatkan para kiainya justru menjadikan pesantren keluar dari naluri dan keasliannya. Kalau itu terjadi, gelar professor yang diterima KH Ma’ruf Amin dan para kiai lainnya justru merusak masa depan keilmuan di pesantren.

Gelar professor yang diterima KH Ma’ruf Amin dan kiai lainnya juga bukan untuk mematikan daya kritis pesantren. Kalau negara melenceng, para kiai harus kritis terhadap para penyelenggara negara. Justru, para kiai harus berada di atas birokrasi kenegaraan sehingga tetap jernih dalam melihat setiap problem yang terjadi dalam penyelenggaraan negara. Para kiai harus tetap pada khittahnya: melayani umat, menjaga negara, dan teguh mengangkat harkat  dan martabat bangsa.


*) Santri di Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul