Opini M NAJIB YULIANTORO

Menguji Syahwat Politik NU

Kam, 25 Juli 2013 | 06:00 WIB

Beda zaman, beda perjuangan, sebab barangkali beda ukuran. Dahulu, di setiap Pemilu tahun 1952 hingga 1984, NU cukup aktif terlibat dalam percaturan politik praktis. NU adalah bagian, dan menjadi, partai politik.
<>
Sesaat setelah menyadari bahwa politik praktis itu kotor, lebih banyak madlorot daripada mashlahah, di dalam perputaran masa kemudian, orang NU kembali berpikir: apakah demikian, dahulu, tujuan pokok NU didirikan? bagaimana mengambil posisi yang pas dalam ayunan langkah politik nasional?

Tibalah kemudian suatu keputusan bersejarah, sekaligus dramatis, pada tahun 1984: NU secara kukuh kembali ke Khittah 1926. Khittah, pada konteks ini, ditafsiri sebagai garis , jalan, haluan pokok . Khittah 1984 mengatur bahwa NU bukan bagian dari ormas dan partai politik manapun. Secara lugas, NU, seperti tahun 1926, kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan (jam`iyah diniyah-ijtima`iyah).

Butuh waktu kurang lebih 25 tahun untuk tiba pada keputusan dramatis itu. Kiai Achyat Chalimi dari Mojokerto, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tahun 1959, sudah secara terang menyeru agar NU kembali ke Khittah. Tetapi, saat itu, NU sedang gagah-gagahnya sebagai partai. Tentu saja, ide itu ditolak.

Pada Muktamar ke-23 (Solo, 1962), ke-25 (Surabaya, 1971), ke-26 (Semarang, 1979), ide kembali ke khittah selalu mentah. Baru kemudian pada pertemuan Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta (1981) dan Situbondo (1983), gagasan Khittah 1926 menggaung begitu kokoh, dan menemukan mumentumnya pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984).

Amnesia Sejarah

Lepas 1984, bukan berarti keterlibatan NU dalam politik praktis hilang begitu saja. Meskipun Gus Dur dan KH. Achmad Siddiq mempopulerkan bahwa NU hanya terlibat dalam politik kebangsaan, bukan lagi politik praktis, namun dalam realitasnya selalu terjadi dinamika dan muncul tekanan dan gesekan politik baik secara vertikal maupun horisontal.

Tak sedikit para kiai NU menjadi juru kampaye suatu partai. Mereka saling serang dengan menampilkan teks-teks Quran dan Hadist kendatipun sama sekali tidak relevan. Kiai-kiai NU, seperti KH. Ali Maksum dan KH. Ilyas Ruchiyat, yang jelas-jelas apolitis, kerap “diperalat” oleh penguasa untuk berpolitik praktis.

Sayangnya pengalaman itu tak selamanya mudah disadari oleh terutama kiai-kiai NU. Ketika kran demokrasi dibuka terlalu lebar di era Reformasi, tak sedikit dari elite-elite NU, mulai dari Pengurus Besar sampai Pengurus Cabang, yang merasa bangga dengan jumlah jamaah, yang konon kini sekitar 50 juta orang itu. Melalui kebanggaan atas kuantitas itu, mereka kemudian bermain-main lagi ke dalam percaturan politik praktis.

Meski secara organisasi, NU tak mengakui terlibat dalam politik praktis, namun dari individu-individu yang muncul dalam konteks pemilihan Presiden, Gubernur, dan Bupati, sangatlah jelas bahwa jamaah NU yang melimpah itu, hanya diperalat oleh elite-elitenya sebagai batu loncatan untuk menduduki kekuasaan politik.

Jika dirunut dari sejarahnya, NU sesungguhnya sudah “sego jangan” mengalami nikmat dan pedihnya berpolitik praktis. Jika mau dibandingkan, lebih banyak pedihnya daripada nikmatnya. Walaupun begitu pedihnya pengalaman itu, tetap saja tak membuat NU sadar dan menyadari bahwa perilaku itu telah menyalahi Khittah 1926. NU seperti mengalami penyakit amnesia sejarah yang sangat kronis.

NU seperti lupa, bekerja untuk mengurusi gerbong sosial-keagamaan warga NU saja sudah memakan energi yang melelahkan. Toh, tak ada jaminan jika dipimpin oleh orang NU, suatu pemerintahan akan semakin baik atau justru semakin korup. Kita terbiasa dengan riak-riak di permukaan, begitu sudah menyelam, kita tak tahu bagaimana cara berenang.

Rasionalitas Pilihan

Jauh lebih tepat apabila NU kembali ke basis utama gerakan sosial, agama, dan pendidikan. Gerakan ini jauh lebih menguntungkan, terutama bagi NU ke depan, sebab akan mampu melahirkan embrio kader-kader baru yang mumpuni dan jelas basis pemahamannya.

Untuk melakukan perbaikan sosial-keagamaan, syaratnya tidak harus melalui politik praktis. Seperti pengalaman yang sudah-sudah, politik praktis di Indonesia tak lebih dari sekadar ajang prosedural demokrasi, yang jelas-jelas, prosedur ini sangat mahal, penuh intrik, saling tikam, dan seringkali membuat kelelahan warga kecil NU.

Daripada terlibat dalam proses prosedural demokrasi yang mahal, lebih baik NU menunggu proses prosedural itu selesai, dan bekerjasama dengan pemimpin yang terpilih. Lugasnya, NU tak perlu terlibat dalam percaturan kepartaian, akan tetapi cukup menjadi partner pemberdayaan masyarakat dari program pemerintahan pemimpin terpilih, apapun partainya.

NU tak perlu lagi fanatik pada satu partai, karena kenyataannya, semua partai di Indonesia sama sekali tak ada yang ideal. Selalu ada yang baik sekaligus yang catat. NU juga tak perlu fanatik pada tokoh tertentu, yang berasal dari NU, misalnya, karena tak sedikit tokoh-tokoh di luar NU, justru lebih mumpuni dan berintegritas daripada tokoh-tokoh NU sendiri.

Warga NU harus terlatih menjadi pemilih cerdas, yang tak lagi terlena oleh bungkus semata. Tidak semua apa yang kita pilih dari keluarga sendiri itu baik. Boleh jadi, pilihan orang lain, dari keluarga yang lain, jauh lebih berbobot.

Kemampuan warga NU untuk terus belajar memilih secara cerdas hanya akan membalik kenyataan di mata publik bahwa NU adalah sungguh-sungguh organisasi cerdas. Jika dapat demikian, NU tak lagi mudah terpancing oleh gesekan-gesekan politik praktis, atau tergiur oleh iming-iming kekuasaan sesaat, sebagaimana saat ini sedang dipertontonkan secara vulgar dalam kontes prosedural demokrasi di Pilgub Jatim.

 

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.