Opini

Pemetaan Gerakan Feminisme Global (III)

Ahad, 10 Februari 2019 | 09:30 WIB

Oleh Muhammad Syamsudin

Era pasca-Rasulullah SAW dan al-Khulafâ al-Râsyidîn, perlakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai perempuan agak sedikit mengalami penurunan, seiring munculnya banyak aliran dalam Islam. Ruang gerak perempuan menjadi sempit, utamanya dalam kehidupan seksualnya, psikologi dan emosionalnya. Kondisi ini terus bertahan sampai kisaran abad k-18 M. Baru kemudian di akhir abad ke-18, kaum perempuan mulai bisa menerima pendidikan baca-tulis dalam konteks lembaga pendidikan. Di era ini, lembaga pendidikan yang menampung mereka adalah kuttâb, yaitu semacam lembaga pendidikan yang diselenggarakan di masjid dan biasanya hanya diisi oleh anak laki-laki saja untuk belajar membaca dan menulis Al-Qur’an. 

Awal abad ke-19, terjadi perubahan sosial yang cukup fundamental di kawasan Timur Tengah. Munculnya konsep negara-bangsa (nation state), eksploitasi kekayaan alam oleh Barat, serta penguasaan pemerintahan kolonial terhadap kawasan tersebut, baik secara formal maupun informal, telah mempengaruhi orientasi perubahan pada pola pikir di bidang ekonomi dan politik. Bidang ekonomi memiliki pengaruh perubahan yang sangat besar terhadap peran laki dan perempuan. Dampak dari pembahasan bidang ekonomi tersebut, maka wacana poligami saat itu mulai digugat, khususnya di kawasan Timur Tengah. 

Di Mesir, muncul tokoh perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Perancis, misalnya Rifa’ah al-Tahthawi, ia termasuk salah satu dari penggagas ide mewacanakan kembali poligami dilihat dari sudut ekonomi. Tahun 1872, ia menuliskan sebuah kitab yang diberinya judul al-Mursyîd al-Amîn li al-Banât wa al-Banîn. Di dalam kitab ini ia menjelaskan bahwa memperbaiki keadaan perempuan merupakan sebuah hal yang bersifat fundamental. Perempuan ibarat ciptaan Allah yang paling indah, teman bagi laki-laki yang juga berperan membantunya dalam mengurus pemerintahan dan pemeliharaan anak-anaknya. Ia juga menyampaikan dalam kitab itu sebagai berikut:

وجعل لمن قيضه لمغانات المهن الدنيوية والحرف المعاشية كالزراعة والبناء قلوبا قوية وأمزجة غليظة لأن أكثر عمله ببدنه لابعقله وكما أن المحال أن تصلح حاسة السمع للرؤية وحاسة البصر للسمع فمن المحال أيضا أن يكون من خلق للمهنة يصلح للحكمة ومع ذلك فقد جعل الله جل جلاله كل جنس من الفريقين نوعين رفيعا ووضيعا فالرفيع من يتحرى الحذق في صناعته ويقبل على عمله طالبا لمرضات ربه بقدر وسعه وطاقته ويؤدي الأمانة فيما خلق له بقدر جهده واستطاعته قال ابن عطاء الله مشيرا إلى هذا المعنى: من علامة إقامة الحق لك في الشيء إدامته إياك فيه مع حصول النتائج انتهى

Artinya: “Dan telah dijadikan untuk orang yang terbelenggu kepada keindahan-keindahan duniawi, kesibukan-kesibukan bidang pekerjaan seperti bercocok tanam dan membangun dengan hati, sebuah hati yang keras, akal yang terpenjara, beratnya beban hidup, akibat dari seluruh amalnya berorientasi pada fisik dan bukan pada akal. Sebagaimana halnya, muhal mempertajam pendengaran tapi dengan alat penglihatan, atau sebaliknya, mempertajam penglihatan namun dengan alat pendengaran, maka muhal juga jika diciptakan ujian namun dengan hikmah. Oleh karena itulah, maka Allah جل جلاله menjadikan tiap-tiap jenis dari dua hal yang berbeda sebagai keluhuran dan kesederhanaan. Termasuk contoh dari sifat luhur adalah makluk diciptakan untuk mencapai kesuksesan dalam bidang produksi, sukses dalam beramal, semata karena mencari ridla Tuhannya menurut kadar kemampuan yang dimilikinya, sama-sama berupaya menunaikan amanat yang diembannya dengan sungguh-sungguh dan segenap kemampuan. Syeikh Ibnu Athâ al-Lâh memberi isyarah terhadap hal ini sebagaimana qaulnya: “Termasuk bagian dari pertanda tegaknya hak (kebenaran) bagimu adalah dalam suatu hal, adalah Ia meneguhkanmu didalam hal tersebut, sampai terbitnya hasil.” [Rifâah al-Tahtawi, al-Mursyîd al-Amîn li al-Banât wa al-Banîn, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishr, 2012 M: 16]

Artinya bahwa wanita menurut konsep Rifâ’ah al-Tahtawi di sini adalah ia juga makhluk yang punya orientasi mencapai keluhuran, kesederhanaan, semata karena mengabdi kepada Allah SWT. Pendidikan baginya akan menambah kualitasnya sebagai hamba Allah SWT yang beradab dan kompetn dalam pengetahuan serta layak berbicara dan mengemukakan pendapat yang dimilikinya. Perempuan diciptakan oleh Allah SWT tidak hanya dijadikan sebagai perhiasan rumah dan sarana menghasilkan keturunan saja. Ia diciptakan untuk mendampingi laki-laki dalam membangun masyarakat dengan tanpa harus keluar dari hukum-hukum syariat yang ditetapkan. 

Di dalam kitab tersebut, Rifâ’ah juga menyampaikan sehingga memperjelas sosoknya dalam feminisme yang dibangunnya, yaitu penentangannya terhadap konsep emansipasi perempuan di Barat. Meski ia sendiri adalah seorang alumni Barat. Dalam teks di atas, malah dirinya condong pada teori kesufian yang disampaikan oleh Syeikh Ibn Athâ-i al-Lâh al-Iskandâry. Emansipasi perempuan dalam Islam menurutnya harus tetap dalam bingkai ajaran ketundukan terhadap nash. Hanya saja, ia seolah menyarankan agar diulangnya interpretasi nash yang cenderung melemahkan posisi kaum hawa yang dipandangnya sebagai menyalahi konsep ia diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai penghargaan atas kiprah dan pemikirannya, banyak lembaga pendidikan yang menampung perempuan di Mesir, termasuk Al-Azhâr University.

Sebenarnya masih ada tokoh lain, yang menyerukan hal yang hampir mirip dengan pemikiran feminisme dalam Islam. Misalnya adalah Qâsim Amin lewat karyanya yang fenomenal, yaitu tahrîr al-mar-ah. Untuk tokoh terakhir ini banyak mempersoalkan jilbab bagi perempuan, kebutuhan membatasi hak suami dalam thalaq dan kritiknya terhadap poligami. Kesimpulan yang diambilnya bahwa perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin agama. 

Tahun 1911, muncul tokoh baru Hafni Nashif. Sebuah statemen yang masyhur darinya dan terkenal saat itu bahkan sampai ke Riyadl, adalah: “Ilmu dan agama adalah untuk dua jenis manusia dan bukan untuk salah satu dari keduanya.” Sebenarnya pernyataannya ini juga tidak jauh beda dengan pemikirannya Rifâ’ah Amîn, bahwasanya perempuan adalah sama-sama makhluk Allah SWT. Ia tidak hanya ditugaskan pada seputar urusan dapur-kasur-sumur saja. Ia juga berhak mengenyam pendidikan dan berhak memperdalam persoalan agama. 

Sepeninggal Mâlika Hafni Nashîf, muncul Huda Sya’rawi. Ia memotivasi perempuan-perempuan mesir agar ikut serta dalam gerakan-gerakan nasional dengan segala kemampuannya di berbagai bidang yang ia kuasai. Berikutnya Munîrah Tsâbit Musa yan memusatkan perhatiannya pada persamaan hak antara perempuan dan laki-laki untuk duduk dalam bidang politik. Perempuan menurutnya juga punya hak vote (memilih) atau dipilih agar bisa duduk di parlemen. Munîrah Tsâbit Musa ini memiliki sebuah buku karya, yaitu al-Huqûq al-Siyâsiyah li al-Mar-ah dan pernah ia kirimkan secara langsung ke parlemen Mesir, yaitu kurang lebih tahun 1924. 

Paruh abad ke-20 kemudian muncul banyak tokoh perempuan lain di Mesir yang terknal hingga sekarang, dan sepertinya juga diadopsi oleh banyak aktifis perempuan muslim saat ini. Di antara tokoh yang terkenal adalah Nawal al-Sa’dawi, Inji Aflatun, keduanya dari Mesir. Fatimah Mernissi dari Maroko. Riffat Hassan dari Pakistan, Assia Djebar dari Al-Jazair, Furugh Farrukhzad dari Iran, Huda Na’mani, Ghadah Samman dan Hanan al-Syaikh dari Lebanon, Fauziah Abul Kholid dari Saudi Arabia, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, Wardah Hafizh, Nurul Agustina dan Siti Ruhaini Zuhayatin dari Indonesia dan tidak ketinggalan seorang feminis Muslim laki-laki dari India yaitu Asghar Ali Engineer. 

Di antara tokoh-tokoh ini yang paling mempersoalkan historioritas ajaran Islam adalah Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, dan Amina Wadud. Maksud dari historioritas ini adalah bahwa hendaknya Al-Qur’an tidak layak untuk ditafsirkan dari sisi asbab al-nuzûl. Jika ditilik dari asbab al-nuzul, maka berikutnya yang terjadi adalah memandang inferior kaum perempuan dibanding kaum laki-laki. Laki-laki dan perempuan menurut mereka adalah setara dalam pandang Allah SWT. Oleh karena dasar pemikiran inilah, maka tidak heran bila kemudian muncul teori Imam sholat perempuan dari Amina Wadud. Bahkan Riffat Hassan mengajukan wacana agar dilakukan bedah pemikiran ulang produk-produk fikih dan hukum Islam sejak masa salaf. 

Berdasarkan uraian ini kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran tentang posisi dan kedudukan kaum perempuan dalam Islam, dari zaman ke zaman, telah mengalami pergeseran. Masing-masing dari mereka memiliki basis pemikiran sendiri-sendiri. Berdasar keberbedaan basis inilah, kita selayaknya bersikap dalam memilah dan memilih mana yang patut dijadikan pedoman dan mana yang harus ditinggalkan. Namun tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengadili satu per satu dari tokoh-tokoh tersebut. Sidang pembacalah yang harus melakukan seleksi wacana pemikiran mereka. Wallahu a’lam bish shawab


Penulis adalah Pimpinan Forum Kajian Fikih Kewanitaan, PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean