Opini

Sudah Sejuta Nyawa Melayang, Masihkan Afganistan Akan Berperang?

Sen, 19 Juli 2021 | 05:00 WIB

Sudah Sejuta Nyawa Melayang, Masihkan Afganistan Akan Berperang?

Babak baru Afganistan tanpa Amerika akan dimulai. Pemerintahan Ashraf Ghani harus berhadapan dengan Taliban. Apakah dia dan tentara pemerintah akan memasuki medan laga melawan Taliban?

Presiden Amerika, Joe Biden, pada 8 Juli kemarin menyampaikan pidato penarikan diri pasukan Amerika dari Afganistan. Pernyataan ini mengundang sejuta tanya tentang nasib Afganistan ke depan. Taliban, kelompok Islam yang pernah berkuasa di sana menyambutnya penuh suka sementara yang lain, seperti presiden Afganistan kini, Ashraf Ghani, penuh duka. Sejarah Afganistan penuh dengan torehan bahkan laburan darah. Semenjak Uni Soviet bercokol di sana, 1980-1991, hingga ganti Amerika, 2001-2021, telah banyak nyawa melayang. Bukan ratusan, ribuan atau ratusan ribu, bahkan sejuta lebih nyawa warga Afganistan melayang (European Journal of Population). 14.453 nyawa tentara Uni Soviet dan 2.372 nyawa tentara Amerika melayang. Apakah keterlibatan negara adidaya penyebab prahara ini? Jika iya, untuk apa mereka terlibat dan mengorbankan nyawa dalam kubangan tersebut? 


Apa yang terjadi kini, yang berujung penarikan pasukan Amerika, berhubungan dengan apa yang terjadi sebelumnya saat Uni Soviet bercokol. Afghanistan yang saat itu dipimpin oleh Najibullah yang berhaluan komunis, menghadapi serangan kelompok Mujahidin yang memperjuangkan berdirinya negara Islam. Sebagai induk semang, Uni Soviet membela Najibullah dan mengirim bala tentara. Sebagai rival Uni Soviet, Amerika mendukung Mujahidin demi melenyapkan kekuasaan komunis di Afghanistan. Perjuangan Mujahidin dan intervensi Amerika akhirnya membuahkan hasil. Pada 1991 seiring dengan bangkrutnya Uni Soviet, Afghanistan pun jatuh ke tangan Mujahidin. 


Kemenangan Mujahidin mengandung makna ganda. Selain untuk dirinya, ia juga berarti kemenangan Amerika atas Uni Soviet. Tidak hanya Najibullah yang berhasil ditumbangkan, induknya, Uni Soviet pun tumbang. Amerika dan sekutu Baratnya pun merayakan kemenangan atas Uni Soviet dan menjadi adidaya tunggal tanpa pesaing. 


Kemenangan Mujahidin tidak berbuah perdamaian. Antar faksi Mujahidin saling berebut kekuasaan. Terutama antara faksi terbesar Gulbuddin Hekmatyar dan Burhanuddin Robbani. Mereka bertempur satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Banyak upaya telah dilakukan untuk perdamaian mereka tapi gagal. Salah satunya bahkan dilakukan di Makkah dengan fasilitator Arab Saudi. Namun perdamaian tidak berlangsung lama dan pertikaian berkecamuk kembali. Hal ini mendorong munculnya ide pemunculan kelompok ketiga, Taliban (mahasiswa), dengan dukungan Pakistan dan Arab Saudi. Dengan dukungan tersebut, Taliban dengan cepat melesat mengalahkan para seniornya di Mujahidin dulu, Hekmatyar dan Burhanuddin Rabbani. Mereka akhirnya berhasil merebut ibukota Kabul pada September 1996.


Taliban pun berkuasa. Dia memberlakukan aturan syariat yang ketat. Mewajibkan pemakaian cadar bagi perempuan, melarang mereka beraktivitas di luar rumah, menutup sekolah perempuan, mewajibkan laki berjenggot dan shalat jamaah di masjid, dan melarang sepak bola, catur, dan musik. 


Paham ultrakonservatif yang dianut Taliban meski menimbulkan masalah sosial, ia sebenarnya bisa bertahan jikalau bukan karena faktor lain yang melibatkan kekuatan adidaya. Persisnya ketika Amerika menuntut Taliban agar menyerahkan Usamah bin Laden yang dituduh mendalangi tragedi 9/11 2001. Saat empat pesawat meluncur dan 2 di antaranya menubruk 2 menara kembar WTC di New York. Menolak untuk menyerahkan tertuduh yang merupakan tamu agung Mullah Muhammad Umar, pemimpin Taliban, Amerika akhirnya menyerang Taliban dan menggulingkan kekuasaannya di Afghanistan pada 2002. 


Setelah itu, Amerika coba memulihkan demokrasi Afganistan dan mendorong terbentuknya pemerintahan demokratis di sana. Yaitu yang dihasilkan dari proses pemilihan umum yang diikuti oleh warga Afghanistan yang kemudian mengantarkan Hamid Karzai menjadi Presiden 2 periode, 2004-2014. Pertanyaannya, sampai kapan Amerika menjaga mereka dari serangan Taliban yang terus mengintai untuk kembali berkuasa?


Joe Biden dalam sambutannya seolah menunjukkan bahwa Amerika sudah lelah dan angkat tangan. Biarlah rakyat Afganistan menentukan nasib sendiri. Mau perang terus antar sesama mereka, terserah. Mau Taliban kembali berkuasa, terserah. Satu hal yang tersisa dari kepentingan Amerika adalah menjaga keselamatan diplomat Amerika di Kabul. Untuk itu, Amerika mempertahankan 500 tentara untuk menjaga kedutaan besar Amerika dan meminta Turki, sebagai sesama anggota penting NATO, untuk menjaga bandara udara Kabul yang oleh Erdogan disetujui. Kesanggupan Erdogan itu pun dikecam oleh Taliban yang tidak ingin ada kekuatan asing lagi yang bercokol di negaranya. Dalam rilisnya tanggal 13 Juli, Taliban menyatakan siap melawan kekuatan Turki jika dia bercokol di Afganistan.


Babak baru Afganistan tanpa Amerika akan dimulai. Pemerintahan Ashraf Ghani harus berhadapan dengan Taliban. Apakah dia dan tentara pemerintah akan memasuki medan laga melawan Taliban? Ataukah Taliban menerima tawaran menempuh jalur pemilu untuk berkuasa? Ataukah Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau negara “pendukung” Taliban seperti Pakistan akan turun tangan dan efektif mempengaruhi Taliban untuk tidak angkat senjata demi kembali berkuasa? Semoga jalan damai yang terpilih.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya