Opini

Langgar dan Pendidikan Anak di Era Digital

Sel, 3 Oktober 2017 | 02:03 WIB

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Dulu, di masa kecil saya, para orangtua akan kalang kabut mencari anaknya di sore hari. Maghrib adalah waktunya pendidikan agama untuk anak. Mereka diantar atau disuruh mengaji oleh orangtuanya di surau, mushalla, masjid atau madrasah diniyah. Bahkan, saking mengakarnya tradisi tersebut,setiap malam minggu (libur sekolah), anak-anak berebut untuk tidur di mushalla bersama teman-temannya. Dari sinilah, muncul istilah bocah langgar (anak mushalla).

Sekarang keadaan berubah, tradisi mengaji di langgar tidak lagi diminati seperti dulu. Banyak langgar yang mulai kehilangan fungsinya. Para orangtua lebih suka mengundang guru ngaji privat ke rumahnya daripada membiarkan anaknya merasakan atmosfir pendidikan langgar. Itu masih lumayan, yang lebih parah banyak orangtua yang membiarkan anaknya terus menonton TV di waktu maghrib, tidak menganggap penting lagi pendidikan agama.

Saya tidak memungkiri besarnya pengaruh kelangkaan hiburan untuk anak di masa lalu. Acara TV masih sangat monoton. Stasiun TV swasta belum masuk desa, jika pun sudahaksesnya masih sangat terbatas. Saya masih ingat betul, ketika hari minggu anak-anak berkumpul di rumah temannya yang memiliki parabola untuk menonton film Power Rangers. Mungkin karena alasan itulah,anak lebih sering berada di luar rumah untuk bermain bersama teman-temannya.

Di samping itu, perkembangan teknologi, khususnya video gamedan dunia virtual (virtual world) memberi pengaruh besar pada pendidikan anak. Tidak sedikit anak-anak yang kecanduan bermain game. Keterikatannya dengan dunia virtual jauh lebih besar dibandingkan dunia nyata (real world). Jika dipresentasebisa mencapai angka 70 persen berbanding 30 persen. Dengan kata lain, anak-anak semakin jauh dari dunia nyata. Lalu, bagaimana seharusnya?

Sebelum memasuki area problem solving, baiknya kita bicarakan dulu perkembangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan anak. Dengan begitu, kita akan mengetahui benang merah permasalahannya. Saya akan mengklasifikasinya dalam beberapa bagian.

Pertama, berkurangnya porsi pendidikan imajinatif dan bertambahnya porsi pendidikan visual. Pendidikan imajinatif lebih menekankan kepada berkembangnya imajinasi anak secara tak terbatas. Salah satu tujuannya adalah, untuk menguatkan daya kreatifitas anak. Membaca buku cerita dan mendengarkan dongeng merupakan cara yang paling sering diterapkan.

Pengaruh membaca dan mendengarkan cerita berbeda dengan melihat secara langsung (visual). Karakter cerita dapat digambarkan berbeda-beda oleh setiap anak, dengan imajinasinya sendiri-sendiri, tidak dibatasi oleh gambaran fisik seperti pendekatan visual. Tapi, perlu saya tegaskan, saya tidak mengatakan pendidikan visual itu buruk. Saya hanya berharap kedua model ini diterapkan secara seimbang dan tidak timpang.

Kedua, berubahnya pandangan sebagian orang bahwa bergaul dan bermain itu berbeda dalam konteks anak. Pada zaman dulu, di lingkungannya masing-masing, anak-anak memperlakukan pergaulan dan permainan itu sama. Setiap kali mereka bergaul dengan teman-temannya, mereka juga bermain. Ada gobak sodor, umpet-umpet madu, dan lain sebagainya. Permainan anak zaman dahulu adalah interaksi sosial dalam dunianya sendiri. Bermain dan bergaul dilakukan secara bersamaan.

Ketiga, punahnyatembang dolanan dalam pembentukan karakter anak. Semua tembang dolanan di nusantara mengajarkan budi pekerti dan nilai-nilai agama yang baik. Setiap bermain, mereka melantunkannya dan tanpa sadar makna lagu itu membias dalam diri mereka. Sekarang ini, dengan berbagai perangkat kemudahannya, anak-anak lebih senang mendengarkan lagu-lagu orang dewasa, yang isinya berkutat soal cinta dan patah hati.Tembang dolanan perlahan ditinggalkan dankini, tinggal menunggu waktu kepunahannya.

Salah satu contohtembang dolanan adalah lagu Menthok (Itik Serati) yang mengajarkan pentingnya bergerak, kreatif dan berbuat sesuatu yang bermanfaat, jangan seperti menthokyang hanya tidur dan berdiam di kandang. Teks lagunya seperti ini: “Menthok-menthok tak kandhani/Mung solahmu angisin-isini/Bokya aja ndheprok/Ana kandhang wae/Enak-enak ngorok/Ora nyambut gawe/Methok-menthok/Mung lakumu megal-megol gawe guyu—Menthok-menthok saya nasehati/Hanya perilakumu yang memalukan/Jangan hanya diam dan duduk/Di kandang saja/Enak-enak ngorok/Tidak bekerja/Menthok-menthok/Hanya jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa.”

Keempat, penetrasi budaya perkotaan melalui media elektronik yang menimbulkan keminderan psikologis yang berdasarkan pada ‘kekerenan’. Istilah kampungan dan ndeso menjadi distingsi antara yang gaul dan tidak gaul. Rasa minder ini yang membuat banyak orang tua di kampung yang enggan mengajarkan anaknya budaya warisan leluhurnya, seperti unggah-ungguh (di Jawa). 

Mereka lebih memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan anakdibandingkan bahasa daerahnya sendiri. Pemberian nama anak pun didasarkan pada anggapan gaul perkotaan dan televisi (artis sinetron). Nama-nama seperti Paijo, Jayadi, Jumadi, Ahmad, dan Ratiem dianggap ketinggalan zaman. Pengikisan identitas budaya ini, besar atau kecilnya, berpengaruh pada karakter generasi bangsa yang akan datang. Padahal kita tahu, semaju-majunya Jepang dan Korea, mereka tetap menggunakan nama yang menggambarkan identitas budaya dan bangsanya.

Mengembangkan pendekatan lain

Selain banyak mendapatkan sorotan negatif, tidak sedikit orang yang berupaya memanfaatkan dunia digital sebagai salah satu sarana pendidikan. Mau tidak mau, the digital age (era digital) telah masuk di zaman kita, dengan segala sisi positif dan negatifnya. Dan kita pun harus tahu, Islam tidak melarang sesuatu secara membabi buta, tanpa melihat dan memandang berbagai aspeknya. Islam mengatur cara pemanfaatannya, bukan melarang secara mutlak tanpa alasan yang jelas.

Karena itu, dalam agama ada aturan untuk menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Tangan yang merupakan bagian dari manusia, bisa digunakan untuk berbuat baik, bisa juga digunakan untuk berbuat jahat. Di sinilah agama masuk, untuk mengatur kegunaan dan pemanfaatannya. Dengan demikian, zaman digital dengan berbagai seginya, bisa diarahkan untuk menyebarkan kemanfaatan atau malah digunakan untuk menyebar kejahatan. Semuanya tergantung pada si pengguna.

Dalam konteks pendidikan agama usia dini, saya kira, pendidikan yang bersentuhan langsung dengan anak tetap menjadi opsi terbaik. Hanya saja dibutuhkan formulasi tambahan untuk menjawab tantangan zaman. Pendidikan baca tulis al-Qur’an saja tidak cukup. Harus disertai dengan pendidikan akhlak yang bermain di wilayah terapan.

Artinya, langgar atau masjid harus berbenah menjadi tempat interaksi sosial anak dan tempat bermain yang sehat dan mengasyikkan. Sehat saja kurang menarik untuk anak zaman sekarang. Harus ada unsur hiburan tapi yang mendidik. Contohnya seperti penyampaian materi pendidikan melalui drama. Setiap anak memerankan karakter yang hendak ditampilkan. Dengan cara itu, anak akan terbangun secara mental dan intelektual. Mereka pun senang karena menemukan banyak kelucuan dari canggungnya akting di antara mereka.

Contoh lainnya adalah praktik akhlak di lapangan. Dalam kitab Washâyâ al-Abâ’ li al-Abnâ’i (Nasihat Orangtua kepada Anaknya) karya Syeikh Muhammad Syakir dikatakan:

يَابُنَيَّ: إِذَا خَرَجْتَ لِلــِرّيَاضَةِ اَوْ لِغَيْرِهَا مَعَ إِخْوَانِكَ فَإِيَّاكُمْ أَنْ تَعْتَرِضُوْا أَحَدًا مِنَ الْمَارَّةِ فِى الطُّرُقَاتِ, وَإِيَّاكُمْ أَنْ تَصْطَفُوْا فِى طَرِيْقِ الْعَامَّةِ, فَإِنْ كَانَ الطَّرِيْقُ وَاسِعًا فَامْشُوْا مَثْنَى مَثْنَى وَاِلَّا فَامْشُوْا فُرَادَى, وَاحِدًا فَوَاحِدًا.

“Wahai anakku, ketika kau keluar untuk berolah-raga atau berjalan-jalan bersama teman-temanmu, jangan kalian memenuhi jalanan umum hingga mengganggu orang yang hendak melintas, jangan kalian berjejer di jalan umum, jika jalan yang kalian lewati lebar, berjalanlah dua-dua, jika sempit berjalanlah satu-satu.”

Akan sangat menyenangkan jika kajian kitab Washaya diajarkan di lapangan. Anak-anak disuruh berbaris di jalan, kemudian saling melintas. Semua anak harus mengalami keadaan sebagai korban, yaitu orang yang terganggu karena jalanan dipenuhi oleh orang lain. Agar mereka tahu, bahwa berjalan dengan cara memenuhi jalan umum sangat mengganggu bagi pengguna jalan lainnya. Pendidikan semacam ini, menurut saya, sangat penting. Sebab, meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya akkhlâq al-karîmah dan alasan di baliknya.

Jika pendekatan semacam ini digunakan oleh guru ngaji di langgar dan masjid, bukan tidak mungkin kita akan melihat anak kecil dengan karakter akhlak yang kuat seperti Sayyidina Abdullah bin Zubeir bin ‘Awwam ra (623-692 M). Ketika Ia dan teman-temannya tengah asyik bermain, Khalifah Umar bin Khattab melintas, semua anak lari karena takut, kecuali Abdullah bin Zubeir.

Sayyidina Umar bertanya: “Mâ laka lam tafirru ma’a ashhâbik?—kenapa kau tidak lari bersama teman-temanmu?” Abdullah bin Zubeir ra menjawab: “Yâ amîr al-mu’minîn, lam ajrim fa akhâfak, wa lam takun al-tharîq dlayyaqatan fa ûsi’u laka—wahai amirul mukminin, aku tidak berbuat salah kenapa mesti takut, lagipula jalan ini tidak sempit, cukup luas untuk dilalui olehmu[atau oleh kita berdua].” (Ibnu ‘Asâkir, Tarîkh al-Dimasyq, no hadits 28319).

Saya harap langgar dan masjid kita bisa kembali menjadi centre of education and culture (pusat pendidikan dan kebudayaan). Bagaimana pun juga, langgar dan masjid telah lama menjadi sokoguru pendidikan agama kita. Semoga dapat terus bertahan dan berkembang. Amin ya Rabb al-‘Alamîn.

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.