Opini

Puasa, Perempuan, dan Menstruasi

Ahad, 28 Mei 2017 | 09:00 WIB

Puasa, Perempuan, dan Menstruasi

Ilustrasi (shutterstock.com)

Oleh Muhammad Ishom

Di bulan puasa perempuan umumnya menjalani kehidupan yang lebih berat dibandingkan hari-hari biasa. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan dibuat paling repot terkait aktivitasnya menyiapkan makan sahur dan buka puasa. Keberadaannya sebagai perempuan membuat mereka tidak bisa lepas dari kodratnya, yakni menstruasi. Siklus bulanan ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi perempuan dalam hubungannya dengan kewajiban berpuasa Ramadhan.

Biasanya begitu telah diketahui dan diyakini secara pasti bahwa besok pagi puasa dimulai, maka sejak sore atau malam hari ibu-ibu sibuk memikirkan menu apa yang akan dihidangkan untuk makan sahur. Pada dini hari mereka bangun paling awal untuk menyiapkan makan sahur bagi keluarga. Setelah segala sesuatunya siap, mereka membangunkan suami dan anak-anak untuk makan sahur bersama. Jika mereka ternyata bangun terlambat sehingga seluruh keluarga tidak berkesempatan makan sahur biasanya mereka menjadi pihak yang paling dipersalahkan.

Membangunkan anak-anak supaya ikut makan sahur tidak selalu mudah. Seringkali anak-anak sulit dibangunkan dan terkadang malah menangis karena masih mengantuk atau memang belum cukup memahami kewajiban berpuasa di bulan Ramdahan. Mereka yang masih kanak-kanak dan belum baligh tetapi sudah cukup besar, memang perlu dibangunkan untuk makan sahur. Ini dalam rangka mendidik dan melatih mereka berpuasa agar pada saatnya kewajiban berpuasa telah tiba mereka dapat melaksanakannya dengan baik. Kewajiban mendidik ini seringkali dipikul sendiri oleh perempuan tanpa keterlibatan suami karena banyak suami tidak sanggup membangunkan anak-anak. Mereka khawatir anak-anak rewel atau malah menangis ketika dibangunkan tanpa bisa menenangkannya.

Sehabis makan sahur, kadang-kadang suami dan anak-anak kembali tidur karena masih mengantuk. Ibu-ibu biasanya tetap berjaga hingga shubuh dan membangunkan suami dan anak-anak ketika adzan telah dikumandangkan. Jika mereka bangun kesiangan karena sang istri ternyata juga tertidur sehingga seluruh keluarga terlambat menjalankan shalat shubuh, lagi-lagi istri menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung jawab.

Dari pagi hingga petang hari ibu-ibu harus mengawasi dan membimbing anak-anak menjalankan ibadah puasa. Kadang-kadang anak-anak rewel dan menangis ketika lapar dan dahaga mulai terasa. Mereka meminta agar diperbolehkan berbuka puasa pada saat itu. Menghadapi situasi seperti ini, ibu-ibu biasanya mencoba membesarkan hati anak-anak dengan memberikan dorongan dengan, misalnya, menjanjikan hadiah tertentu agar mereka termotivasi dan kuat menjalankan puasa secara sempurna hingga saat Maghrib tiba, atau biasa disebut “pasa ndina”.

Jika “pasa ndina” dipandang kurang memungkinkan bagi anak-anak, ibu-ibu biasa melakukan tawar menawar. Misalnya dengan membujuk anak-anak untuk bertahan berpuasa hingga saat Dzhuhur tiba atau biasa disebut “pasa mbedug”. Dari “pasa mbedug” kemudian dilanjutkan dengan “pasa ngasar” dimana anak-anak diperbolehkan makan dan minun begitu terdengar adzan Dzuhur dan Ashar. Setelah selesai makan dan minum mereka harus kembali berpuasa hingga saat berbuka benar-benar telah tiba dengan dikumandangkannya adzan Maghrib.

Bisa dipastikan, ketika saat berbuka tiba, ibu-ibu adalah pihak yang paling repot karena harus memastikan bahwa seluruh anggota keluarga dapat berbuka puasa tepat pada waktunya. Keterlambatan dalam menyiapkan menu buka puasa, dapat membuat susasana rumah menjadi tidak kondusif. Suami bisa marah-marah dan anak-anak bisa menangis. Menu buka puasa yang kurang cocok dengan selera pun bisa menimbulkan masalah lain yang tidak menguntungkan perempuan. Jika budget untuk menu mencukupi tentu tidak banyak masalah muncul. Tetapi jika tidak, pastilah keadaan ini bisa membuat perempuan pusing tujuh keliling di bulan Puasa.

Menstruasi dan “Buka Tutup”

Umumnya, masa suci bagi perempuan berkisar antara 15 hingga 24 hari setiap bulannya. Artinya bagi mereka yang masih usia subur sangat sulit untuk tidak berutang puasa Ramadhan yang durasinya 29 atau 30 hari. Menstruasi akan menghalangi mereka berpuasa terus menerus selama sebulan penuh. Bagi mereka, tidak berpuasa karena sedang cuti bulanan ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Pasalnya, meski mereka tidak berpuasa dan secara teori bebas makan dan minum, dalam prakteknya mereka tidak bebas melakukan hal itu. Mereka harus sembunyi-sembunyi ketika makan dan minum dari pagi hingga Maghrib.

Keadaan seperti itu terjadi tidak saja karena mereka menyadari tidak pantas makan dan minum di depan orang yang sedang berpuasa, tetapi juga mereka merasa malu diketahui sedang menstruasi. Apalagi jika dikaitkan dengan bagaimana melatih anak-anak berpuasa, pasti sekali anak-anak melihat sang ibu makan dan minum di depan mereka, proses pembelajaran bisa kacau. Singkatnya, meskipun mereka tidak berpuasa, mereka harus berperilaku seperti berpuasa. Di luar bulan Ramadhan, mereka harus mengganti utang-utang puasanya pada saat kebanyakan orang tidak berpuasa.

Di saat itu, orang-orang bebas makan dan minum di depan mereka tanpa perasaan malu, apalagi perasaan bersalah, karena memang bukan di bulan Ramadhan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka karena situasi puasa tidak sekondusif dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan. Yang terasa lebih berat lagi adalah ketika mereka mengalami apa yang disebut “buka tutup”, yakni suatu istilah yang cukup populer di kalangan mereka untuk mengungkapkan bahwa mereka tidak cukup beruntung terkait dengan ibadah puasanya. Mereka tidak memiliki kesempatan berpuasa, baik di awal maupun di akhir bulan Ramadhan, karena terhalang menstruasi. Secara otomatis utang puasa mereka akan cenderung lebih banyak dibanding mereka yang tidak mengalami “buka tutup”. Utang mereka bisa mencapai 10 - 15 hari.

Umumnya perempuan merasa kurang sreg menerima kenyataan “buka tutup”, tidak hanya karena harus menanggung utang puasa cukup banyak, tetapi juga disebabkan mereka tidak bisa ikut menyambut datangnya awal Ramadhan dengan berpuasa sebagaimana umumnya kaum Muslimin. Mereka seperti kehilangan momen-momen penting penuh rahmat di awal Ramadhan. Hal yang membuat mereka terkadang merasa sedih adalah ketika di akhir Ramadhan mereka juga tidak bisa menjalankan ibadah puasa.

Hal itu mengakibatkan mereka tidak bisa bergabung melaksanakan Shalat Iedul Fitri yang penuh suka cita itu. Mereka tidak bisa ikut mengumandangkan takbir dan tahmid bersama jamaah shalat Iedul Fitri di masjid atau di tempat lain. Apalagi ketika rangkaian shalat Ied diakhiri dengan saling berjabat tangan diantara para jamaah sebagai pertanda saling memaafkan dosa masing-masing, mereka merasa kehilangan kesempatan berharga dan mengharukan itu. "buka tutup" mereka rasakan sebagai suatu ketidak beruntungan (untuk tidak mengatakan kesialan).

Memang, bulan Ramadhan bagi perempuan sejatinya adalah bulan dimana kesabaran dan keikhlasan mereka menerima kodratnya – menstruasi - diuji dengan sebenarnya. Apalagi ketika datanganya menstruasi hanya beberapa menit saja menjelang berbuka. Mereka bisa menjerit meski mungkin hanya dalam hati karena jerih payah menahan lapar dan haus dari saat sahur hingga saat terakhir menjelang berbuka menjadi sia-sia karena puasanya menjadi batal.

Namun demikian, mereka tentu ikhlas menerima kodratnya. Hanya masalahnya banyak laki-laki meremehkan hal itu dan menganggap perempuan tidak bisa setara apalagi lebih tinggi dari pada kaum Adam disebabkan terutama karena menstruasi yang mereka alami. Padahal tidak ada yang bisa menjamin bahwa laki-laki mendapat pahala yang lebih banyak dari pada mereka hanya karena dapat menyelesaikan puasa Ramadhan secara penuh. Jika laki-laki mau jujur, mereka akan mengetahui bahwa di dalam dan di luar bulan Ramadhan banyak perempuan melakukan ibadah yang lebih banyak dari pada yang mereka lakukan.


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta