Opini

Politik Identitas dalam Pusaran Pilpres 2019

Sen, 22 April 2019 | 14:30 WIB

Pemilihan presiden atau Pilpres kali ini lebih keras dibandingkan dengan sebelumnya. Meski calon presiden (Capres) yang bertanding sama dan hanya berubah calon wakil presiden (Cawapres), pada 2014: Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, namun eskalasi kali ini  lebih tinggi.  
 
Ada dua hal yang menyebabkan hal itu, yaitu masuknya kekuatan Islam ideologis baru yang dimotori oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 dengan pimpinan Habib Rizieq Shihab yang sekarang mukim di Arab Saudi. Dan faktor merajalelanya media sosial (Medsos) yang efektif menebarkan informasi secara massif dan cepat. Dua hal ini menjadikan ekskalasi demikian dahsyat. Saking dahsyatnya, sampai-sampai kedua kubu dalam kampanye puncak mampu memobilisir massa dengan bilangan terbanyak dalam sejarah pemilu di dunia. Tidak ada kampanye di manapun, baik di Amerika maupun Eropa yang mampu mengumpulkan massa sebanyak ini. Mereka berjubel di Gelora Bung Karno (GBK) dan mengular sepanjang 4,8km di jalan raya hingga bundaran Hotel Indonesia. Sebuah perhelatan kampanye terbesar yang seharusnya tercatat dalam Guinness World Records
 
Kerumunan itu merupakan  simbol eksistensi  kelompok  politik tertentu di kancah nasional. Yaitu naiknya kelompok pengusung identitas Islam yang tidak terakomodir dalam partai Islam yang ada. Identitas Islam yang kabur  seiring dengan kalahnya partai Islam dalam beberapa pemilu di era reformasi, menjadikan munculnya kelompok alternatif yang memimpikan hal itu. Sebuah mimpi agar identitas Islam memenangi jagad perpolitikan negeri. Hal seperti yang muncul dalam sebuah hadits riwayat Umar bin Khattab dan Mu’ad bin Jabal: Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya (al-Islam ya’lu wa laa yu’la ‘alaih). Dalil ini menjadi spirit agar umat Islam memenangkan persaingan di segala bidang termasuk politik nasional bahkan global. 
 
Dengan backup teks transendental, politik identitas Islam menjadi berdaya dorong sangat kuat. Jutaan umat menyambutnya, menyemut dan mengular sepanjang Monumen Nasional (Monas) hingga bundaran Hotel Indonesia (HI) pada aksi 212 pertama (2016).  Kerumunan itu menuntut pengusutan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama dan penolakannya dalam pemilihan Gubernur Jakarta. Kekuatan dan soliditas mereka terus menggelinding dan merupakan  kekuatan signifikan dalam Pilpres 2019.
 
Dengan mengusung isu menolak penista agama, Habib Rizieq Shihab mampu menarik massa di luar anggota Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpinnya mengalahkan kemampuan kekuatan tradisional dalam mobilisasi massa. Pertanyaannya kemudian, mengapa partai dengan identitas Islam tebal seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tidak menjadi kanal aspirasi mereka? Bukankah mereka juga memperjuangkan Islam? PPP berlambangkan Kakbah sementara PBB berlambangkan Bulan Bintang, simbol Islam global. Nampaknya, PKS dengan struktur dan sistemnya yang kuat tidak mungkin rela memberikan posisi strategis partainya ke FPI. Di samping, paham dan tradisi keislaman yang dianut oleh PKS cenderung puritan, sedangkan FPI tradisional. Untuk PPP dan PBB, meski yang pertama berpaham sama dengan FPI, Islam tradisonal, nampaknya keberpihakan mereka dalam mengusung petahana (Jokowi) sebagai presiden mendatang menjadikan mereka berseberangan satu sama lain. Muncul hipotesa di sini, bahwa kesamaan identitas Islam tidak mampu mempersatukan mereka dan yang mampu mempersatukan adalah kesamaan agenda politik  menolak  naiknya Jokowi ke kursi presiden untuk kedua kali. 
 
Kesamaan pilihan politik menjadi faktor pemersatu  di sini. Bahkan mampu mengalahkan perbedaan paham keislaman. Mereka yang semula penganut Islam puritan yang menolak kegiatan zikir berjamaah, bersatu dalam acara doa bersama dan munajat. Dengan dipimpin oleh para habaib, mereka melantunkan doa-doa, ratib dan dzikir khas amaliah Islam tradisional. Amalan yang semula oleh sebagian dari mereka dianggap bid’ah dan tidak ada dasarnya, menjadi dilaksanakan bersama. 
 
Terkait dengan politik identitas, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa semua perjuangan atas nama agama sejatinya adalah perjuangan politik atau untuk merebut kekuasaan. Hal ini lantaran bahwa kepentingan. Islam sebenarnya bisa diperjuangkan oleh banyak kelompok dan bukan hanya oleh mereka yang membawa bendera Islam. Ia juga bisa diperjuangkan lewat banyak jalan (dalam bahasa pesantren min abwabin mutafarriqah), tidak hanya lewat  politik seperti dengan memenangkan Pilpres.
 
Akan tetapi kelompok tertentu yang mengusung identitas Islam, menginginkan merebut kursi kekuasaan dan memperjuangkannya sedemikian rupa menafikan kelompok lain yang juga memperjuangkan agenda Islam. Seandainya dia tidak menginginkan kekuasaan, tidak perlu bersusah payah bertarung di arena politik. Apalagi dalam era sekarang di mana semua partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasionalis Demokrat (Nasdem) dan Partai Demokrat akomodatif terhadap kepentingan Islam dan aspirasi kaum santri. Maka gelora kelompok Islam di kancah politik lebih merupakan agenda merebut kekuasaan. Suatu hal yang jamak dan seperti halnya kelompok yang lain yang menginginkan hal serupa, dia harus mengikuti aturan Pemilu yang sudah diatur dan dikembangkan semenjak Pemilu pertama 1955. Siapa pun yang menang, tidak peduli dari partai apa pun, PA 212 atau bukan, harus diterima dengan lapang dada. Insyaallah siapa pun yang menang akan memperjuangkan aspirasi umat Islam, kaum santri  dan rakyat Indonesia semua demi menuju baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur
 

Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.