Oleh: Adetya Pramandira
Pada masanya, dunia filsafat modern selalu diisi dengan perdebatan sengit antara rasionalisme dan empirisme. Hingga pada akhirnya tokoh besar Imanuel Kant dalam karyanya yang masyhur Kritik Der Reinen Vernuft berhasil membedah objektifitas ilmu pengetahuan modern. Pola berpikir manusia semakin berkembang dari masa ke masa. Namun, lambat laun ilmu yang semula tergabung menjadi satu dalam filsafat ilmu mulai memisahkan diri karena menemukan karakteristik masing-masing.Â
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat pada zaman modern. Mulai dari ilmu-ilmu eksata hingga ilmu-ilmu sosial turut mewarnai dunia keilmuan kala itu, seperti ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan lain sebagainya. Sementara itu agama sebagai sesuatu yang bersifat transendental di luar batas pengalaman manusia, dinilai sebagai sebuah keyakinan, bukan ilmu pengetahuan. Hal itu disebakan oleh pandangan bahwa pada dasarnya filsafat ilmu merupakan sebuah ciri-ciri mengenai ilmu pengetahuan dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut,(Berlin,1998).
Filsafat ilmu juga tidak bisa lepas dari epistemologi yang pada dasarnya bertugas menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia dan juga berkaitan dengan logika dan metodologi. Secara ontologis epistemologi dalam dunia Barat bermuara dari dua pangkal yaitu rasionalisme dan empirisme yang merupakan pilar utama metode keilmuan, yang kemudian epistemologi tersebut dapat membuka persepektif baru dalam ilmu pengetahuan yang multidimensional. Sedangkan dalam dunia Islam, menurut Baqhir As-Shadar lebih melihat bahwa adanya kecenderungan  epistemologi Islam terhadap para pemikir Muslim yang idealis dan rasionlis.
Berpadunya kajian metafisika dan epistemologi dalam Islam yang idel-holistik menyimpan kelemahan yakni kurang tajam dalam melakukan kajian dalam segi-segi khusus. Karena dominasi kalam dan sufisme yang terlalu kuat, sehingga epistemologi Islam tidak bisa berkembang secara alami.Â
Berangkat dari hal tersebut Muhamad Abed Al Jabiri menawarkan sebuah rekonstruksi epistemologi untuk membantu mengembangkan ilmu keagamaan yang dirasa berbeda dengan keilmuan yang berada di dunia Barat. Secara umum kritik Jabiri ditujukan kepada nalar Arab-Islam yang pada akhirnya menyatu dalam turats  atau kebudayaan.
Dalam pandangan Jabiri, kebudayaan seharusnya menjadi titik tolok kritik nalar agar proyek kebangkitan Arab tidak mengalami keterputusan sejarah. Karena persoalan keterpurukan bangsa Arab sejatinya berkutat pada cara mereka memahami dan memperlakukan kebudayaan, yang cenderung bergerak sirkular tidak bergerak kearah pembaharuan. Dalam hal ini epistemologi pengkajian Islam yang ditawarkan oleh Jabiri meliputi tiga aspek yaitu, bayani, irfani dan burhani.Â
Bayani
Secara etimologi, Bayani berarti penjelas, ketetapan dan pernyataan. Sedangkan secara terminologis dimaknai sebagai pola pikir yang bersumber dari nash, ijma' dan ijtihad. Sistem Bayani ini muncul sebagai kombinasi dari berbagai macam aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana. Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula, dengan menyandarkan apa yang belum diketahui kepada yang sudah diketahui, dan apa yang belum tampak kepada yang sudah tampak.Â
Menurut Jabiri otoritas kebenaran berada pada wahyu atau teks. Peran akal di sini adalah sebagai perangkat pembedah kebenaran yang terkandung di dalam teks tersebut. Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, sistem Bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab semacam nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika atau penalaran sebagai sarana analisis. Â
Irfani
Secara bahasa Irfani berarti mengetahui. Kata ini sering digunakan dalam diskurus tasawuf sebagai istilah untuk menunjukkan suatu bentuk pengetahuan intuitif yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung. Pengetahuan Irfani tidak didasarkan pada teks melainkan penyingkapan terhadap rahasia-rahasia realitas Tuhan. Oleh karenanya, pengetahuan Irfani tidak diperoleh dari analisa teks, akan tetapi melalui jalur ruhani, melalui kesucian hati. Diharapkan Tuhan akan memberikan ilmunya dengan mudah.Â
Burhani
Secara epistemologi nalar Burhani bersandar pada kemampuan alamiah atau realitas dan empiris. Alam sosial dan humanities dalam arti ilmu diperoleh dari hasil percobaan dan penelitian. Dalam mengukur benar tidaknya suatu metode Burhani, didasarkan pada pengalaman manusia dan akal terlepas dari wahyu dan teks.Â
Validitas kebenaran dalam epistemologi Burhani adalah tidak saja pemakaian logika secara absah, namun juga kesesuaian antara nalar dengan realitas dan hukum-hukum alam. Hal itu sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hegel, sebagaimana dikutip Al Jabiri bahwa hanya melihat kesesuian antara nalar dengan realitas saja adalah pandangan yang statis. Menurutnya, pandangan yang dinamis  tidak saja menuntut nalar relevan dengan realitas, tetapi juga dengan aspek historis atau sejarahnya.Â
Penulis adalah kader PMII Rayon Syariah Komisariat Walisongo dan aktif di  LPM Justisia.