Opini HARI KARTINI

Perempuan dan Intelektualisme

Sel, 21 April 2015 | 07:35 WIB

Oleh Imawati Rofiqoh

--Sore itu, langit masih terlihat gelap, hujan yang baru saja membasahi bumi menyisakan bau khas tanah basah serta rumput, bunga dan pepohonan yang nampak segar di mata. Hawa dingin seolah mengajak kita untuk cukup berdiam diri di rumah dan menghangatkan tubuh, namun ajakan untuk bersantai tak selamanya musti kita turuti. Hari itu adalah hari kamis tanggal 16 April 2015, seperti biasa setiap hari kamis usai Ashar saya dan teman-teman berkumpul di serambi masjid Bukhori IAIN Surakarta.<>

Meskipun sore itu tak banyak yang datang untuk mengobrolkan buku seperti minggu-minggu sebelumnya, kita tetap memulai obrolan dengan bahagia. Komunitas “Serambi Kata” adalah komunitas obrolan buku yang digerakkan oleh mahasiswa IAIN Surakarta. Buku-buku yang dibahas dari berbagai banyak tema mulai dari pendidikan, sejarah, sastra, filsafat selain buku-buku keislaman yang menjadi buku utama dalam komunitas ini. Buku Ulama Perempuan Indonesia (2002) sengaja dipilih untuk menyambut dan memaknai Hari Kartini dan juga sebagai bentuk penghormatan dan ingatan terhadap peran ulama-ulama perempuan di Indonesia yang mempunyai gagasan sama dengan Kartini.

Buku kumpulan biografi perempuan yang ditulisan oleh beberapa orang dan dieditori oleh Jajat Burhanudin ini menarasikan tiga belas tokoh perempuan. Mereka adalah Rahmah el-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Haji Rangkayo Rasuna Said, Sholihah A. Wahid Hasyim, Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Suryani Thahir, Tutty Alawiyah, Aisyah Aminy, Hj. Hadiyah Salim, Rofiqoh Darto Wahab, Lutfiah Sungkar, Ny. Hj. Chamnah, Hj. Nonoh Hasanah. Isfaroh, mahasiswa Aqidah Filsafat sebagai pengisah utama memulai obrolan dengan gagasan Azyumardi Azra yang memberikan kata pengantar dalam buku ini perihal pentingnya biografi perempuan termasuk mereka yang mempunyai peran besar semasa hidupnya, sehingga dengan begitu perempuan tidak hanya melulu diketahui sosok yang dilahirkan lalu mati tapi juga ada biografi sosial-intelektual yang bisa dipelajari bahkan bisa ditafsirkan ulang.

Azra menyatakan kelangkaan kajian tentang biografi ulama perempuan salah satunya karena langkanya sumber-sumber tertulis, berbagai usaha musti dilakukan untuk dapat menghadirkan sejarah keulamaan. Di Timur Tengah usaha tersebut dilakukan dengan adanya Tarajim, yaitu kamus Biografi. Karena hal tersebut akan memberi pengaruh besar dalam perkembangan keislaman. Namun, sekali lagi biografi yang dimaksud tak hanya menghadirkan riwayat kelahiran atau pun kematian, namun juga kiprahnya dalam keagamaan khususnya keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Sebagai contoh dari tiga belas biografi ulama perempuan adalah Rahmah el-Yunusiah sebagai pelopor pendidikan perempuan. Ia lahir di Sumatra Barat tahun 1900. Rahmah mendapat gelar Syaikhah oleh Universitas al-Azhar Kairo. Ketekunan dan keberhasilan dalam menjalankan sistem di Diniyah School Putri yang ia dirikan di Minangkabau menarik perhatian Rektor Universitas al-Azhar Kairo, Dr. Syaikh Abdurrahman Taj yang kemudian mengadopsi pembelajaran yang dipraktikannya lalu dijadikan bahan ajar untuk mahasiswa di Kairo.

Selain Rahmah ada Hj. Nonoh Hasanah. ia adalah perintis pesantren putri di Jawa Barat. Ia lahir tahun 1938 di kampung Nagrog Tasik Malaya. Meskipun pada masanya belum mengenal emansipasi maupun feminisme, Nonoh memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas perempuan dan mampu mengembangkan pemikirannya. Nonoh yang memilih menyelesaikan sekolah formalnya sampai kelas empat Sekolah Rakyat (SR) dan lebih fokus pada pengajian-pengajian kitab kuning mampu melahirkan pesantren putri di Jawa Barat. Tak hanya sibuk di pesantren, ia juga aktif sebagai pengurus cabang Muslimat NU. Selain itu, yang membuatnya lebih terhormat selain mendirikan pesantren putri, dia juga menulis riwayat Ashabul Kahfi dan Sejarah ‘Am al-Fil. Dari penerbitan dua karyanya ini yang kemudian dijual ke berbagai pesantren yang tersebar di wilayah Jawa Barat mampu membantu biaya pesantren, karena Nonoh mempunyai komitmen kuat untuk tidak menerima bantuan dari pemerintah.

Kiprah perempuan dalam dunia keislaman mengingatkan saya pada Neng Dara Affiah yang lahir pada tahun 1970 di kota kecil kawasan Banten. Buku garapannya yang berjudul Muslimah Feminis, Penjelajah Multi Identitas (2009) mengisahkan perjuangannya sebagai perempuan dan pemudi NU, gagasannya mengubah rubrik tabloid Warta PBNU Jakarta pada tahun 1992, yang awalnya rubrik resep makanan dan mode kemudian ia ganti dengan rubrik yang berisi tulisan-tulisan bermuatan filosofis. Saat itu, penanggung jawabnya adalah Gus Dur, yang dengan gembira dan terbuka menyambut gagasan tersebut. Gagasan inilah yang akhirnya menajadi peristiwa besar dalam NU terkait feminisme dalam dunia Islam. Tulisan-tulisan yang dihadikan dalam rubrik tersebut merupakan usaha untuk mengubah pola pikir perempuan khususnya NU, bahwa perempuan juga harus memberikan sumbangan gagasan dalam dunia Islam.

Melalui buku tersebut Neng Dara Affiah juga menulis dua orang perempuan yang menginspirasi dirinya untuk menghidupkan kembali literasi dengan pemikiran-pemikiran segar dalam tubuh NU, mereka adalah Maria Ulfah Anshor dan Musdah Mulia yang saat itu berada dalam kepengurusan Fatayat NU. Itulah masa dimana Organisasi NU memiliki kiprah literasi dan pemikiran yang baru termasuk gagasan peran perempuan. M Dawam Rahardjo (2009) mengakui ketiga tokoh perempuan tersebut adalah Kartini abad 21. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari peran Gus Dur untuk menjadikan NU sebagai organisasi pembaharu yang peduli terhadap perkembangan keislaman dan keindonesiaan dan melek sejarah.

Melalui pidato yang terdokumentasikan dalam buku Wanita Islam Indonesia, Dalam Kajian Tekstual dan Kontesktual (1993) Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa perempuan Islam Indonesia telah mengalami perkembangan yang paradoks. Paradoks di sini berarti bahwa dengan terbuka luasnya pendidikan tinggi bagi perempuan dalam bidang agama justru seringkali membawa perempuan pada kecenderungan yang tidak jelas.  Para perempuan yang berpendidikan masih bergumul dalam persoalan halal-haram dan masih sulit untuk bergerak jauh dalam gagasan yang nantinya akan memberikan sumbangan besar bagi kemanusiaan.

Maka, dengan mempelajari biografi ulama perempuan bisa menjadi ruang untuk merenungkan kembali gagasan berislam dan berindonesia para perempuan muslimah di Indonesia. Menjadi perempuan muslimah dalam konteks keislaman khususnya dalam kalangan pelajar perempuan NU tidaklah cukup dengan hanya mengikuti shalawat, tahlilan, yasinan, memajang foto kiai NU di ruang tamu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum tua atau pengikut fanatis NU. Lebih dari itu, menjadi pelajar perempuan dengan membaca buku-buku sastra, sejarah, keislaman bisa memberi jaminan dan pengesahan menjadi perempuan sebagai penerus gagasan-gagasan Gus Dur.

Gus Dur yang seumur hidupnya dikelilingi oleh lima orang perempuan, satu dan empat anak perempuan, bisa menjadi contoh dalam mengimani persemaian gagasan keislaman yang membumi dan kemanusiaan yang universal. Perempuan muslimah bisa menjadi suluh bagi keislaman dan kemanusiaan baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.

Imawati Rofiqoh, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab IAIN Surakarta