Opini

NU Korea, Menghidupi NU dari Berdagang

Sel, 16 Oktober 2018 | 04:30 WIB

NU Korea, Menghidupi NU dari Berdagang

Kiai Said bersama Nahdliyin Korsel (Foto: istimewa)

Oleh Syaifullah Amin

Di tulisan sebelumnya, saya sudah membahas mengenai berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para personil Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan seperti waktu, jarak, biaya maupun tantangan eksternal. 

(Baca: Ghirah Islam Nusantara di Negeri Ginseng)

Sekarang mari kita bahas tentang cara mereka mengatasi tantangan-tantangan itu. Pertama adalah waktu, jam kerja yang ketat di Korea disiasati dengan memanfaatkan waktu libur. So, kegiatan-kegiatan ke-NU-an dan juga keagamaan lainnya hanya dilaksanakan pada hari-hari libur. 

Tentu ini pun melahirkan tantangan baru karena pada hari-hari libur, setiap komunitas juga ingin membuat acara. Ada acara kebudayaan, ada acara pengajian dan juga acara ke-NU-an. Untuk tantangan terakhir biasanya disiasati dengan komunikasi antar kelompok, antar Masjid. 

Para perwakilan kelompok berdiskusi dan saling berbagi waktu untuk kesuksesan acara-acara mereka. Terutama yang mendatangkan tokoh-tokoh dari tanah air. Agar jangan sampai bentrok waktunya. Kendati demikian, masih juga terjadi miss komunikasi karena beberapa alasan. 

Persoalan kedua tentu saja adalah biaya. Bagaimanakah teman-teman aktivis PCINU Korea Selatan ini mendapatkan uang untuk operasional organisasi? Tentu saja iuran atau patungan dari uang pribadi. Tetapi bukankah mereka harus berbagi anggaran?

Untuk ini mereka harus rela membagi-bagi gajinya menjadi beberapa kotak, untuk mereka pribadi antara keperluan, keinginan dan tabungan, untuk komunitas dan kegiatan bersama lainnya dan untuk kas atau operasional NU tentu saja. 

Memang gaji mereka terbilang cukup besar. Tetapi tidak bijak bila harus pulang ke tanah air tanpa tabungan, khususnya mereka yang jomblo. Dan untuk itulah mereka berdagang, ya mereka berdagang melalui LPNU (Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama) yang konon di sana lebih terkenal sebagai PBNU (Para Bakul NU) hehehe. 

Ya, memang mereka biasa disebut sebagai bakul karena dagangan mereka banyak banget. Pada umumnya dagangan mereka adalah aksesoris-aksesoris NU, mulai kaos, baju, rompi hingga peci. Dari hasil keuntungan berdagang inilah PCINU dijalankan. Tentu saja dengan sumber lain umum di lingkungan NU yakni iuran, infak dan shodaqoh, seperti telah saya sebut film atas. 

Selain LPNU, aktifitas keuangan lain yang dikelola oleh PCINU yakni NU CARE-LAZISNU. Lembaga ini mengelola keuangan seperti lembaga-lembaga serupa di NU. Mengumpulkan uang dan donasi untuk keperluan sumbangan, baik untuk kegiatan maupun untuk bangunan dan lain-lain. 

Sedangkan untuk tantangan eksternal, terbentuknya PCINU sendiri merupakan suatu langkah guna menghadapi tantangan dakwah dari kawan-kawan sebelah. Mereka bercerita bahwa tantangan eksternal wahabisme sudah dirasakan sejak sebelum PCINU terbentuknya pada pada tanggal 28 September 2014 M di Daejeon. 

Dulunya, saat mereka masih berupa komunitas-komunitas Masjid, mereka menghadapi wahabisme dengan rasa agak minder dan kurang percaya diri serta parsial sendiri-sendiri. Kini setalah NU eksis, mereka merasa bergerak dalam satu barisan dan memiliki organisasi naungan di tanah air.

Ya kini mereka menjadi satu barisan, terutama sejak PCINU juga membentuk kepengurusan Fatayat Ansor dan Banser. Lha yang terakhir ini kan biasa dilatih berbaris ya, meski gak lurus-lurus amat. Toh tersamar oleh jaket doreng mereka. Hehehe

Dengan ber-NU, mereka menjadi bagian utuh tak terpisahkan dalam perjuangan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di dunia. Memiliki referensi perjuangan dan keilmuan yang diakui oleh hukum dan sosial. Merasa aman karena dilindungi oleh legalitas organisasi dan hilang keraguan karena memiliki tempat bertanya yang dapat dipercaya. 

Dinamika selanjutnya adalah perjuangan mereka dalam berorganisasi di tengah-tengah kesibukan di negeri orang. Bagaimana membagi waktu dan tentu saja keuangan. (Tamat)


Penulis adalah Wakil Direktur NU Online