Opini

Menghindari Sikap Sektarian dalam Beragama

Jum, 31 Desember 2021 | 03:00 WIB

Menghindari Sikap Sektarian dalam Beragama

Pada hakikatnya dalam diri manusia memiliki dua sifat umum; baik dan buruk. Ia bisa melakukan tindak kebaikan dan juga bisa pula berlaku buruk. (Foto: NU Online)

Sejumlah konflik yang terjadi di Timur Tengah beberapa tahun belakangan ini sepertinya kian  menegaskan  bahwa selain persoalan politik, sektarianisme adalah faktor utama yang “menyumbang” terjadinya kekerasan dan tindakan teror. Isu utama persoalan sektarian adalah masalah klasik dalam tubuh umat Islam seperti sunni-syiah. Selain sunni-syiah, di Irak juga terjadi konflik sektarian seperti warga Yazidi. 


Di sisi lain, munculnya kelompok yang tergabung dengan gerakan politik ISIS kala itu juga turut andil dalam memperburuk citra Islam sendiri. 


Syeikh Abdullah bin Bayah dalam kitabnya berjudul Khitab al-Amn fil Islam wa Tsaqafah at-Tasamuh wa al-Wiam, halaman 90 menyatakan bahwa:


“Upaya mewujudkan perdamaian dunia pada masa kontemporer seperti saat ini mengalami sejumlah rintangan. Di antara faktor utamanya adalah karakter zaman atau masanya. Yakni sebuah masa dimana banyak ditemui kekacauan ideologi, tumpang tindihnya pendapat, kecepatan laju pergerakan dan aksi, internasionalisasi gagasan dan kejahatan global.” 


Lebih lanjut Syekh Abdullah bin Bayah menjelaskan bahwa problematika yang sangat kompleks di atas dapat dijawab dengan menebar perdamaian secara kolektif. Artinya adalah dengan menawarkan gagasan untuk membentuk aliansi negara-negara yang menghendaki dan mengedepankan perdamaian melalui cara yang disebut dengan perdamaian dunia (al-amn al-jamma’i). 


Pada hakikatnya dalam diri manusia memiliki dua sifat umum; baik dan buruk. Ia bisa melakukan tindak kebaikan dan juga bisa pula berlaku buruk. Oleh karena itu Allah membekali makhluk bernama manusia ini dengan akal agar dapat menjadi penuntun hidupnya sekaligus dapat membedakan kebaikan dan keburukan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Zalzalah ayat 7-8:


"Atas dasar pemberian akal untuk dapat menimbang kebaikan dan keburukan di satu sisi, serta menjadi perangkat dalam memahami ayat al-Quran iniah kemudian pada gilirannya pemahaman dan pemikiran atas ajaran Islam tidak tunggal."


Sebagai sumber hukum dan aturan kehidupan bagi umat Islam, al-Quran telah memberikan penjelasan bahwa Allah SWT. menjadikan umat manusia dalam berbagai suku, etnik, agama, bahasa, ras dan lain sebagainya. Heterogenitas umat manusia ini mestinya menjadi inspirasi bagi umat manusia untuk saling berbagi, saling menolong dan membantu antar sesamanya. Bukan malah saling bertengkar. Allah SWT berfirman:


“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS, Al-Maidah: 48)


Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt sendiri menghendaki adanya heterogenitas umat manusia. Andaikan Allah menghendaki, homogenitas adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi Dia justru menjadikan umat manusia beragam. Di sisi lain, Allah juga menegaskan bahwa heterogenitas umat manusia ini mestinya dijadikan sebagai motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. 


Nabi Muhammad sebagai teladan umat Islam dalam sejarahnya telah mengajarkan kepada umatnya dalam memperlakukan umat agama lain. Nabi Muhammad tidak pernah melakukan pemaksaan atas keragaman ideologi dan agama yang dianut oleh masyarakat Madinah.


Pun demikian, kita juga harus meneladani dakwah yang telah ditempuh oleh para penyebar ajaran Islam di negeri ini; wali songo. Para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ini dalam sejarah dakwahnya dikenal menggunakan pendekatan budaya lokal. Strategi kebudayaan yang digunakan oleh para walisongo dalam mendakwahkan ajaran Islam ini justru mendapatkan tempat di hati masyarakat Jawa. Secara perlahan masyarakat Jawa meninggalkan agama lamanya untuk kemudian memeluk agama Islam.   


Pada titik ini jelas terlihat bahwa Islam sebagaimana dicontohkan oleh pembawa risalahnya, Nabi Muhammad mengajarkan untuk bersikap menghargai atas keragaman masyarakat. Hal yang sama juga dapat kita tiru dari para wali yang mendakwahkan agama Islam di tanah Jawa dengan menggunakan budaya sebagai pendekatan dakwahnya.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online