Opini

Salah Kaprah Ucapan Selamat Idul Fitri

Sab, 8 Juni 2019 | 14:20 WIB

Oleh Nine Adien Maulana
Ramadhan sudah berlalu. Umat Islam merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1438 H. Selama masa hari raya ini ucapan selamat (tahniah) yang paling populer yang sering disampaikan oleh banyak orang adalah minal ‘aaidiin wal faaiziin dan mohon maaf lahir batin. Media massa baik cetak maupun elektronik pun berperan besar mengampanyekan ucapan selamat ini.

Saya penasaran fenomena itu, sehingga tertarik untuk melakukan survey sederhana. Setiap ada murid yang mengucapkan minal ‘aaidiin wal faaiziin kepada saya, saya pun bertanya, “Apa maksudnya?”. Mereka pun menjawab, ”Mohon maaf lahir batin, Pak!”. Saya pun menyimpulkan bahwa selama ini ungkapan minal ‘aaidiin wal faaiziin dikira bermakna mohon maaf lahir batin.

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, walaupun hanya sedikit, pasti akan mengatakan bahwa ini adalah tidak tepat. Dalam hal ini saya menganalogikannya seperti anak-anak SD yang baru saja belajar bahasa Inggris yang tahunya ada tulisan welcome di keset (alas yang difungsikan untuk membersihkan kotoran pada alas kaki), maka hal itu melekat dalam ingatan mereka bahwa bahasa Inggris keset adalah welcome. Karena kesalahan ini dilakukan secara massif, maka inilah yang dinamakan salah kaprah, salah tapi dilakukan banyak orang sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Bagaimana seharusnya yang ucapan tahni’ah yang tepat? Jika kita membaca literature, memang kita menemukan tradisi di kalangan para sahabat Nabi, yakni mengucapkan selamat (tahni’ah) kepada sesama umat Islam yang telah berhasil menyelesaikan puasa Ramadlan. Bunyi bacaan selamatnya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, namun ada pula yang menambahnya “taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Ada pula yang masih menambahnya “wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair”.

Jika ucapan selamat itu dirangkai memang menjadi sangat panjang, “taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair” Artinya adalah “semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadlan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantia dalam kebaikan.”

Dari ucapan selamat yang panjang inilah, kita bisa lacak asal-usul ucapan minal “aaidiin wal faaiziin” yang artinya termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Dari sini pula kita sudah tahu kan bahwa ucapan tahniah ini tidak ada sangkut pautnya dengan mohon maaf lahir batin.

Sayangnya, ucapan tahniah yang panjang itu, yang juga bisa bermakna do’a itu, sampai pada kita mengalami penyusutan atau sengaja diringkas. Lebih parahnya meringkasnya juga kurang pas. Ibaratnya kita menyampaikan informasi tentang kuda, namun yang kita jelaskan adalah ekornya. Kita potong ekor kuda itu, lalu kita bawa potongan ekor itu kemudian kita sampaikan kepada semua orang bahwa ini adalah kuda. Kita merasa bahwa apa yang telah kita sampaikan adalah benar, sedangkan orang telah mengetahui kuda pasti akan tertawa dengan penjelasan kita tentang kuda itu.

Secara sederhana, kita tahu bahwa “aaidiin wal faaiziin” bukanlah kalimat yang sempurna (al-jumlatul mufiidah). Pasti mucul di benak kita lho kok tiba-tiba muncul “termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang (minal ‘aaidin wal faizin). Pasti ia tidak berdiri sendiri. Bacaan ini pasti terikat atau berhubungan dengan bacaan sebelumnya.

Dengan agak sedikit "memaksa" kita sebenarnya bisa berdalih bahwa bacaan itu bermakna do’a, sehingga boleh diucapkan dengan ungkapan singkat atau ada sesuatu yang disembunyikan (mahdzuf), namun untuk menterjemahkannya kita perlu memunculkan makna yang disembunyikan bacaannya itu, agar mudah dipahami. Dengan alasan ini kita bisa menterjemahkan “minal ‘aaidin wal faizin” dengan “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.

Kalau kita mau meniru apa yang dilakukan sahabat Nabi, sebenarnya yang paling tepat kita ucapkan adalah bacaan selamat panjang itu. Kalaupun itu telalu panjang, kita bisa menyingkatnya dengan bacaan yang paling populer di kalangan mereka, yaitu “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, bukan mengucapkan minal ‘aaidin wal faizin."

Alasannya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum” adalah bacaan yang telah sempurna struktur  kalimatnya. Selain itu, bacaan ini adalah paling populer di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, dibadingkan bacaan “minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Bahkan, saya menduga bacaan “minal ‘aaidiin wal faaiziin” tidak populer, untuk tidak mengatakan tidak pernah ada, di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa kita lacak pada kitab Fathul Bari karya Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau mengatakan dalam kitabnya itu, “Telah sampai kepada kami riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubai bin Nufair, ia berkata: “Jika Para sahabat Rasulullah saling bertemu di hari raya, sebagiannya mengucapkan kepada sebagian lainnya: “Taqabbalallahu minnaa wa minkum.” (Fathul Bari, juz II, halaman 446).

Bagaimana fakta di Indonesia? Ternyata yang populer adalah “minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Inilah uniknya orang Islam di Indonesia. Mereka tidak menerima tradisi pengucapan tahniah ini apa adanya. Mereka malah mengkreasi tradisi baru ala Indonesia, walaupun kemudian menjadi salah kaprah.

Buktinya, “minal ‘aaidiin wal faaiziin” lebih populer dan dikira bermakna mohon maaf lahir batin. Selain itu mereka mengkreasi tradisi Halal Bi Halal yang tidak ada rujukannya secara khusus dari Islam atau dari tradisi Arab.

Inilah masalah budaya. Selama ia mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at, marilah bersikap moderat. Sikap moderat ternyata juga ditampilkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat ditanya tentang ucapan selamat di hari raya. Beliau menjawab, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat ‘Id dengan ungkapan, taqabbalallaahu minnaa wa minkum dan a’aadahullaahu ‘alaika serta ucapan sejenisnya, maka hal ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka melakukannya, dan telah diperbolehkan oleh para imam seperti Imam Ahmad, dan lain lain. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.” (Majmuu’ Fatawa (XXIV/253)

Meskipun saya lebih sependapat ucapan tahni’ah dengan “taqabbalallahu minnaa wa minkum daripada “minal ‘aaidiin wal faaiziin”, namun saya tidak bisa memaksakan kecenderungan saya ini kepada siapa pun, karena memang ini adalah masalah budaya. Dilakukan boleh tidak dilakukan pun juga boleh. Namun, jika anda lebih suka dengan “minal ‘aaidiin wal faaiziin”, kemudian mengartikannya dengan mohon maaf lahir batin, maka jelas saya tidak setuju. Ini jelas salah. Kalau tidak dibetulkan akan menjadi kaprah. Oleh karena itu, saya harus memaksa Anda untuk tidak mengartikan demikian agar tidak salah kaprah.


*) Ketua Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk, Megaluh, Kabupaten Jombang.

 

 

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Selasa, 27 Juni 2017 pukul 06:01. Redaksi mengunggah ulang tanpa mengubah isi tulisan.