Opini 50 TAHUN NASIRUN

Nasirun Santri Ucul?

Ahad, 6 Oktober 2013 | 07:37 WIB

Nasirun, pelukis hebat kelahiran Cilacap, mengaku bahwa dirinya adalah ‘santri ucul’. Ucul, bahasa Jawa, artinya lepas. Santri ucul adalah ungkapan untuk santri yang tidak sabar duduk mengaji, tidak betah mojok di pesantren atau iktikaf masjid. Santri model begitu, jika diminta datang ke rumah kiai, malah lari. Disuruh sarungan saja enggan, malah sarungnya dilempar di atas genteng, dan diganti dengan celana rombeng.

<>

‘Santri mursal’ adalah istilah lain dari santri ucul. Istilah ini agak ‘ilmiah’, karena diambil dari bahasa Arab. Mursal berarti lepas atau dilepaskan, ucul. Mursal diadopsi dari istilah ilmu hadits, yakni hadits yang perawi setelah tabi’in, shohabat, terlepas. Hadits tersebut termmasuk jenis hadits dlo’if, lemah, dan oleh karenanya ditolak. 

Nasirun punya dalil untuk menguatkan pengakuan keuculan atau kemursalan santri yang ada pada dirinya.  

”Aku ini tidak bisa kirim Fatihah pada Kanjeng Nabi dengan ila hadlroti. Kan tidak pantes kalau ngaku santri. Ya mungkin santri, tapi santri ucul,” begitu kata Nasirun pada saya, sambil terkekeh-kekeh, entah menertawakan apa atau siapa. Tertawa lepas tanpa alasan yang kuat, merupakah ciri khasnya. Dia memang seperti orang yang mabuk tertawa. Bicara satu menit, Nasirun bisa tertawa terbahak-bahak lima kali. Jadi jika ngobrol dengan dia satu jam, kalikan saja berapa kali dia tertawa.

Meski santri ucul, kata Nasirun, saya tetap tawasul, ya tawasul sebisanya, yang gampang. Setelah mengatakan itu, airmuka Nasirun mendadak tanpa ekspresi, bola matanya diam sejenak. Saya menunggu apa yang akan dikatakan dia selanjutnya.

“Aku bisa tawasulan dengan membasuh borok anak jalanan yang tidak diperhatikan orang. Kalau tidak nemu anak yang begitu, aku mandiin orang gila yang berbulan-bulan tidak mandi, lalu dikasih baju baru.” Nasirun mengatakan itu dengan dahi mengkerut dan tatapan tajam, namun dialek Cilacapannya sama sekali tidak hilang. Mendengar cara Nasirun tawasulan, seketika bulu kuduk saya berdiri.

Perasaan saya bercampur aduk, antara ngeri dan takjub. Tapi sejurus kemudian Nasirun kembali tertawa terbahak-bahak hingga bahunya terguncang, sederet gigi bagian depan terlihat, lalu mengibas-ngibaskan rambut panjangnya yang kriting. Saya pun kembali santai, rasa ngeri hilang, tinggal takjubku. Nasirun mengaku bahwa semua itu bisa dijalankan dengan mudah dan santai, lebih susah daripada membaca surat al-Fatihah yang didahului dengan ila hadlroti.

Saya katakan padanya, bahwa tawasulan model membasuh borok itu amat susah dilakukan, bahkan oleh ulama atau kiai, apalagi ulama yang tidak pernah keluar dari pesantrennya. Amalan model Sampeyan, Kang, kata saya, itu setingkat Nabis Isa. Hanya Nabi Isa yang tulus menyentuh orang borokan, cuma beliau yang mendekati orang gila dengan senang. Mendengar komentar saya, Nasirun cuma tertawa...hahahah...hahaha...

Saya mengerti, pengakuan ketidakbisaan Nasirun bertawasul seperti santri pada umumnya, adalah kembang obrolan saja. Yang terjadi sesungguhnya, dia sedang menyembunyikan kefasihannya sebagai santri. Bagaimana mungkin dia tidak bisa mengaji, tidak bisa baca al-Fatihah, wong goresan-goresan kaligrafinya begitu taat kaidah, khot Naskhi-nya, salah satu gaya kaligrafi, begitu luwes dan kuat. Pilihan-pilihan kalimat dalam kaligrafinya juga menunjukkan bahwa dia santri yang mengerti dan sarat permenungan. Saat menggelar pameran tunggal untuk memperingati seribu hari ibundanya –pamerannya berjudul ‘Salam Bekti’, 2009, Nasirun menunjukkan kebolehannya memilih beberapa ‘kalam Arab’. Dan jangan lupa, Nasirun pernah menjuarai lomba kaligrafi tingkat Kabupaten Cilacap. Dan jangan lupa juga, bapaknya Nasirun itu bukan saja seorang pengamal tarekat Naqsabandiyah, tapi juga punya maqom yang tinggi, badal mursyid, pengganti atau wakil mursyid. Wal hasil, mustahil dia tidak bisa ila hadlroti.

Saya kira, hendak disembunyikan seperti apapun, Nasirun susah melepas kesantriannya. Atribut kesantriannya melekat erat, begitu gamblang terlihat. Di belakang rumahnya misalnya, ada mushola kayu dari madura, di langit-langit rumahnya ada al-asmaul husna yang diguratkan pada fiber berbentuk buah kelapa, menggantung dengan indah, beberapa lukisan karyanya yang dilengkapi kaligrafi tertata rapi di dindin rumah. 

Kesantrian Nasirun juga tampak pada caranya berpakaian. Kopyah hitam biasa nangkring di atas kepalanya, juga sarung sering dikenakan, seperti santri pada umumnya. Busana tersebut banyak dijadikan obyek lukisan potret diri, menjadi ‘identitas’. Bicaranya pun sarat idiom-idiom santri, meski setengah-setengah. Di antara idiom santri yang sering dikemukakan dan orisinil hasil dari permenungannya adalah “Zakat Budaya”. Zakat Budaya tidak ada dalam fiqih, tapi zakat itu sendiri adalah hal yang sentral dalam Islam, ia salah satu dari lima rukun Islam.

Dalam peringatan hari lahir Nasirun yang ke-50 yang baru saja dilaksanakan di Bentara Budaya Yogyakarta, 1 Oktober, saya kira juga dirancang menjadi momentum mengabarkan atau malah meneguhkan kesantriannya. Kata tabligh yang menjadi sentral “dekorasi”, Nasirun yang berkopyah, shalawat badar yang dikumandangkan, pajangan sembilan bedug dan kentongan, deretan santri “kelas wahid” yang member taushiyah pada malam itu, ada Wakil Rais Am PBNU KH A. Musthofa Bisri, Gus Yusuf dari pesantren Tegalrejo Magelang, dan dihadirkannya ‘imajinasi visual’ Wali Sanga adalah “demosntrasi” kesantrian seorang Nasirun. Teman saya, Hairus Salim, di lini masa bilang tentang pembukaan pameran bertajuk "Rubuh-rubuh Gedhang" itu, “Pembukaan pameran atau pengajian ya ini? Ada shalawat Badar.” 

Meski demikian, Nasirun memang sedang memerankan dirinya atau menampilkan, apa yang teman-teman saya di LKiS dulu, disebut sebagai Islam enteng-entengan, Islam yang ringan dan santai, Islam yang menerima Jawa, Aceh, Bugis, Lombok, dan lain-lain. Islam enteng-entengan ini susah dijelaskan. Tapi kira-kira Islam seperti yang digagas dan dilakukan oleh Gus Dur, Islam yang kadang-kadang tidak selalu merujuk pada sumber-seumber utama, malah cukup dengan jawaban begini, “Gitu saja kok repot!”

Nasirun mengejawantahkan Islam enteng-entengan dengan tak mudah berucap dengan dalil naqli, merasa cukup ‘berdalil’ dengan canda tawa. Misalnya dia bercerita bahwa musola kecil di belakang rumah itu punya fungsi yang besar. Namun, fungsi musola itu bukan untuk sembayang jama’ah keluarganya atau tetamunya yang dating silih berganti, ataupun untuk qiyamul lail agar khusuk. Lalu untuk apa? 

Dia bilang, “Aku kasih musola di belakang rumah agar anak-anakku bisa membedakan mana kulkas dan mana musola.” Jawaban Nasirun mengejutkan, di luar nalar keseharian kita, dan mengundang tawa, tanpa ada pretensi nilai-nilai yang dibawa.

Bagi Nasirun, Islam itu srawung dengan siapa saja, tanpa menelisik perbedaan keimanan atau status sosial. Islam, bagi Nasirun, tidak membedakan pameran lukisan dengan pengajian. Islam itu nyeni, bahkan boleh melukis orang, dan makhluk hidup lainnya, termasuk menggambar babi. Perlu disampaikan di sini, mayoritas ulama menjauhi lukisan, mengharamkan profesi pelukis. 

Kata Allah, “Dan siapakah yang lebih zdalim daripada orang yang menciptakan seperti ciptaanku?” Di akhirat kelak, pelukis akan dimintai pertanggungjawaban, ”Ahyu maa kholaqtum, hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” Dalam hadits Nabi banyak riwayat yang mengatakan larangan menggambar makhluk hidup dan larangan profesi pelukis, ”Inna asyaddan nasi ‘adzaban ‘indallahi yaumal qiyamati al-mushowwiruun, sesungguhnya adzab yang paling keras di sisi Allah ketika kiamat adalah para pelukis.” Teks-teks itu menjadi dalil pengharaman profesi yang kini digeluti Nasirun. Lalu bagaimana ini nasib Nasirun?

Nasirun tidak akan repot-repot mencari dalil naqli tandingan untuk membenarkan posisinya. Mungkin dia akan cukup berkata, ”Aku cuma ikut-ikut Gus Mus kok? Beliau kan pelukis juga? Kalau nanti masuk neraka ya tidak masalah, kan ada Wakil Rais Am PBNU? Ya, maksimal Nasirun akan membela diri begini, “Apa salahnya nggambar babi? Babi kan makhluk Gusti Allah juga? Sing penting kan niate apik?”

Tapi, jika seandainya Malaikat penjaga neraka betul-betul menyuruh Nasirun nyemplung neraka, pasti Nasirun akan protes keras, ”Sebagian Duit hasil melukis saya sumbangkan sekolah, orang-orang fakir, guru ngaji di Cilacap. Masukkan juga dong guru ngaji tetanggaku ke neraka. Aku juga ikut urun harlah NU Jogja, masukkan orang seluruh pengurus NU Jogja ke nereka. Ayok berani mboten, Pak Malaikat?” Dan pasti, dia akan mengatakan semua itu dengan tertawa. 

Keagamaan dan kesantrian Nasirun dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan rendah hati. Dia tawadlu betul seperti imam-imam mushola di desa-desa. Bila perlu, Nasirun mungkin akan menyembunyikan amal salehnya. Dan bila diperlukan lagi, dia akan menampakkan segala kemaksiatannya sebagai manusia, seperti yang pernah diujarkan Robi’ah, “Zayyin nafsakan bil ma’shiyah, wa la tuzayyin nafsaka bil ‘ibadah, hiasailah dirimu dengan maksiat, dan janganlah hiasa dirimu dengan ibadah.”

Bagi kita-kita yang gila pengakuan keagamaan, bagi kita-kita yang sibuk menjadikan agama sebagai gaya hidup, bagi kita-kita yang menutup mata terhadap jalan agama yang bermacam-macam, Nasirun dengan segenap goresan kuasnya, dengan segenap perilaku kesehariannya, adalah cermin yang pas, untuk kita semua.

Sesungguhnya, Nasirun bukanlah santri ucul seperti yang dia katakan, kecuali bagi kita yang gampang terkecoh penampilan lahir. Atau, jika dia memang ucul, pada acara ulang tahunnya yang ke-50 itu, Nasirun telah pulang, kembali menjadi santri, manjing ruang pameran dengan niat yang sama seperti manjing musola. Ini seperti dawuh kiai-kiai yang bijak, “Seucul-ucelnya santri, dia akan kembali. Begitu juga dengan Nasirun. (Hamzah Sahal)