Indonesia memiliki jumlah masjid paling banyak di dunia. Ada sekitar delapan ratus ribuan masjid yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (Kemenag RI, 2014). Uniknya, sembilan puluh sembilan persen dari keseluruhan masjid di Indonesia dibangun dan dikelola masyarakat, sementara sisanya dibangun pemerintah. Hal ini berbeda dengan masjid-masjid yang ada di beberapa negara Islam. Di Arab Saudi, Kuwait, Iran, dan lainnya, masjid dibangun pemerintah. Tidak hanya itu, imam dan marbotnya diatur dan digaji oleh pemerintah.
Pada zaman Rasulullah, masjid menjadi pusat peradaban. Masjid dijadikan sebagai tempat untuk dakwah, pendidikan, pengembangan ekonomi, dan pelayanan sosial. Bahkan, para sahabat melakukan latihan perang pun di depan masjid. Masjid benar-benar dijadikan sebagai pusat kegiatan umat Islam.Â
Saat ini, sebagian besar masjid di Indonesia hanya difungsikan sebagai tempat salat saja, tidak lebih. Jika ada masjid yang dijadikan sebagai tempat pemberdayaan masyarakat, itu pun jumlahnya tidak banyak. Kenapa bisa demikian? Sesuai dengan buku Pedoman Muharrik dan Ta’mir Masjid yang disusun Lembaga Ta’mir Masjid PBNU, ada tiga hal yang menyebabkan kondisi masjid di Indonesia seperti itu. Pertama, pengelola masjid yang tidak kompeten. Untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana seperti zaman Rasulullah, maka dibutuhkan pengelola masjid yang inovatif, kreatif, dan memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengelola masjid.Â
Kedua, tidak dikelola dengan serius. Pengelola dan pengurus masjid belum memiliki semangat yang tinggi untuk mengurusi masjid secara optimal. Biasanya mereka disibukkan dengan aktifitas kerja masing-masing sehingga kurang begitu memperhatikan masjidnya. Sehingga ada yang menyebut kalau sebagian besar masjid di Indonesia itu la yamutu wa la yahya (tidak hidup, mati pun segan), terutama dalam hal program kegiatannya.Â
Ketiga, konflik antar pengelola. Biasanya, konflik antar pengelola disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam mengurus masjid. Yang satu menginginkan seperti itu, sementara yang satunya lagi menginginkan seperti itu. Sehingga tidak ada titik temu antar keduanya karena mementingkan ego dan keinginannya masing-masing. Kalau konflik seperti itu dibiarkan, maka masjid akan terbengkalai dan program-programnya tidak jalan.
Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy menyebutkan bahwa masjid merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Islam. Masyarakat Islam tidak akan terbentuk secara kukuh dan rapi kecuali dengan komitmen terhadap Islam. Hal ini tidak akan bisa ditumbuhkan kecuali dengan cara memakmurkan masjid.
Memakmurkan Rumah Allah
Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi-Ku adalah masjid-masjid. Dan sesungguhnya yang mendatangi-Ku adalah yang memakmurkannya. Maka beruntunglah orang-orang yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi-Ku di rumah-Ku, maka hak-Ku adalah memberi kemuliaan kepada orang yang datang ke rumah-Ku. (Hadist Qudsi)
Berbicara tentang kemakmuran masjid, maka ada tiga hal yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Pertama, jamaah. Seperti hadist qudsi di atas, bahwa salah satu cara untuk mengukur suatu masjid makmur atau tidak adalah dengan cara melihat jamaahnya. Jika jamaahnya banyak, maka masjid tersebut makmur. Begitupun sebaliknya.Â
Kedua, program kegiatan. Kemakmuran masjid juga bisa dilihat dari variasi kegiatan yang ada. Dalam hal ini, Lembaga Ta’mir Masjid PBNU memiliki tujuh program kegiatan untuk memakmurkan masjid. (a) Menjadikan masjid sebagai pusat penyebaran paham Aswaja. (b) Tempat penyuluhan kesehatan seperti mendirikan klinik di sekitar area masjid, khitanan masal, dan lainnya. (c) Pusat keilmuan seperti pengadaan Madrasah Diniyah, Taman Pendidikan Al-Qur’an, majelis ta’lim, dan lainnya. (d) Pusat pengembangan ekonomi umat seperti pendirian koperasi. (e) Pusat dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin seperti menyelenggarakan kajian dan pengajian. (f) Pusat kepedulian sosial seperti memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu. (g) Mendoakan orang wafat seperti menyelenggarakan tahlil dan istighotsah bersama. Â
Ketiga, finansial atau keuangan. Untuk memakmurkan masjid, setidaknya harus memiliki pendanaan yang cukup. Program-program masjid yang sudah disusun tersebut bisa terlaksana dengan baik jika ada anggaran yang memadahi. Kebutuhan, sarana dan prasarana masjid juga memerlukan bujet.Â
Untuk itu, harus ada langkah yang tepat untuk mewujudkan kemandirian keuangan masjid. Salah satu cara menggalang dana adalah dengan mengaktifkan Gerakan Infak Sedekah Masjid (Gismas) sebagaimana yang digagas LTM PBNU. Pengurus masjid bisa menitipkan celengan di setiap rumah di sekitar masjid dan meminta pemilik rumah untuk mengisinya minimal seribu rupiah. Kalau seandainya ini berjalan dan misalnya ada tiga ratus celengan yang disebar pengurus masjid, maka akan terkumpul sembilan juta rupiah dalam waktu satu bulan. Tentu ini tidak mudah, butuh ketekunan, keuletan, dan konsistensi daripada pengurus masjid dan warga yang dititipi celengan Gismas tersebut.
Â
Muchlishon Rochmat