Ustadz Mukhlis Bangun Kampung Santri Tanpa Pesantren
NU Online · Senin, 23 November 2015 | 18:11 WIB
Bacaan 300 santri TPQ As-Sholihin Abror berkejaran dengan dengung mesin potong batu. Sejumlah bongkahan besar batu akik siap dipermak untuk menjadi buah batu mungil pemanis jari. Tiga santri remaja menghadapi mesin potong batu yang terus berputar.
<>
“Alhamdulillah kita sudah punya 4 mesin. Buat nutupin pesanan kalau lagi banyak. Lumayan buat makan santri-santri di sini,” kata ustadz Mukhlis menjelaskan aktivitas tiga santrinya yang sedang menghaluskan batu di sore hari.
Sementara itu, 300 santri TPQ terus belajar membaca Al-Quran sejak pukul 14.00 hingga 17.00. Ustadz Muklis, kiai muda kelahiran 1975 yang sangat disegani di bilangan kelurahan Rorotan, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini menyerahkan delapan dari mereka untuk dibimbing seorang guru perempuan yang pernah belajar kepadanya.
“Target kita, ketika duduk di kelas satu ibtidaiyah, para santri sudah bisa membaca Al-Quran. Alhamdulillah target 50 % tercapai,” ustadz Mukhlis menyebutkan perkembangan pesat 5 tahun terakhir TPQ yang dipimpinnya.
Semua pengajar TPQ perempuan. Mereka adalah murid yang pertama kali belajar sepulang ustadz Mukhlis dari sejumlah pesantren pada 2004. “Begitu pulang, saya melakukan kaderisasi guru. Ada yang kuliah, ada yang sudah berumah tangga mengabdi di sini. Mereka rata-rata orang sini. Ada juga orang Kediri, adik ipar saya sendiri.”
Sementara Ustadz Mukhlis mondok selama enam tahun di pesantren Raudlatul Ulum, Kencong, Pare, Kediri. Pria Betawi yang mengenyam pendidikan formal hingga Aliyah ini, melanjutkan mondoknya selama beberapa tahun di Papar, Kediri sebelum pulang ke Jakarta pada 2004.
Arsitektur dan Lahan Pendidikan
Pesantren As-Sholihin Abror terletak di belakang Al-Abror, masjid peninggalan keluarga besar ustadz Mukhlis. Kalau menganggap pesantren terdiri atas sejumlah bangunan khusus yang diperuntukkan belajar dan asrama santri, maka As-Sholihin Abror ini sulit dicari. Pasalnya, pesantren ini tidak memiliki fisik bangunan khusus seperti pesantren pada umumnya.
Pesantren ini hanya memiliki sebuah aula majelis taklim berukuran 9 x 6 meter. Di sinilah 300 santri TPQ belajar hingga sore. Di sini pula 200 santri madrasah diniyah belajar mulai jam 19.00 hingga jam 22.00. Bagaimana bisa? Tentu hanya 30 santri. Selebihnya mereka menempati halaman 6 rumah kerabat ustadz Mukhlis yang berkenan pekarangan rumahnya dipakai untuk mengaji.
Aroma pesantren terasa kuat pada saat aktivitas TPQ dan Madrasah Diniyah berlangsung. Di luar jam itu, kampung di sekitar masjid Al-Abror tampak seperti perkampungan di Jakarta pada umumnya. Lengang. Lalu-lalang mobil besar sebentar sekali melintas menaikkan kembali endapan debu jalanan.
Sementara di selatan aula terdapat sejumlah makam yang dikelilingi 6 bangunan tradisional terbuat dari bambu. Rimbun oleh sejumlah pohon. Pohon delima salah satunya. Di sini sejumlah santri yang terdiri atas anak jalanan dan beberapa ustadz tinggal. “Komplet, ada masjid tempat ibadah. Ada majelis taklim tempat belajar. Nah ini di samping kita kuburan, semuanya bakalan ditanam,” ustadz Mukhlis mengumbar senyum.
Di salah satu dari enam saung bambu yang berukuran sebesar pos kamling di mana pun, ustadz Mukhlis tinggal sendiri. Terbentang sajadah di dalamnya dan satu lekar dengan tumpukkan sejumlah kitab. Cukup untuk tidur. Ustadz Mukhlis mewiridkan bait-bait Al-Hikam setiap malam bersama sedikitnya 100 warga dan santrinya.
Model arsitektur pesantren dibiarkan tanpa pagar. Tujuannya, agar tidak ada jurang pemisah antara pesantren dan masyarakat. Artinya, banyak pesantren yang sudah jadi seperti sekarang dengan bentuknya itu, nanti pada akhirnya orang masyarakat setempat pada tidak masuk. Seakan-akan ada pemisah.
“Seringkali terjadi di banyak pesantren, orang sekitar pesantren pada nggak ngaji. Ini sering saya temukan. Makanya kemudian saya berpikir bagaimana caranya orang sekitar pada mengaji. Kemudian format inilah yang saya temukan. Saya antara lain meniru keadaan pesantren Buya Dimyathi Banten. Perkampungan biasa,” ujar ustadz Mukhlis yang juga pengamal tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Bangunan bukan masalah bagi mereka yang ingin membangun pesantren. Pesantren hadir agar masyarakat mengaji. Buat apa ada bangunan kalau pesantren justru menjauhkan masyarakat dari mengaji. Ustadz Mukhlis memaknai pesantren sebagai aktivitas mengaji, bukan bangunan atau administrasi. “Prinsip saya, yang penting masyarakat mengaji. Ngaji. Ngaji. Dan ngaji.”
Ia berpikir, kehadiran lembaga pendidikan ditujukan untuk masyarakat setempat. “Pesantren di sini didominasi masyarakat setempat. Rencana kami bikin pesantren, 70% untuk masyarakat setempat, 30% untuk orang luar.”
Diniyah dipegang jebolan beberapa pesantren seperti dari Kediri, Banten, Lamongan. Banyak dari ustadz di sini terutama santri pesantren sebelum pulang kampung, mengabdikan dirinya. Mereka tinggal bersama sejumlah santri anak jalanan di saung yang ada di kiri-kanan saung ustadz Mukhlis.
(Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua