Opini

Pesan Perdamaian di Balik Ayat-ayat Perang

Rab, 25 April 2018 | 11:30 WIB

Oleh Rohmatul Izad

Sebagai kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam, Al-Qur’an mengandung berbagai macam kata kunci tentang prinsip perdamaian dalam berkehidupan sekaligus mengandung prinsip mengantisipasi konflik dan kekerasan ‘yang dibenarkan’. Misalnya, ayat-ayat terkait perdamaian dan ayat-ayat tentang hukuman bagi orang kafir dan jihad dalam pengertian perang ‘yang dibenarkan’.

Fenomena yang tampak kontradiktif dan tidak memiliki kesepahaman ini terkait erat dengan keberadaan apa yang disebut dalam QS 3:7 sebagai ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Umumnya, para pakar studi Islam telah memberikan definisi yang cukup beragam terhadap dua istilah ini, meski tidak perlu dikemukakan semua di sini, saya akan sedikit menjelaskan tentang posisi yang saya ambil.

Bagi saya, ayat-ayat yang makna langsungnya sesuai dengan ide dan pesan moral merupakan ayat-ayat muhkamat. Sedangkan ayat-ayat yang terkesan bertentangan dengan ide moral masuk kategori ayat-ayat mutasyabihat. Jika demikian, maka ayat-ayat tentang perdamaian masuk dalam kategori muhkamat, sementara ayat-ayat perang ‘yang dibolehkan’ (jihad) merupakan ayat-ayat mutasyabihat. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat memahami ayat-ayat tersebut?

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menafsirkan QS 22:39 dengan “Tuhan mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik sebab mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka”. Dengan senada, al-Zamakhsyari menyatakan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi dan menyakiti beliau pula, tetapi lalu Nabi mengatakan “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang.”

Penjelasan yang sama juga ditemukan dalam Mafatih al-Ghaib karya al-Razi, baik al-Zamakhsyari maupun al-Razi menegaskan bahwa perang baru diizinkan dalam ayat yang turun setelah diturunkannya tujuh puluh ayat yang melarang hal ini. Ibn Zayd mengatakan bahwa kebolehan ini diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya memaafkan segala perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.

Tentu saja, ini adalah bukti bahwa ayat ini diturunkan setelah tidak ada lagi solusi untuk mengatasi kaum musyrik Makkah yang telah melakukan begitu banyak tindak kekerasan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Upaya-upaya lain untuk menghindari perang seperti negosiasi, rekonsiliasi, sikap sabar, memaafkan, dan membiarkan kaum musyrik, telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap kejam dan sadis dalam menyerang kaum mukmin, seperti keadaan di mana kaum musyrik tidak mengizinkan kaum mukmin memasuki Makkah untuk berhaji.

Ayat-ayat dalam QS 22:39 memiliki beberapa kata dan idiom yang secara jelas menunjukkan pada situasi tertentu yang menyebabkan diizinkannya berperang dan juga menunjukkan sesuatu yang bisa disebut sebagai ‘pesan utama’nya. Penggalan ayat yang bisa diterjemahkan dengan “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”, ini mengandung dua kata yang harus dicermati dengan seksama yakni udzina dan dhulima agar seseorang bisa memahami ayat ini dengan tepat. 

Terkait dengan kata udzina, Ibn Manhhur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa adzina lahu fisy syai’ memiliki makna yang sama dengan abâhahu lahu (seseorang membolehkan sesuatu kepada orang lain). Subjek dari kata udzina dalam QS 22:39 ini al-dhamir al-mustatir yang merujuk pada perang sebagaimana diketahui melalui konteks historis di mana beberapa sahabat bertanya kepada Nabi apakah berperang melawan kaum musyrik yang selama ini menindas mereka diizinkan.

Kata udzina di atas menunjukkan bahwa perang hanya dibolehkan dalam pengertian bahwa mereka tidak harus menempuh jalan perang, kebolehan dan izin tergantung pada situasi khusus ketika jalan damai tidak memungkinkan. Pemahaman tentang li al-ladzina yuqatau dan bi annahum zhulimu merujuk pada situasi penindasan, yang karenanya Nabi dan para sahabat diizinkan untuk berperang.

Sekarang, mari kita masuk pada ranah pesan utama QS 22:39-40 tentang penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan pesan perdamaian. Dalam ayat ini, Nabi beserta pengikutnya mulai diizinkan untuk berperang harus dipahami dalam konteks historis dan tekstualnya. Berdasarkan basis konteks tersebut, seseorang lalu dapat mengatakan bahwa pesan utama dari ayat-ayat ini ternyata bukan pergi berperang, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama serta perdamaian. 

Dengan kata lain, perang justru bagian daripada alat untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Ini berarti bahwa perang haruslah dihindari jika masih ada jalan non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Syahrur dalam kitabnya Taifif Manabi’ al-Irhab, Syahrur mengatakan bahwa jihad damai di jalan Allah boleh diikuti dengan peperangan hanya dalam situasi yang sangat diperlukan agar seluruh umat manusia mendapatkan kebebasan memilih, yang poin utamanya adalah kebebasan beragama, berekspresi, menggunakan simbol keagamaan, keadilan dan kesetaraan.

Sebab itu, kita bisa memahami QS 22:39 memerintahkan kepada Nabi dan pengikutnya untuk tidak membunuh kaum kafir yang dalam keadaan tidak siap berperang dan mereka yang menyerah secara damai kepada kaum muslim. Nabi pernah bersabda dalam riwayat Ibn ‘Abbas, “Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, dan mereka yang menyerah kepadamu dengan damai”.

Itu artinya, dengan larangan membunuh kaum yang lemah, jelas bahwa membunuh kaum kafir bukanlah tujuan utama dari perang. Bahkan saat perang pun, Nabi dan pengikutnya hanya dibolehkan untuk membunuh kaum kafir yang melakukan penindasan kepada kaum mukmin, mereka yang tidak menerima keragaman dan mereka semua yang tidak mau menegakkan perdamaian di muka bumi ini.

Prinsip penegakan perdamaian adalah salah satu bentuk pesan utama dari diperbolehkannya berperang. Perang merupakan media untuk mewujudkan perdamaian dan bukan satu-satunya jalan. Sebab itu, selama manusia dapat mewujudkan perdamaian tanpa peperangan, maka tidak diperbolehkan melakukan peperangan.

Islam mempopulerkan sikap damai kepada seluruh umat manusia, tanpa memperhatikan kergaman agama dan budaya mereka semua. Sikap damai telah dilakukan oleh Nabi dan para pengikutnya di Madinah, di mana umat Islam dan penganut agama lain, dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Ada juga ayat lain yang memperintahkan kepada umat Islam untuk menjaga perdamaian dan kerukunan. Dengan demikian, apa yang seharusnya diambil dari QS 22:39-40 adalah bukan diperbolehkannya berperang, tetai pesan perdamaian yang terkandung di dalamnya.

Banyak dari umat Islam yang terlanjur dilabeli radikal dan teroris telah menyalahpahami ayat-ayat terkait dengan perang. Kesalahpahaman mereka terletak pada satu kecenderungan bahwa mereka telah memposisikan ayat-ayat ini dalam kapasitas yang sama dengan ayat-ayat tentang perdamaian. 

Menurut saya, ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait langsung dengan makna perdamaian harus ditempatkan sebagai naungan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mengarah pada peperangan dan diperbolehkannya berperang. Selanjutnya, kaum radikal ini telah banyak memahami ayat tentang perang dalam sudut pandang yang sangat literal dan mengabaikan konteks historis maupun tekstualnya. Mereka gagal dalam melakukan kontekstualisasi ayat dalam kondisi kekinian.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan QS 22:39-40, kita perlu memahami konteks historis maupun tekstualnya, sehingga dapat menarik pesan utama yang lebih cocok dengan kondisi dan perkembangan zaman. Sehingga, ayat yang pertama kali turun tentang diperbolehkannya melakukan peperangan adalah sebuah bentuk perintah yang sebenarnya tidak mengarah sama sekali ke ranah peperangan itu sendiri, akan tetapi sebuah nilai moral, yakni penghapusan penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dalam suatu prinsip perdamaian yang harmoni. 

Inilah yang seharusnya diaplikasikan sepanjang waktu dan tempat. Tentu berperang tetap diperbolehkan jika memang sudah tidak ditemukan alasan lain kecuali berperang itu sendiri, seperti tidak adanya solusi lagi dalam menghindari penindasan dan kebebasan. Maka umat Islam harus tetap berusaha dengan lebih mengutamakan melakukan tindakan perdamaian selama mereka bisa. 


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.