Opini

Mengembalikan Sumpah Pemuda di Zaman Now

Sab, 28 Oktober 2017 | 15:00 WIB

Mengembalikan Sumpah Pemuda di Zaman Now

Indonesia (linikini.id)

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Indonesia berbeda dari Korea, yang disatukan oleh satu bahasa dan suku bangsa di Semenanjung Korea, meskipun terpecah menjadi dua, Korea Selatan dan Korea Utara. Indonesia berbeda dari United Kingdom (Britania Raya), yang unifikasinya diawali dari penjajahan, kemudian penetrasi budaya Inggris dan bahasanya sebagai bentuk keunggulan atas suku bangsa lainnya. Indonesia berdiri atas dasar keselarasan tujuan dan persamaan maksud. Saat sumpah pemuda dilaksanakan, hampir seluruh perwakilan pemuda hadir dan mengukuhkan sumpahnya. Dan, memilih nama Indonesia sebagai bentuk persatuan.

Para pemuda di zaman dulu, dalam sumpahnya tidak memilih nama Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain sebagainya, tapi nama Indonesia. Keragaman suku dan bahasa, yang tersebar di berbagai pulau, melintasi laut dan udara, membutuhkan nama yang dapat mempersatukan semuanya. Nama yang tidak menunjukkan keunggulan satu suku dan bahasa tertentu. Nama Indonesia dipandang dapat mewakili dan menyatukan semuanya. Saya tidak akan masuk kedalam asal-usul nama Indonesia. Untuk mengetahuinya bisa membaca Justus M. van Der Kroef, The Term Indonesia: Its Origin and Usage, dalam Jurnal of Amercian Oriental Society.

Sumpah pemuda merupakan proklamasi terhadap tiga persatuan. Pertama, persatuan tanah air. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar. Laut menjadi pemisah sekaligus pemersatunya. Dari sudut pandang geografis, Indonesia membutuhkan ikatan etis untuk merasakan persatuan. Karena itu, poin pertama dalam sumpah pemuda adalah “bertumpah darah satu, tanah Indonesia.” Meskipun dipisahkan lautan, persamaan dan keyakinan terhadap tumpah darah yang satu menjadi titik awal dari persatuan.

Kedua, persatuan kebangsaan. Setelah letak geografis yang terpisah-pisah tidak lagi menjadi masalah, persatuan kebangsaan adalah langkah berikutnya. Perasaan tentang merasa dirinya berasal dari bangsa yang sama, meskipun berbeda-beda suku, ditekankan dengan sumpah seluruh perwakilan pemuda, dengan mengatakan, “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia". Penekanan kebangsaan ini penting sebagai garis perjuangan di masa depan.

Dan ketiga, persatuan bahasa. Indonesia memiliki kekayaan bahasa yang tidak terhitung, dengan dialek yang beragam. Karena itu dibutuhkan bahasa persatuan untuk mempermudah komunikasi para pejuang kemerdekaan, disamping menghilangkan dinding pemisah antar suku. Mereka menegaskan, “menjungjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Tiga poin tersebut merupakan bentuk lain dari definisi berbangsa ala Indonesia, yaitu bhineka tunggal ika(persatuan dalam diversitas dan kemajemukan). Keberagaman dimaknai sebagai kekuatan yang saling mengisi, tidak saling memisahkan. Walaupun perlahan-lahan isi dari kekuatan itu semakin lama, semakin berkurang.

Di zaman now, kecurigaan antar suku terlihat sangat jelas. Ujaran kebencian terhadap suku dan agama pun merajalela.Lapor-melaporkan menjadi budaya baru yang unik. Ini menarik sekaligus menyedihkan. Di saat seperti inilah spirit sumpah pemuda harus dikembalikan. Bangsa Indonesia kembali membutuhkannya. Spirit yang tidak hanya berupa pelajaran sejarah dan kewarganegaraan di sekolah dan kampus-kampus. Tetapi, spirit yang melebur menjadi norma kehidupan.

Kita sebagai warga negara harus menumbuhkannya sendiri. Jangan mengandalkan pemerintah saja, yang setiap ganti menteri pendidikan, ganti kebijakan. Menggonta-ganti kurikulum sehingga tidak ada kemapanan dalam sistem pendidikan nasional kita. Hal ini menunjukkan kita masih mencari-cari bentuk pendidikan yang ideal. Menariknya, nama pelajaran yang paling sering diganti adalah pelajaran tentang nilai-nilai keindonesiaan, dari mulai PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), sampai PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). 

Kita pun tidak bisa pungkiri bahwa pelajaran tentang kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang paling disepelekan.Banyak anak-anak yang disuruh belajar orangtuanya di masa ujian, mengatakan, “besok pelajarannya gampang, Bu, PKN.” Materi pelajaran PKN memang mudah dicerna. Persoalannya, kenapa kemudahan itu tidak cukup berhasil membentuk karakter anak tentang pentingnya persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal dalam pelajaran tersebut, nilai-nilai luhur seperti berjiwa besar, tenggang rasa, toleransi antar umat seagama maupun antar umat beragama, diajarkan hampir di setiap kelas dan masuk dalam ujian nasional. Tapi pengaruhnya masih sangat minim.

Mungkin, apa yang saya kemukakan di atas agak berlebihan, saya tahu itu. Namun, tidak merubah kenyataan pentingnya mengembalikan spirit sumpah pemuda di zaman now. Di tengah krisis kepercayaan dan kebencian yang bertebaran. Spirit sumpah pemuda perlu dihidupkan lagi, karena persatuan untuk sebuah bangsa adalah segala-galanya. Bukankah ini yang dimaksud berbangsa dalam frame bhineka tunggal ika. Selamat hari sumpah pemuda.


Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.