Opini

NU Menuju Satu Abad dan Menyongsong Abad Kedua

Sab, 1 September 2018 | 05:00 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Sebagai bagian dari civil society yang sedari awal pendiriannya terus konsisten memperkuat bangsa dan negara, Nahdlatul Ulama tidak menutup mata dengan tantangan dan segala perubahan cepat yang saat ini terpampang di depan mata. Sebab itu, komitmen kebangsaan dan konsolidasi organisasi juga harus terus dijaga agar sesuai dengan cita-cita para pendiri NU. Karena mereka juga berandil besar dalam mendirikan negara beserta dasar-dasarnya.

Bentuk konsolidasi yang baru saja dilaksanakan ialah Silaturahim Nasional yang diinisasi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan menghadirkan para pengurus NU dari 34 provinsi. Pertemuan dilakukan di Jakarta pada Kamis (30/8/2018) malam atau malam Jumat. Berbagai problem bangsa dibahas, terutama tantangan organisasi yang pada 2026 menginjak satu abad sekaligus rencana strategis untuk menghadapi abad kedua.

Agenda silaturahim tersebut ditegaskan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurutnya, konsolidasi dengan para pengurus NU di tingkat wilayah (PWNU) penting dilakukan. Terutama dalam rangka mempersiapkan peringatan 100 tahun NU pada 2026. Namun disebutkan Kiai Said, memperingati satu abad tidak hanya sekadar menjadi sebuah seremoni dan romantisme, tetapi juga harus dijadikan momentum untuk memperkuat peran NU di segala bidang untuk meneguhkan perjalanan bangsa dan negara.

Pada tahun 2026 mendatang, NU mencapai usia satu abad atau 100 tahun sejak dideklarasikan pada 1926 di Surabaya oleh para kiai yang dinakhodai Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Banyak hal telah dilalui oleh jamaah dan jam’iyah NU, baik rintangan, tantangan, sejarah, program, pengabdian untuk umat, bangsa, dan negara hingga saat ini Indonesia masih menjadi satu kesatuan di tengah kemajemukan bangsa.

Bahkan, peran global yang sedari awal telah dibangun oleh KH Abdul Wahab Chasbullah melalui pengiriman delegasi bernama Komite Hijaz di Makkah turut memberikan inspirasi bagi Nahdliyin agar tidak melepaskan diri dari problem umat Islam dunia dan umat manusia pada umumnya. Setidaknya, peran NU yang mendunia itu tetap akan menjadi rel dan pondasi kokoh seperti terlihat dalam gambaran bola dunia di logo NU.

Saat ini, perubahan sosial semakin cepat. Hal ini berakibat problem yang ditimbulkan juga semakin kompleks sehingga dengan sendirinya, tantangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) terbesar di dunia juga mempunyai pekerjaan rumah yang tidak mudah. Apalagi perubahan tersebut disertai kemajuan pesat teknologi informasi dan digital. Dunia dalam genggaman. Seluruh individu, komunitas, kelompok, organisasi, bangsa, dan negara di semua belahan dunia dapat mengakses informasi secara realtime. 

Dahulu tradisi, budaya, pemikiran, dan ilmu harus didapat dengan mendatangi langsung seorang guru sesuai prinsip al-‘ilmu yu’ta wala ya’ti (ilmu itu didatangi, bukan mendatangi). Saat ini, dengan gadget di tangan, siapa pun bisa belajar lewat transformasi era digital berwujud media sosial, baik tulisan, video, gambar kartun, maupun gambar kutipan (meme).

Bedanya, tradisi lama membentuk sekaligus mampu merawat jalinan masyarakat yang kuat dan kokoh secara keilmuan sehingga bisa membentuk budaya baru. Sedangkan tradisi baru atau digital membentuk masyarakat virtual yang cenderung kurang humanis, meskipun harus diakui tidak sedikit peran-peran kemanusiaan yang terajut kuat karena jalinan (engagement) para warganet (netizen) di media sosial. 

Namun, melihat realitas sosial saat ini, NU tidak terlalu takjub apalagi kaget. Sebab sedari awal, NU mempunyai prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga nilai-nilai tradisi yang berguna buat umat dan mengambil secara selektif terhadap nilai-nilai baru yang lebih berguna untuk umat).

Melihat fenomena perubahan sosial yang sangat cepat ini (bahkan menurut penelitian kecepatan perubahannya mencapai 3.000 kali lipat lebih cepat dibanding era sebelumnya), warga NU (nahdliyyin) dituntut mempunyai jiwa inovatif di segala lini kehidupan, tak terkecuali bidang sosial dan agama yang selama ini menjadi concern NU. Langkah inovatif ini harus berjalan terus menerus agar NU tetap menjadi subjek (fa’il) atau produsen, bukan objek (maf’ul) atau konsumen di tengah perubahan.

Langkah itulah yang disebut Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin (Peta Jalan NU Abad Kedua, 2018) dengan prinsip al-ashlah ilaa mahuwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah (innovative and continous improvement). Jadi, menjaga tradisi merupakan hal penting, mengadopsi dan selektif terhadap tradisi baru juga langkah yang tidak kalah penting, tetapi tetap berinovasi merupakan langkah yang sangat penting sehingga peran NU sebagai subjek akan konsisten atau istiqomah dalam keaktifan memberi manfaat (maslahah) untuk umat di seluruh dunia.

Konsep Islam Nusantara sebagai sebuah karakter dan tipologi Islam khas di Indonesia juga perlu terus digaungkan. Sebab, nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara dengan jutaan khazanahnya selama ini mampu menginspirasi warga Muslim dunia untuk bisa adaptif dengan tradisi dan budaya lokal, di mana pun Muslim itu berada.

Dengan prinsip kemasyarakatan yang dikembangkan oleh NU seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus/adil), dan amar ma’ruf nahi munkar menjadikan Islam dapat diterima siapa saja. Alasan fundamental itulah yang mejadikan Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat lokal Nusantara hingga saat ini Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Sebagai organisasi yang terus mentradisikan kitab-kitab ulama klasik (thurats) dalam setiap pengambilan hukum, NU juga perlu istiqomah dengan tradisi Bahtsul Masail-nya. Pembahasan problem-problem aktual keagamaan dalam realitas sosial masyarakat itu selama ini mampu memberikan solusi konkret dalam menjawab perubahan zaman. Artinya, tradisi Bahtsul Masail merupakan salah satu pondasi penting dan kebutuhan pokok dalam menjawab perubahan.

Dalam hal ini, semangat hasil Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 perlu menjadi rujukan, yakni prinsip istinbath jama’iy untuk menghadapi berbagai dinamika masyarakat yang berubah secara cepat. Jika di abad pertama NU telah membuktikan kecerdasan ijtihadnya untuk mempertemukan paham keagamaan dengan paham kebangsaan yang kemudian melahirkan ideologi Pancasila dan NKRI sebagai sebuah konsep kenegaraan yang sudah final secara hukum agama, maka tantangan NU di abad kedua akan menghadapi hiruk-pikuk perubahan sehingga istinbath jama’iy perlu terus dialakukan.

Istinbath jama’iy ini metode pengambilan hukum secara kolektif dengan menyandarkan diri kepada berbagai pendapat para ulama madzhab. Salah satu poin penting dari keputusan Munas Lampung tersebut ialah pengembangan pengambilan hukum dari secara qauliy (pendapat ulama) ke manhajiy (metodologis).

Metode qauliy mengharuskan pengambilan hukum jika ada pendapat ulama yang menjelaskan. Konsekuensinya, jika pendapat ulama tersebut tidak ada dalam kitab mana pun, maka sebuah hukum tidak bisa diputuskan alias mauquf. Dampak dari metode ini, NU tidak bisa merespon perubahan zaman secara cepat.

Maka dari itu, diambillah metode manhajiy yang dititikberatkan kepada metodologi pengambilan hukum. Manhajiy ini yang paling relevan, sebab meskipun pendapat ulama secara sharih tidak ada, namun hukum tetap bisa diputuskan secara metodologis sehingga NU bisa terus merespon perubahan secara cepat pula.

Alakullihal, NU tidak mungkin mampu berjalan sendiri dalam menghadapi berbagai macam problem dan tantangan agama serta kebangsaan. Sebab itu, peran aktif masyarakat untuk memajukan negara dan mewujudkan kehidupan yang baik antar-sesama perlu terus digaungkan dan dikerjakan secara nyata. Semua demi Indonesia!


Penulis adalah warga NU kelahiran Brebes, Jawa Tengah; Pengajar di Fakultas Agama Islam UNU Indonesia (UNUSIA) Jakarta