Opini

Perlunya Fatwa Produk Tembakau Alternatif

Ahad, 16 Desember 2018 | 06:00 WIB

Perlunya Fatwa Produk Tembakau Alternatif

Ilustrasi (via steemkr.com)

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Selama ini para ulama, fuqaha, dan lembaga keislaman, baik di Indonesia maupun mancanegara, sudah banyak mengeluarkan pendapat dan fatwa tentang status hukum merokok “rokok konvensional”. Tetapi nyaris belum ada yang memberi komentar dan pandangan, membahas secara komprehensif-akademik dari sudut pandang hukum Islam (fiqih), apalagi mengeluarkan fatwa tentang “produk tembakau alternatif” (di luar rokok konvensional). 

Kalaupun ada, meskipun sangat terbatas, masih sebatas produk tembakau alternatif jenis vape (“rokok elektrik” atau e-cigs) atau jenis nikotin tempel dan snus, belum yang jenis heat-not-burn (HNB), yakni produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar. NU misalnya pernah sedikit menyinggung sambil lalu tentang status “rokok elektrik” yang status hukumnya disamakan dengan “rokok konvensional”, yakni kalau mengonsumsi jenis vape maka hukumnya di antara mubah dan makruh, tergantung dari tingkat manfaat dan mudaratnya.

Di luar Indonesia, sejumlah lembaga keulamaan juga pernah mengeluarkan fatwa tentang “rokok elektrik”. Lembaga Ulama Malaysia misalnya mendeklarasikan “haram” terhadap “rokok elektrik”. Ketua National Fatwa Council, Malaysia, Dr. Abdul Shukor Husin, mengatakan bahwa keputusan itu didasarkan pada pertimbangan matang terhadap implikasi kesehatan atau dampak buruk/negatif dari produk rokok elektrik atau vaping. Menurutnya, Islam melarang pengikutnya memakai barang-barang membahayakan, baik secara langsung maupun tidak, baik tiba-tiba maupun gradual, yang bisa mengantarkan pada kematian, kerusakan tubuh, menyebabkan penyakit berbahaya, atau merusak pikiran. 

Di sejumlah negara di Timur Tengah juga mengharamkan rokok elektrik (e-cigs) karena dianggap sama bahayanya dengan rokok biasa yang mengandung zat adiktif nikotin tinggi. Qatar misalnya melarang keras menjual, mendistribusikan, mempromosikan rokok elektrik di farmasi, selain larangan mengimpor jenis rokok ini. Kementerian Kesehatan di negara-negara di Arab Teluk (termasuk Arab Saudi, Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar) memang melarang penjualan dan memasarkan “rokok elektrik”. Uni Emirat Arab bahkan juga melarang menggunakannya. 

***

Fakta bahwa nikotin masih dijadikan sebagai dasar utama pengharaman “rokok elektrik” menunjukkan bahwa banyak pihak, termasuk para ulama dan fuqaha itu sendiri, masih belum memahami betul tentang “produk tembakau alternatif” maupun hal-ikhwal yang berkaitan dengan “dunia rokok” secara umum. Padahal, yang membahayakan dari rokok konvensional itu, seperti dikemukakan oleh sejumlah ahli medis dan ilmuwan seperti nanti saya jelaskan secara detail, bukan zat nikotin, melainkan zat tar yang dihasilkan melalui proses pembakaran tembakau. 

Selain masalah informasi yang tidak valid dan data yang tidak akurat mengenai rokok dan produk tembakau, para ulama juga belum mengenal, mengerti, dan memahami betul produk tembakau alternatif mutakhir jenis heat-not-burn (HNB) yang berbeda secara substansial dan fundamental dengan “rokok elektrik” apalagi “rokok konvensional” sehingga sampai detik ini belum ada yang berpendapat, membahas, apalagi mengeluarkan fatwa tentang produk HNB. 

Produk tembakau HNB ini berkembang cukup pesat dan populer di sejumlah negara maju seperti Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dlsb, dan rencananya konon hendak diperkenalkan dan dipasarkan juga di Indonesia. Saat ini, setidaknya ada tiga produk tembakau alternatif model HNB yang dikenal di pasar global, yaitu 3T (diproduksi oleh Vapor Tobacco Manufacturing), Glo (diproduksi oleh British American Tobacco, dan iQos (diproduksi oleh Phillips Morris International). 

Ada perbedaan mendasar antara HNB dengan “rokok elektrik”. Produk HNB mengandung komposisi daun tembakau yang diolah sedemikian rupa agar kompatibel dengan alat pemanas yang dijadikan sebagai medium untuk memanaskan sebatang rokok (hal ini yang membuat produk ini cenderung lebih menyerupai “rokok konvensional”). Sedangkan kandungan nikotin pada cairan “rokok elektrik” diperoleh dari ekstraksi daun tembakau secara sintetis. Lalu, cara penggunaannya, “rokok elektrik” memanaskan dan menguapkan cairan liquid, sementara jenis HNB memanaskan daun tembakau. Dengan kata lain, produk HNB ini tetap menggunakan tembakau sebagai komponen utamanya. 

Di sejumah negara, munculnya produk tembakau HNB ini yang merupakan “generasi baru” produk tembakau alternatif, disambut dengan antusias oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, kelompok medis, aktivis lingkungan, maupun konsumen produk tembakau, termasuk orang-orang yang berniat berhenti merokok tetapi kesulitan untuk menghentikan aktivitas merokok. Produk HNB ini, antara lain, berfungsi membantu “masa transisi” para pecandu rokok yang ingin berhenti merokok secara total. 

Menurut sebuah sumber, sekarang ada sekitar 5,6 juta konsumen rokok yang sudah pindah dari “rokok konvensional” ke iQos karena dianggap mampu menjawab kebutuhan para konsumen rokok atau mampu menjadi solusi alternatif dari “kebuntuan” persoalan di dunia rokok, yakni bagaimana orang (tentu saja komunitas perokok dan pro-rokok) tetap bisa merokok di satu sisi tetapi tetap sehat serta bisa merasakan aroma tembakau di pihak lain.Itu baru data tentang iQos, belum yang “hijrah” ke produk HNB lain, yaitu Glo maupun 3T. Memang tidak seperti iQosyang masih bisa merasakan rasa dan aroma tembakau,“rokok elektrik” dan lainnya (snus atau nikotin tempel) dianggap tidak mampu menggantikan aroma tembakau “rokok konvensional”. 

Selain sejumlah faktor di atas, dan ini yang lebih penting, HNB juga terbukti jauh lebih sehat ketimbang produk rokok konvensional. Oleh sejumlah ahli dan ilmuwan, produk tembakau HNB dinilai jauh lebih rendah bahaya dan risikonya ketimbang “rokok konvensional” karena tidak adanya proses pembakaran yang bisa memproduksi karbon monoksida (Carbon Monoxide = CO) dan zat tar yang membahayakan kesehatan tubuh.

Demikianlahkesimpulan hasil riset dari sejumlah lembaga ternama dan otoritatif seperti Public Health England (Inggris), Food and Drug Administration (Amerika Serikat), dan Federal Institute for Risk Assessment (Jerman). Public Health England, sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris, misalnya, dalam laporan risetnya menyatakan bahwa “produk tembakau alternatif” yang dipanaskan (bukan dibakar) mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen (lihat juga artikel ilmiah yang ditulis oleh Edward Anselm, “Tobacco Harm Reduction Potential ‘Heat Not Burn” yang dimuat di R Street Policy Study No. 85). 

Kenapa tar jauh lebih berbahaya ketimbang nikotin? Menurut Profesor Achmad Syawqie, Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) yang didirikan oleh sejumlah organisasi pemerhati kesehatan di Indonesia, tar dianggap jauh lebih berbahaya karena ia mengandung zat-zat kimia karsinogenik yang dihasilkan melalui proses pembakaran rokok itu yang bisa menyebabkan atau memicu anaka penyakit terutama kanker (karsinogen). Dr. Ardini Raksanagara, anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat di Indonesia, juga mengemukakan hal serupa bahwa yang lebih berbahaya bukan zat nikotin yang terkandung dalam tembakau, melainkan zat tar. 

Nikotin, menurutnya, hanya menimbulkan efek kecanduan kalau dikonsumsi dalam dosis tinggi, dan zat nikotin ini bukan hanya ada pada tembakau saja tetapi juga pada komoditas lain seperti kopi, kentang, tomat, terong, dlsb.Sebetulnya bukan hanya pembakaran dari produk tembakau saja, komoditas atau pembakaran benda apapun (kayu, gas, bensin, dlsb), menurut para ahli kesehatan, bisa menghasilkan tar yang menyelinap di balik gumpalan-gumpalan asap. Oleh karena itu, produk nikotin (tembakau) yang tidak dibakar (misalnya yang dipanaskan seperti di HNB) dianggap memiliki potensi risiko kesehatan yang jauh lebih rendah. 

Tentu saja produk tembakau HNB ini merupakan sebuah terobosan dan kemajuan teknologi yang patut diapresiasi oleh semua pihak, termasuk umara dan ulama, apalagi mereka selama ini getol membatasi, melarang, dan mengharamkan “rokok konvensional” dengan alasan kesehatan. Memang selama ini kritik yang sering dilontarkan pada “rokok konvensional”(baik dilakukan oleh otoritas politik, otoritas agama, maupun komunitas anti-rokok) adalah bahwa rokok jenis ini (baik yang kretek maupun non-kretek) dianggap tidak sehat, berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit (seperti paru-paru, kanker, jantung, impotensi, dlsb), dan karena itu membahayakan kesehatan tubuh dan keselamatan jiwa para perokok, baik perokok aktif maupun pasif.Selain masalah kesehatan, para kritikus rokok juga menyoroti masalah dampak negatif lingkungan yang diakibatkan oleh–atau ditimbulkan dari–asap rokok maupun puntung rokok. 

Nah, produk tembakau alternatif jenis HNB ini bisa dikatakan bebas dari semua itu: lebih minim risikonya bagi kesehatan tubuh karena diproses dengan cara dipanaskan bukan dibakar dan juga ramah lingkungan karena produk ini bebas asap (free-smoke products). HNB juga tetap tidak merugikan kepentingan para petani tembakau karena bahan dasarnya tetap tembakau. 

Karena produk tembakau alternatif, baik yang jenis HNB maupun bukan, dipandang lebih menyehatkan atau minim risiko dan bahaya bagi kesehatan tubuh inilah maka sebuah studi dari Georgetown University Medical Center di Amerika Serikat (diterbitkan di jurnal ilmiah Tobacco Control, sebuah jurnal yang memuat isu-isu berkaitan dengan dampak kesehatan penggunaan tembakau juga usaha-usaha untuk mengurangi penggunaan tembakau melalui pendidikan dan kebijakan) menyatakan bahwa kalau komunitas perokok di Amerika Serikat beralih ke produk tembakau alternatif, maka sekitar 6,6 juta orang berpotensi terhindar dari kematian dini. 

Jika angka ini diterjemahkan ke Indonesia yang memiliki jumlah pengonsumsi rokok jauh lebih besar ketimbang Amerika Serikat, maka bisa dibayangkan akan semakin banyak nyawa yang bisa diselamatkan dari kematian dini ini apabila para pengguna “rokok konvensional” bersedia atau berkeinginan pindah haluan ke produk tembakau alternatif tadi. Jumlah perokok Indonesia jauh lebih besar dari Amerika Serikat. WHO (World Health Organization) merilis jumlah perokok di Indonesia berada di peringkat tiga besar dunia setelah Cina dan India. Menurut The Tobacco Atlas, Indonesia berada di urutan pertama di ASEAN (sekitar 46,16% dari seluruh penduduk di negara-negara ASEAN) dalam hal pengguna rokok ini. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017 menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai sekitar 30%. 

***

Berdasarkan deskripsi, pemaparan, analisis, dan data ilmiah di atas, maka jelaslah bahwa produk tembakau alternatif, apalagi yang jenis HNB, memiliki sejumlah sisi positif dan manfaat buat publik masyarakat dan lingkungan hidup, selain meminimalisir risiko, bahaya, atau dampak negatif lainnya yang ditimbulkan dari proses pembakaran produk tembakau seperti di rokok konvensional. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika otoritas politik (pemerintah) maupun otoritas agama (lembaga keulamaan) seperti MUI, Muhammadiyah, NU dan lainnya ikut membahas secara intensif mengenai produk tembakau alternatif ini agar bisa memberi pendidikan publik dan mengeluarkan fatwa secara secara akurat dan valid mengenai hal ini.   

Lebih khusus lagi, mengingat pentingnya perkembangan produk tembakau alternatif jenis HNB ini yang berbeda secara substansial dengan rokok konvensional maupun rokok elektrik, maka tidak ada salahnya jika LBM PBNU kelak mengagendakan masalah ini untuk dibahas secara serius di Munas (Musyawarah Nasional) Alim-Ulama NU maupun di forum-forum bahtsul masa’il lain, serta dicarikan landasan fiqih atau hukum Islam-nya dengan mengacu dan mempertimbangkan berbagai aspek dan alasan secara komprehensif-menyeluruh seperti yang saya paparkan diatas. Semoga bermanfaat. 


Penulis adalah antropolog di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi; Direktur Nusantara Institute; dan Penulis buku Polemik Rokok Konvensional dan Potensi Produk Tembakau Alternatif di Indonesia