Opini

Memahami Kearifan Tradisi-tradisi Lokal

Ahad, 2 Juli 2017 | 10:32 WIB

Memahami Kearifan Tradisi-tradisi Lokal

Ilustrasi (tribunnews)

Oleh Nine Adien Maulana

Momen jelang Ramadhan hingga awal Syawal dipenuhi dengan berbagai tradisi yang khas daerah masing-masing. Ada tradisi megengan dan saling memohon maaf di awal Ramadhan. Ada tradisi weweh maleman seperti pada akhir-akhir Ramadhan. Menjelang Syawal hingga setelah shalat Idul Fitri ada lagi tradisi nyadran atau nyekar (ziarah kubur). Kupatan pada tanggal tujuh Syawal menjadi penutup rangkaian tradisi-tradisi itu.

Meskipun tradisi-tradisi itu beriringan dengan momentum ibadah mahdhah, namun mereka bukanlah bagian ibadah mahdhah yang secara langsung bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka adalah kreasi masyarakat lokal dalam mengapresiasi momentum ibadah mahdhah pada bulan Ramadhan dan Syawal. Oleh karena itu, tidak ada standar bakunya. Tiap daerah memiliki kekhasannya sendiri dalam mengapresiasinya yang termanifestasi dalam tradisi-tradisi itu.

Selama tradisi-tradisi ini dilakukan dengan cara-cara yang beradab dan tidak menyimpang dari syari’at, maka mereka layak disebut sebagai bagian dari khazanah kearifan lokal yang patut dilestarikan. Sebaliknya, jika tradisi-tradisi ini dilakukan dengan cara-cara yang tidak beradab dan nyata-nyata menyimpang norma syari’at, maka mereka tidak bisa dilestarikan karena bukan termasuk kearifan lokal. Atas dasar itulah umat Islam harus selektif dalam mempraktikkan tradisi.

Melaksanakan tradisi secara selektif dalam bingkai syariat merupakan sikap hidup kontekstual sebagaimana peribahasa, “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Ini adalah potret sikap arif dan bijaksana (wisdom) terhadap apa telah ada dan berlaku di dalam masyarakat. Bersikap seperti ini bukan berarti bersikap permisif terhadap semua tradisi, namun tetap selektif dengan menjadikan norma-norma syariat sebagai cara pandangnya (worldview).

Sikap hidup kontekstual semacam ini juga menjadi pertimbangan para ulama terdahulu dalam merumuskan hukum-hukum fiqih. Dalam kaidah fiqih yang dirumuskan para ulama terdahulu kita menjumpai kaidah, “al-‘âdah muhkamah”, adat kebiasaan yang telah dikenal baik (al-‘urf) bisa dijadikan pertimbangan perumusan hukum fiqih.

Kriteria kebaikan yang bisa diterapkan pada adat kebiasaan selain berpijak pada kebenaran akal sehat manusia juga tidak bisa lepas dari norma-norma syariat. Di antaranya adalah, tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menyebabkan kerusakan atau menghilangkan kebaikan, telah dilakukan secara massif dan berulang-ulang di kalangan umat Islam, dan tidak masuk dalam wilayah ibadah mahdlah. Dengan kriteria inilah kita bisa bersikap arif, bijaksana dan selektif dalam mengamalkan tradisi secara kreatif.

Tradisi semacam ini masuk dalam wilayah budaya yang tidak mengikat kuat bagi semua orang. Masing-masing individu dalam suatu masyarakat memiliki otonomi untuk memilih mengikutinya atau tidak mengikutinya. Selama individu itu memilih dengan penuh kesadaran, tanggung jawab dan bijaksana, maka baik yang mengikuti maupun tidak mengikuti sama-sama mendapatkan kebaikan. Akan tetapi jika di antara kedua pihak itu mengklaim paling benar dan paling baik dan menganggap yang lain salah dan jelek, maka hal itu adalah tidak bisa dibenarkan dan jauh dari kebijaksanaan.

Kedua pihak itu sebenarnya tetap akan hidup bersamaan dengan tradisinya masing-masing. Mereka yang melestarikan tradisi yang telah ada, mungkin akan mempraktikkannya dengan berbagai kreativitas budaya. Mereka yang tidak mengikutinya, maka sebenarnya juga sedang mengkreasi hal baru yang jika dilakukan terus-menerus dan diikuti oleh orang lain secara massif akan menjadi tradisi pembandingnya.

Hal ini adalah sesuatu yang wajar, karena manusia dengan akal budinya itu pada dasarnya adalah makhluk berbudaya. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengatakan antibudaya, maka hal itu sangat tidak logis, karena manusia pasti berbudaya, sebagai konsekuensi kemampuan akal budinya. Yang tidak berbudaya pasti bukan manusia, karena tidak memiliki akal budi. Dengan demikian tradisi adalah bagian budaya manusia yang tidak bisa dihindari.

Dalam praktiknya, pelaksanaan tradisi memang bisa saja menyimpang. Hal itu bisa saja terjadi di mana saja dan kapan saja. Dengan mengacu pada kriteria kearifan dan kebijaksanaan di atas maka, kita bisa melakukan kontrol  agar tradisi itu tetap dilakukan dalam koridor kearifan lokal yang sesungguhnya. Dengan cara itu, kehidupan beragama dan bermasyarakat menjadi indah dengan beragam keunikan khas masing-masing daerah.

Dalam konteks dakwah Islam, tradisi semacam ini bisa dijadikan sebagai media pengenalan dan  penyebaran ajaran agama Islam. Dengan tujuan dakwah itulah, maka kita bisa memahami dimunculkannya berbagai macam tafsir otak-atik-gatuk dalam rona-rona tradisi itu. Ini bukanlah tafsir baku, namun hasil kreativitas untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pelaksanaan tradisi.

Meskipun terkadang tafsir itu terkesan sangat dipaksakan, namun sikap kita terhadap tafsir otak-atik-gatuk harus juga bijaksana. Jangan menyikapinya secara hitam-putih dengan sudut pandang kaku syariat, karena ini adalah wilayah budaya. Jika tafsir semacam itu sejalan dengan syariat, maka silakan saja diterima sebagai penambah khazanah pengetahuan, meskipun kualitas ilmiahnya masing dipertanyakan. Jika ia tidak sejalan dengan syariat, maka kita harus tegas menolaknya.

Kebaikan dan kebenaran memang tidak selalu harus berangkat dari teks-teks syariat, karena Allah SWT telah menganugerahkan akal budi kepada manusia. Dengannya manusia bisa berkreasi dalam kebaikan dan kebenaran, sebagai konsekwensi sebagai makhluk berbudaya. Akan tetapi, kita harus sadar dan mengakui, bahwa akal budi saja tidak cukup bagi manusia menjadi baik dan benar menurut Allah SWT Sang Pencipta.

Manusia butuh syariat untuk melengkapi dan menyempurnakan akal budinya agar sejalan KehendakNya. Ini adalah konsekwensi iman. Dengan landasan iman itu, apa yang datang dari syariat pasti mengandung kebaikan dan kebenaran, walaupun seringkali dirasakan tidak sejalan dengan keinginan manusia. Kita pasrah menerimanya sebagai konsekuensi berislam.     

Akhirnya, jika akal budi sejalan dengan syariat, maka kehidupan beragama menjadi luwes dan indah. Manusia tetap bisa berkreasai dalam budaya, tanpa mengabaikan norma syariat yang Allah SWT dan RasulNya wariskan kepadanya. Mungkin seperti inilah yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil alamiin itu.


Penulis adalah Ketua Tanfidziyyah Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk, Megaluh, Jombang