Opini

NU, Agama, Negara

Kam, 19 Juli 2018 | 01:15 WIB

Oleh: Abdul Ghopur

Kalau ada seseorang yang mengaku beragama berani melakukan bunuh diri (juga membunuh penganut kepercayaan/paham lain) dan meledakkan bom maka tesis dan jargon Bela Iman, Bela Ayat dan Berperang Demi Tuhan, Berperang Demi Agama sedang mengalami puncak kejumudannya. Inilah potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman radikalisme-terorisme tak berkesudahan di Indonesia, bahkan di dunia. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan fundamentalisme agama guna melawan neo-kapitalisme yang digerakan oleh Barat dan sekutunya. 

Menurut para analis, pakar dan cendekia, mereka yang berani melawan Barat adalah para fundamentalis, radikalis, dan teroris. Ini memang tuduhan atau stigma yang selalu diberikan oleh dunia Barat terutama yang mengalami Islamophobia. Tetapi, siapakah para begundal penganut fundamentalisme itu? Fundamentalisme sering dimaknai sebagai perilaku keagamaan berdasarkan normative approach (penghayatan normatif) yang skriptural (berdasar teks semata) tanpa melihat persoalan-persoalan substansial lainnya (misal; sejarah/asbabun nuzul, peradaban, iptek). Perilaku normative approach ini kemudian melahirkan sibling rivalry yaitu permusuhan antar saudara kandung (maksudnya, Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan mengedepankan sikap truth claim, merasa paling benar dengan menyalah-menyesatkan agama dan pemeluk/penganut kepercayaan lain.

Identitas dan bahasa politik fundamentalisian amat kuat dimiliki  oleh para aktivis penegak masyarakat teks dan kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Dalam Islam, misalnya, ada semangat keberislaman rigid yang dihayati oleh mereka dan dikuatkan, atau dibentuk,  lewat doktrin kaffah, yakni keutuhan untuk menjaga dan memasuki agama (Islam) dengan sebenar-benarnya dan secara menyeluruh. Penegakan syariat Islam (misalnya) adalah suatu kewajiban bagi mereka. Keyakinan ini di Indonesia sebagai kasus studi, diperkuat oleh adanya kenyataan historis akan perjalanan Piagam Jakarta yang selalu ‘tersandung’ dalam lembaran kehidupan politik bangsa sehingga meninggalkan noda hitam dalam memori kolektif mereka, hingga  menuntut ‘pembersihan-realisasinya’ secara cepat-tepat.

Suasana Bangsa 
Dengan situasi yang seperti ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan kebangsaan kita akan jauh lebih buruk, hubungan intra dan antaragama akan menurun drastis dan sampai titik nadir. Terutama bila para pemimpin, ilmuwan dan elit masyarakat terjebak pada nafsu untuk berkuasa semata dengan mengesampingkan nilai-nilai kebangsaan bahkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Fenomena maraknya kembali tradisi kekerasan dan radikalisme di Tanah Air beberapa waktu terakhir terasa semakin memperihatinkan. Kekerasan atas nama apa pun sesungguhnya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai humanisme universal. Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas tadi.

Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, adat istadat, bahasa dan agama, secara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psychology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. 

Walhasil, muncullah “ketidakpercayaan” sebagian golongan masyarakat kita yang ujungnya adalah “pembangkangan” masyarakat sipil. Apa buktinya? Sekarang telah banyak bermunculan dan berkembang di masyarakat berbagai macam ideologi ekstrim, gaya hidup ekstrim, cara pandang dan pikiran-pikiran ekstrim, tindakan-tindakan ekstrim (radikalisme-terorisme) serta ekstrim-ekstrim yang lain termasuk ekstrim menilai kelompok-kelompok atau faham-faham dan keagamaan lain yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan kelompoknya adalah salah bahkan sesat, alias merasa paling benar sendiri (truth claim). Padahal, tiada paksaan dalam beragama (laa ikrahafiddiin).

Rekam Jejak NU
Ketidakmampuan (incompatibility) kultur merespon serta padangan ekstrim dan merasa paling benar sendiri inilah saya pikir sangat berbahaya bagi kerukunan sesama dan antaragama serta perikehidupan berbangsa dan bernegara kita ke depan. Padahal selama ini bangsa Indonesia sangat terkenal atau dikenal atas toleransi dan keramah-tamahannya yang tinggi. Sehingga dunia pun melihat kita sebagai contoh atau cermin kehidupan agama dan bangsa yang ideal. Berkaca pada pengalaman Nahdlatul Ulama, suatu organisasi keulamaan, dan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, banyak pengalaman berharga kiranya yang bisa dibagi. Satu di antaranya ketika ahli-ahli tarekat, aktivis dan politisi dunia belajar pengalaman dari Indonesia, dari NU, bagaimana mengelola bangsa dan negara yang multi etnis, bahasa, juga agama. Termasuk ulama-ulama dari Afganistan berusaha mencoba bertukar pikiran dan pengalaman dengan kita bagaimana sebuah agama dan organisasi keulamaan bisa menjadi perekat bagi keutuhan bangsa. Pengalaman berbangsa dan bernegara itu yang ingin dibagi bersama bangsa lain terutama dalam menegaskan hubungan agama dengan negara, dan menerapkan ideologi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sebut saja peristiwa penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal negara oleh pemerintahan Orde Baru tiga dekade lebih yang lalu. Dan, jauh sebelum itu, banyak di antara ulama’ NU seperti KH Wahid Hasyim, KH Masykur dan lain sebagainya yang menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. Dengan sendirinya mereka ikut dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu NU membela kesepakatan yang dibuat oleh NU sendiri bersama komponen bangsa lainnya, saat dihadang oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI dan Pancasila. Tetapi celakanya, di tangan Orde Baru Pancasila telah menjadi alat politik yang menentukan atau sebagai sarana untuk mendiskriminasi dan menstigma kelompok lain. Akan tetapi, karena kesetiaan NU pada Pancasila, NU menolak segala penyimpangan penafsiran dan pengamalan Pancasila serta penerapan di luar batas seperti itu (lihat, Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011).

Sebagai salah satu perumus Pancasila, NU menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dimonopoli Orde Baru melalui P4 dan sebagainya. Padahal, Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara menjadi milik bersama sebagai falsafah bangsa. Ketika Orde Baru mendesak semua organisasi tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi kemasyarakatan untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka banyak organisasi yang curiga, enggan dan menolak, terutama ormas keagamaan, tidak hanya Islam tetapi juga agama yang lain. Melalui pembicaraan yang intensif antara KH As’ad Syamsul Arifin dan juga KH Ahmad Siddiq dengan Presiden Soeharto bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisasi, tanpa harus meninggalkan faham Ahlussunnah Waljama’ah sebagai dasar akidahnya.

Kemudian penerimaan itu dirumuskan dalam sebuah Piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah Deklarasi Hubungan Pancasila Dengan Islam. Deklarasi penting itu dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983. Pernyataan NU dianggap kontroversial dan menggemparkan saat itu. Bagi yang tidak tahu argumennya akan menentang, tetapi yang mengerti argumennya yang begitu rasional dan sistematis serta proporsional itu banyak yang tertegun dan simpati.

Tidak sedikit kalangan Ormas Islam yang lain berterima kasih kepada NU yang mampu berpikir cerdik dan strategis dalam memecahkan persoalan yang sangat pelik yakni hubungan agama dengan Pancasila, tetapi dengan kecemerlangannya NU mampu meletakkan hubungan yang proporsional. Sehingga, mereka bisa menerima Pancasila secara proposional pula. Bahkan agama-agama lain merasa sangat berterima kasih pada NU atas kemampuannya merumuskan hubungan agama dengan Pancasila dengan argumen yang rasional dan mendasar baik secara syar’i maupun secara siyasi.  

Ketika undang-undang mengenai penerapan asas tunggal diberlakukan pada tahun 1985, maka jalan yang dirintis NU telah mulus, sehingga hampir semua Ormas besar dan agama-agama resmi menerimanya. Hanya beberapa Ormas Islam sempalan yang masih menentang Pancasila (bahkan sampai hari ini). Itulah salah satu jasa besar NU terhadap bangsa ini dan dalam menegakkan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara Republik Indonesia serta dasar bagi Ormas yang ada.

Ulama dan Panduan Berbangsa
Meskipun dihuni oleh banyak orang Islam sehingga layak disebut negara Muslim, karena 90% lebih penduduknya menganut agama Islam, akan tetapi sesungguhnya, Indonesia bukanlah negara Islam atau negara berdasarkan agama tertentu. Tetapi, Indonesia adalah negara kesepakatan, negara damai (daarussalam), negara selamat untuk semua anak bangsa atau negara satu untuk semua, semua untuk satu, semua untuk semua, begitu kata Bung Karno. Begitu pula, para pendiri bangsa (founding fathers) yang sebagian besar adalah para ulama, telah menggariskan, memberikan rel, bagaimana kita berkehidupan-berbangsa dan bernegara di masa kini dan yang akan datang. 

Indonesia yang multi etnis, ras, budaya, adat-istiadat, agama dan ideologi, tetapi kerukunan sosial bisa terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang mendalam, serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh yaitu Pancasila. Secara kontras bisa dibandingkan dengan negara-negara atau bangsa-bangsa di Timur Tengah, mereka relatif homogen secara agama, tetapi mereka sulit bersatu bahkan selalu berada dalam ketegangan. Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos, budayanya lemah, sehingga tidak memiliki kemampuan beradaptasi karena tidak memiliki sikap tawassuth (tengah/moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan lain sebagainya. Karena itu mereka ingin belajar kepada kita.

Namun dewasa ini bangsa kita sebaliknya malah sedang menghadapi faham-faham atau aliran fatalis, fundamentalis dan radikalis bahkan terorisme yang jelas-jelas bertentangan dengan ideologi negara yang telah susah-payah dirumuskan oleh para Pendiri Bangsa ini. Dan, celakanya gerakan politik-keagamaan mereka dibungkus serta mengatasnamakan faham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Padahal, Aswaja adalah faham yang berpandangan moderat, toleran, dan seimbang serta dinamis (tidak melulu tekstual semata) dalam mengamalkan kehidupan beragama serta bermasyarakat-berbangsa. Dewasa ini pula, kita memperhatikan dan merasakan adanya gejolak sosial-ekonomi dan politik di negeri ini mulai mengarah pada disintegrasi bangsa. Belakangan, mulai bermunculan kelompok-kelompok atau Ormas-ormas yang mengatasnamakan kesukuan dan keagamaan, yang menjauhi semangat kebhinnekaan dan Pancasila sebagi dasar negara.

Banyak Ormas berwajah garang yang sering melakukan aksi-aksinya secara radikal dengan menebar fitnah atau hoaks, ancaman dan teror yang tak jarang berujung pada tindakan terorisme. Inilah yang menjadi salah-satu ancaman serius bagi kokohnya persatuan dan kesatuan serta kedaulatan negara Indonesia saat ini. Meskipun, saya meyakini bahwa tindakan ini dilakukan selain karena kurangnya pemahaman keagamaan yang melihat konteks sebagai instrumen utama dan pemahaman kebangsaan, juga karena memang rasa ketidakpuasan terhadap situasi yang ada yang mereka rasakan. Karena memang, katakanlah hasil pembangunan belum merata sepenuhnya dan belum dirasakan orang kebanyakan.

Di samping itu, demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998, belum sepenuhnya membawa kemanfaatan bagi rakyat Indonesia bahkan sangat mengecewakan. Bagaimana tidak, demokrasi dipahamai sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas dan rambu-rambu. Demokrasi hanya menyejahterakan sebagian kecil kalangan dan menyuburkan politik uang serta melahirkan pemimpin yang tidak amanah. Semua itu merupakan hasil dari sistem demokrasi yang hanya semata-mata menekankan pada aspek prosedural dan tidak berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain pembangunan negara-bangsa Indonesia tidak sesuai dengan kultur dan natur bangsa.

Persoalannya kemudian mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi Mei ‘98? Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Di dalam ketiadaan-keadilan, keamanan (ekonomi, sosial, politik, beragama dan budaya) dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif bahkan destruktif. 

Kita juga ternyata secara jujur belum betul-betul siap menerima keberagaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta sebagai, ‘panitia kesejahteraan rakyat’. Dan, Al-Qur’an sesungguhnya telah menjelaskan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal (al-Hujarat ayat 13). 

Selain itu, selama periode-periode pemerintahan sebelumnya kita akui, kita terlalu terfokus pada pembangunan pusat atau ibu kota. DKI Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu tingkat angkatan kerja, kejahatan dan frustasi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta menjadi magnet yang mencuri kelebihan daerah. Seluruh potensi daerah seakan-akan dipaksa bekerja untuk Jakarta. Seharusnya, Indonesia bukan hanya Jakarta, demikian pula Jakarta bukan satu-satunya kota di Indonesia.

Oleh sebab itu, NU berpandangan dan berprinsip untuk menerapkan demokrasi sebagai sarana, bukan sepenuhnya sebagai tujuan. Bagi NU, demokrasi adalah alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan tujuan. Demokrasi bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi demokrasi adalah nilai-nilai. Karena itu pelaksanaan demokrasi harus dibatasi oleh moral, hukum, kesepakatan pendiri bangsa dan disangga oleh budaya bangsa yang adiluhung. Demokrasi haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa, mampu menciptakan keadilan, dan memberikan kesejahteraan pada rakyat. Demokrasi juga harus mampu menjaga kebersamaan dalam kebinnekaan, memperhatikan prinsip permusyawaratan/perwakilan dan kemufakatan yang mencerminkan keragaman bangsa, dan tidak semata-mata berdasarkan mekanisme pemilihan (one man one vote), juga harus mampu menjamin kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekaligus mengedepankan sikap dan pandangan kebangsaan dan keagamaan yang substansial, moderat (tawassuth), tengah (washatan), seimbang (tawazun), keadilan (i’tidal), tegak lurus, toleran (tasamuh), dinamis (tathawwuriyah) dan holistik (rahmatan lil’aalamiin).


Intelektual muda NU; Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa, 
menulis Buku: Ideologi Kaum Fundamentaslis, Menjawab Kegalauan Persoalan Agama dan Negara, 2018, dan “Ironi Demokrasi; Menyibak Tabir dan Menggali Makna Tersembunyi Demokrasi 2018.