Pendidikan Islam PESANTREN AL-FIRDAUS

Komitmen Bentengi Moral Santri

NU Online  ·  Rabu, 2 Desember 2015 | 13:02 WIB

Kabupaten Probolinggo termasuk daerah dengan jumlah pondok pesantren (ponpes) yang cukup banyak. Diantara yang banyak itu, ada Pondok Pesantren Al-Firdaus yang konsentrasinya membina anak usia 6-15 tahun. Komitmen pesantren adalah membentengi moral para santri dengan ilmu agama.
<>
Pesantren yang berada di Dusun Randulimo RT 03 RW 01 Desa Randuputih Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo ini tidak pernah menampung santri berusia dewasa. “Pembinaan kepada santri yang usianya muda, lebih mudah jika dibandingkan dengan usia yang sudah dewasa,” ungkap Pengasuh Pesantren Al-Firdaus, Ustadz Sugianto.

Kecamatan Dringu secara geografis bisa disebut berada di kawasan perkotaan. Ia berpandangan, kondisi sosial masyarakatnya berbeda dengan perkampungan. “Arus pergaulan lebih berbahaya. Karenanya, sejak kecil anak sekitar sini harus lebih di bentengi ilmu agama,” jelasnya.

Pesantren ini memang didirikan untuk berkhidmat kepada masyarakat sekitar. Sehingga santri yang belajar di pesantren, hanya warga sekitar Desa Randuputih dan desa terdekat. Jumlahnya lumayan banyak, terdiri dari 35 santriwan dan 45 santriwati.

Sistem yang diterapkan juga tidak sama dengan kebanyakan pesantren. “Santri kami bisa pulang tiap hari. Mereka hanya mukim tiap Kamis malam Jumat dan Sabtu malam Minggu,” terangnya.

Sistem ini sengaja dipilih karena pesantren ini belum memiliki pendidikan formal. Sehingga santri hanya belajar salaf saja. “Efektif waktu belajar setelah Dhuhur,” jelas ayah empat anak ini.

Kegiatan di pesantren ini dimulai usai salat Dhuhur di Madrasah Diniyah (Madin). Ini khusus santri usia 7-15 tahun. Sementara untuk santri yang berumur 5-6 tahun, masuk Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). “Dibagi sesuai jenjangnya,” katanya. 

Santri yang belum pernah masuk pendidikan TPQ, tidak diperbolehkan masuk di Madin. “Syarat untuk masuk madin, harus lulus TPQ dulu,” imbuhnya.

Di TPQ, santri diajari menulis dan membaca Al Qur’an. Sementara pada jenjang pendidikan Madrasah Diniyah (Madin), materi pendidikan yakni belajar kitab kuning, ilmu Fiqh dan hadits. “Kalau belum bisa baca Al Qur’an, juga belum boleh masuk Madin. Karena materi di Madin jauh lebih sulit,” ungkapnya.

Pengajaran di TPQ dan Madin itu selesai pada pukul 17.00. Para santri kemudian bersiap jamaah Salat Maghrib yang dilanjutkan dengan pengajian Al Qur’an sampai tiba waktu Sholat Isya.

Usai Sholat Isya, masih ada pengajian kitab kuning hingga pukul 20.00. “Setelah itu santri bisa pulang. Tapi kalau mereka mau bermalam, kamar sudah kami sediakan. Tak jarang ada yang menginap. Mereka baru pulang usai Salat Subuh untuk persiapan berangkat sekolah,” katanya.

Sugianto sendiri punya keinginan untuk mendirikan pendidikan formal. Namun, karena pesantren ini baru berdiri pada 2002, dana yang dimiliki masih belum memadai. “Madin hanya punya dua ruang kelas, mushala juga digunakan untuk ruang belajar. Nanti bertahap saja pembangunannya,” terangnya

Pendidikan Gratis, Guru Tak Digaji
Ada 5 guru yang mengajar di pesantren ini. Tak satu pun dari mereka yang digaji atau tidak diberi honor. “Mereka secara sukarela menjadi asatidz (para ustadz) di sini,” kata Pengasuh Pesantren Al Firdaus Ustadz Sugianto.

Di luar itu, sampai saat ini, tiap tahun pesantren selalu mendapatkan bantuan operasional senilai Rp 2 juta dari Pemkab Probolinggo. “Dana itu juga kami gunakan untuk kebutuhan sehari-hari pesantren,” jelasnya.

Para santri yang menempuh ilmu di pesantren ini digratiskan dari biaya pendidikan. Tidak ada iuran sepeser pun kepada santri. Sugianto menerangkan, yang gratis adalah biaya pendidikan dan mukim pesantren. Sementara untuk biaya kebutuhan santri menjadi tanggung jawab masing-masing orang tua. “Santri bisa beli makan di warung sekitar pesantren. Di sini banyak warung,” terangnya.

Alumnus Pesantren Nurul Jadid Kecamatan Paiton ini sengaja menggratiskan biaya karena komitmen keluarga. “Para ustadz di sini semuanya masih berstatus keluarga. Jadi saat awal-awal pembentukan pesantren, kami sepakat menggratiskan biaya mondok dan pendidikan,” ungkap suami dari Siti Hanifah ini. 

Untuk menunjang kebutuhan operasional, para guru menyisihkan penghasilan masing-masing. Setiap guru mengeluarkan uang pribadi sebesar Rp 100-200 ribu per bulan. Dana itu digunakan untuk membayar listrik pesantren, ATK (alat tulis kantor) dan kebutuhan lainnya.

“Alhamdulillah kami (keluarga) sampai saat ini tetap solid menjaga komitmen. Kami akan terus berkhidmat untuk pesantren dan masyarakat,” pungkasnya.

Jamin Santri Bisa Ngaji Kitab
Meski hanya membuka TPQ dan Madrasah Diniyah (Madin), Sugianto menjamin alumnus pesantrennya bisa mengaji kitab kuning. Paling tidak santri sudah bisa membaca kitab Sulam Safinah. “Setidaknya kitab itu bisa menjadi bekal untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi,” katanya.

Saat ini, pihaknya tengah membangun dua lokal bangunan yang dananya berasal dari swadaya masyarakat. Wali murid juga memberikan bantuan secara sukarela. “Ada yang membantu uang dan ada pula yang menyumbang material gedung,” kata Sugianto.

Saat ini pengerjaan masih 75 persen, Sugianto menargetkan pembangunannya bisa selesai akhir tahun ini. “Sekarang masih mengumpulkan dana tambahan. Semoga saja rencana itu bisa direalisasikan. Mohon sambungan doanya,” harapnya. (Syamsul Akbar)


Foto : Musholla Raudlatul Firdaus merupakan pusat kegiatan para santri yang menimba ilmu di Pondok Pesantren Al Firdaus di Desa Randuputih Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo.

Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua