Opini

Meneladani Kearifan Diplomasi Ulama Pesantren

Sen, 30 Mei 2022 | 09:30 WIB

Meneladani Kearifan Diplomasi Ulama Pesantren

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Langkah diplomasi yang diteladankan para kiai mempunyai tujuan paripurna, yaitu kemaslahatan bangsa dan negara. Masyarakat global dan generasi milenial yang identik dengan ruang digital mesti mengedepankan pola-pola diplomasi para kiai, mengedepankan kepentingan bersama, menjunjung tinggi keadaban, melakukan kroscek kebenaran (verifiksi, tabayun), dan menebarkan kesejukan serta keramahan dalam bermedia sosial.


Pola diplomasi sesama pengguna dan pengakses informasi di internet juga perlu mengedepankan kearifan sehingga seseorang mampu melakukan filter terhadap setiap informasi yang ia terima. Informasi yang didapatkan tidak ditelan mentah-mentah sehingga mengakibatkan patologi digital, penyakit di mana masyarakat dunia maya mudah terpengaruh dengan berita-berita palsu dan informasi yang belum tentu kebenarannya.


Kearifan diplomasi para ulama pendahulu membuktikan bahwa kearifan sangat dibutuhkan jika yang dinjunjung adalah kemaslahatan dan kepentingan bersama. Meski demikian, pemikiran dan langkah cepat serta tepat tetap dibutuhkan dalam sebuah diplomasi. Seperti yang dilakukan oleh Pendiri NU KH Hasyim Asy’ari saat menanggapi teguran Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini terhadap janji Perdana Menteri Nippon (Jepang) Kunaiki Koiso.


Janji kekaisaran Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini. Sampai pada 3 Oktober 1944, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang juga ketika itu menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.


Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya bergama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekan Jepang untuk segera mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia.


Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ia selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran tersebut.


Menyikapi kawat teguran tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944.


KH Hasyim Asy’ari selaku pemimpin NU dan Masyumi segera membalas kawat tindasan Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang telah membantu bangsa Indonesia dengan menegur Perdana Menteri Jepang Kuniki Koiso. Diplomasi global yang mempunyai peran penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia.


Kearifan diplomasi kiai juga bisa dipetik dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.


Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.


Ikhtiar lahir batin tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut berpartisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.


Semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.


Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanda menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia.


Dalam persoalan perdamaian dunia, khususnya dunia Islam, para kiai memberikan teladan terdepan dalam diplomasi. Termasuk memberikan perhatian serius terhadap kemerdekaan bangsa Palestina. Bahkan, para kiai NU kerap memberikan bantuan moral dan material untuk rakyat Palestina yang saat ini masih menghadapi sikap frontal Pemerintah Israel.


Teladan para pendadahulu tersebut diteruskan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Malam itu sekitar tahun 1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku ayahnya, Gus Dur di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.


Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri.


Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri. Mari berdiplomasi dengan keadaban. (Fathoni)