Pesantren PESANTREN NURUL HASAN

Adopsi Pembelajaran Sidogiri, Jaga Silaturrahim dengan Masyarakat

NU Online  ·  Sabtu, 5 Desember 2015 | 09:01 WIB

Pendidikan keagamaan di Desa Opo-opo Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo mulai berkembang sejak tahun 1948. Pendidikan itu berawal dari sebuah mushala yang kini sudah berubah wajah menjadi Pondok Pesantren Nurul Hasan. Dalam proses pembelajarannya, pesantren ini menerapkan sistem pembelajaran model Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.<>

Pesantren Nurul Hasan mempunyai lembaga pendidikan yang cukup lengkap. Lembaga pendidikan formal yang berdiri terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan nama Raudlatul Muta’allimin.

Kegiatan belajar mengajar (KBM) informal di pesantren ini berlangsung tiap pagi, sore dan malam hari. Seakan tak kenal waktu. “Pembelajaran berlangsung sepanjang hari. Hanya terpotong waktu sekolah formal saja,” kata Kepala Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Pesantren Nurul Hasan Zaenullah Fatah.

Pembelajaran informal yang diberikan pada santri meliputi pelajaran nahwu, shorof, baca kitab kuning, tafsir dan pelajaran agama lainnya. Pendidikan informal ini terdiri dari tiga tingkatan. Yakni tingkat ula (awal), wustho (pertengahan) dan ulya (atas).

Selain mendidik santri melalui jalur formal dan informal, pesantren ini juga tetap menjaga silaturahim dengan masyarakat. Yakni dengan menggelar pengajian Majelis Dzikir dan salawat. “Pengajiannya tiap Jumat dan Senin malam,” sebutnya

Punya sejarah panjang

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Nurul Hasan ini tidak terlepas dari peran KH Muzanni dan KH Ahmad Nuruddin. Keduanya terikat tali persaudaran karena masing-masing merupakan saudara sepupu.

Sebelum pesantren berdiri, Kiai Muzanni mengajar di mushala dekat rumahnya. Karena banyak yang datang untuk nyantri, lantas didirikanlah Madrasah Diniyah (Madin) pada tahun 1948. Madin ini terdaftar sebagai cabang dari Pesantren Zainul Hasan Genggong Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan.

Kedua tokoh ini memiliki kemampuan berbeda. Kiai Ahmad Nuruddin seorang ahli di bidang pengobatan alias tabib. Sedangkan Kiai Muzanni seorang ahli ilmu Al Qur’an dan ilmu agama lainnya. Keduanya saling bahu membahu mengajar di Madin tersebut hingga Kiai Muzanni wafat pada tahun 1987.

Di lain waktu, pada tahun 1980, Kiai Ahmad Nuruddin merintis berdirinya pesantren. Ikhtiar itu bermula sejak ia menerima permintaan banyak tamu yang berniat menitipkan putra-putirinya untuk dididik. Awalnya, Kiai Ahmad Nuruddin menggunakan sebuah rumah sebagai tempat menampung santri. “Ada 3 orang yang menjadi santri pertama, 2 putra dan 1 putri. Dari Tiris dan Lumajang,” tutur KH Kholilurrahman, pengasuh generasi ketiga ponpes ini yang merupakan cucu dari Kiai Ahmad Nuruddin.

Bersamaan dengan pendirian pesantren, didirikan pula Madrasah Ibtidaiyah (MI) Raudhatul Muta’allimin. Lalu pada tahun 1983, berdiri Madrasah Tsanawiyah. Karena jumlah santri semakin banyak, ruang kelas MI kemudian disekat untuk dijadikan asrama putra. “Setelah itu, kakek (Kiai Ahmad Nuruddin) mulai membangun tempat tidur bagi santri karena jumlahnya semakin banyak,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, pesantren ini terus mengalami perkembangan signifikan. Pada tahun 1993, kepemimpinan pesantren tersebut berpindah tangan ke KH Hasan Mustaman, menantu dari Kiai Ahmad Nuruddin.

Semasa Kiai Hasan Mustaman memimpin, keberadaan pesantren semakin berkembang. Bahkan jumlah santrinya mencapai sekitar 400 orang. Di masa kepemimpinan Kiai Hasan Mustaman, pendirian lembaga pendidikan formal bertambah, yakni Madrasah Aliyah yang berdiri pada 2007.

“Sebelum wafat pada tahun 2009, Abah (Kiai Hasan Mustaman) menyerahkan tanggung-jawab pesantren ini kepada saya,” ujar alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ini.

Pesantren ini terus berkembang, sarana prasarana dan tenaga pendidikan terus ditingkatkan. Seperti perpustakaan, laboratorium bahasa, kantin dan pusat keterampilan siswa. “Supaya santri mampu beradaptasi dengan dunia luar,” terangnya.

Percepat baca kitab kuning dan Al-Qur’an

Pondok Pesantren Nurul Hasan menerapkan sistem pendidikan salafiyah. Santri mulai mengikuti kegiatan sejak pukul 03.00 dengan salat Tahajud dan dilanjutkan dengan Salat Subuh serta mengaji Al Qur’an. “Selanjutnya mengaji kitab kuning hingga pukul 06.30,” ungkap KH Kholilurrahman.

Di pesantren ini diterapkan sejumlah metode pendidikan salafiyah. Meliputi madrasah diniyah, pengajian kitab kuning, halaqah diniyah hingga menghafal Al Qur’an. Untuk pendidikan salaf, pesantren ini menerapkan metodologi dan sistem pembelajaran yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri. “Di sini merupakan ranting tipe B dari Madin Ponpes  Sidogiri,” tuturnya.

Salah satu metodologi yang dipakai adalah percepatan membaca kitab kuning dan Al Qur’an. Yakni program Al-Miftah yang dipakai untuk membaca kitab kuning. Sedangkan untuk Al Qur’an dipakai metode Qur’ani. “Tiap Jumat kami menghadirkan langsung ustadz dari Sidogiri,” ungkap Kiai Kholil.

Pondok pesantren ini mengutamakan pendidikan akhlak dalam mendidik para santri. Tiap santri diwajibkan mengamalkan Salat Dhuha. Tujuannya untuk membentuk karakter santri pada saat mereka kembali ke masyarakat nantinya.

Selain salat sunah, setiap malam sebelum tidur semua santri diwajibkan tirakat. Yakni di makam sesepuh pendiri pesantren. Hal itu bertujuan agar ilmu yang sudah dipelajari lekat dalam kalbu. Sehingga ilmu tersebut menjadi ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

“Percuma punya santri pintar, tetapi akhlaknya jelek. Apalagi tidak menghormati orang tua. Itu sama sekali tidak kami harapkan,” pungkas suami dari Uyumur Rohmah ini. (Syamsul Akbar)

Foto: Para siswa dan santri di lingkungan Pondok Pesantren Nurul Hasan sedang mengikuti kegiatan senam di halaman pesantren.

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua