Pesantren

Kisah Berdirinya Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy

NU Online  ·  Rabu, 11 Maret 2015 | 00:30 WIB

Semarang, NU Online
Jika kita ke daerah perbukitan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah,  kita menemukan sebuah pondok pesantren dengan santri cukup banyak. Pesantren itu bernama Sunan Gunung Jati Ba’lawi dan berbada di Jalan Malon RT 01 RW 06, Kelurahan Gunungpati, Kecamatan Gunungpati.<>

Ciri khas Pesantren Sunan Gunung Jati bisa dilihat dari bentuk bangunan yang menyatu dengan alam. Kediaman kiai, mushalla, dan bangunan pesantren lain terbuat dari kayu. Ada pula gazebo di sekitar pesantren.  

Di bawah asuhan KH Muhammad Masroni pesantren ini mulai dirintis pada 2008. Sebagaimana umumnya pesantren, Pesantren Sunan Gunung Jati ini bervisi misi mengembalikan Islam kepada ajaran ulama salaf, tanpa menolak hal-hal modern.

Pesantren ini juga berkomitmen membantu program pemerintah di bidang keamanan negara dan pertahanan pangan. Dalam menjalankan misinya di bidang keamanan negara, pesantren ini pernah menjadi tempat pertemuan 11 negara pasca serangan 11 September 2001 di Amerika pada 2012.

“Sewaktu terjadi penyerangan teroris di Amerika, orang-orang Indonesia dicekal di sana. Untuk menanggulangi hal itu, kami berbicara dengan konsultan Amerika dan negara-negara yang lain, bahwa rakyat Indonesia tak seperti Amrozi,” tutur kiai kelahiran Demak itu.

Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy juga pernah mendapat kunjungan dari Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dan akademi militer Magelang pada 2013 membicarakan ketahan dan keamanan Negara.

Sedangkan dalam bidang ketahanan pangan pihak pesantren berkerja sama dengan pemerintah berupa penanaman pohon, pengolahan pertanian, dan lain-lain. pihanya mengaku sudah memulai usaha tersebut salah satunya dengan berkoordinasi dengan kelompok ekonomi.

“Sebagai negara yang semuanya ada, kita merasa malu, karena seakan kita tak punya apa-apa. Beras impor dari Vietnam, kedelai dari Amerika, daging dari Australia, padahal negara kita subur, agraris, setiap satu meter ditanami tumbuh,” tutur KH Muhammad Masroni yang pernah menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah ini.

Pesantren Sunan Gunung Jati memiliki ciri penekanan dalam pembelajaran Al-Qur’an (hafalan) dan bertasawuf dengan mengikuti tarekat Syadziliyah di bawah bimbingan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya Pekalongan.

Sepanjang tahun 2010-2015 Pesantren Sunan Gunung telah melaksanakan tiga kali khataman setiap tanggal 11 Rabiul Akhir. Baru enam orang santriwan-santriwati yang telah hafal Al-Quran. Total santri ada 157 orang yang bermukim di pondok sedangkan pada Rabu dan Kamis jumlah santri akan meningkat menjadi 300-an lebih sebab santri kalong berdatangan pada kedua hari tersebut.

Untuk kegiatan pesantren terkonsentrasi setelah shalat Ashar berjamaah hingga Shubuh. Sebab, sepanjang pukul 07.00–15.00, santriwan-santriwati menunaikan kewajiban mencari ilmu di masing-masing tingkatan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Bermula dari Titah Sang Guru

Menurut cerita Kiai Masroni, sebenarnya pendirian pesantren ini merupakan perintah dari gurunya Habib Muhammad Lutfi bin Yahya (Rais Aam Idarah Aliyah Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah/Jatman). Hal itu bermula saat Kiai Masroni meminta izin pindah ke Kalimantan Timur menjalankan tugas sebagai abdi negara. Saat sowan pamitan kepada sang guru, tak disangka sang guru tak memberikan izin, malah diperintah untuk pindah ke Gunungpati.

“Awalnya saya menolak perintah Habib Lutfi dengan berbagai alasan. Saat itu tanggal 1 Februari 2008 saya berkemas untuk pergi ke Kalimantan Timur, tapi tiba-tiba pada tanggal 5 Februari ada surat perubahan, saya dipindahkan di Semarang,” ungkap kiai mengenang.

Walaupun mandat surat perintah sudah berpindah ke semarang, kiai dan keluarga masih belum mau untuk pindah ke Gunungpati. Ia masih menetap di pesantren Nurul Qur’an Sayung Demak, Jawa Tengah, pesantren warisan keluarga. Habib Lutfi memintanya kembali pindah ke Gunungpati, tapi Kiai Masroni masih menawar perintah gurunya itu.

“Kami tetap ingin di Sayung, tapi beliau tetap menghendaki  kami pindah ke Gunungpati. Kami terus menolak dan meminta di Demak kota, karena kebetulan punya teman yang punya tanah di sana, tapi tetap juga tak diperbolehkan, sampai akhirnya beliau menjelaskan tidak apa-apa satu orang punya dua pondok,” terang sekretaris pusat Jatman ini.

Menurut cerita kiai yang pernah menjadi salah satu penguji untuk As'ad Said Ali mendapatkan gelar doktor honoris causa ini menjelaskan, setelah itu Habib Lutfi mengatakan kepadanya kalau memang dia tak sanggup, ia disuruh meminta Habib Toha untuk pindah ke Gunungpati. Habib Toha menerima titah itu, bahkan dia mengatakan kalau Habib Lutfi yang memerintahkan di manapun tempatnya dia bersedia, jangankan Gunungpati, di lubang semut pun akan Habib Toha laksanakan.

Setelah mendengar jawaban dari Habib Toha tersebut, kiai sadar, selama ini telah berani menawar perintah gurunya itu. Akhirnya Kiai Masroni pun menerima titah itu dan mulai mencari tanah di Gunungpati yang akan di tempati.

Maka pada 2008 mulai keliling Gunungpati guna mencari tanah. Pencarian tanah itu berlangsung hampir satu tahun berpindah-pindah sampai sepuluh tempat lebih. Kiai Masroni  mengatakan, permasalahannya bukan karena tak mendapatkan tanah, banyak di Gunungpati tanah yang di jual, tapi dari beberapa tempat tersebut belum ada yang disetujui Habib Lutfi, sampai akhirnya pada tempat ini sambil menunjukkan area sekitar pesantren kepada NU Online.

“Setiap tanah yang saya ambil, sampel (satu karung) saya berikan kepada Habib Lutfi, dan belum disetujui sampai delapan bulan. Lebih dari sepuluh tempat sudah saya ajukan, akhir cerita, sampai pada tempat ini dan saat itu istri saya yang menemui Haib Lutfi, karena waktu itu saya lagi ada tugas di Makasar,” kenang kiai Masroni.

Pada 2009 awalnya Kiai Masroni mendapatkan tanah satu hektar. Pada saat itu juga dimulai pembangunan dengan menata konstruksi tanah. Akhirnya, pada Juli 2009 dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Pak Ali Mufidz selaku gubernur (plt) dan Habib Lutfi. Kiai Masroni mengatakan bangunan yang pertama adalah mushalla, kemudian dilanjutkan dengan membangun rumah. 

“Semula tak terbayang di benak saya membangun pondok, pengertian saya waktu itu hanya diperintah membangun majelis ta’lim, paling-paling satu minggu sekali ke sini untuk ngaji. Tak ada bayangan jadi pondok,” tuturnya.

Pesantren Gunung Jati ini diresmikan pada tahun 2010, saat itu bersamaan dengan acara maulud Nabi, dan saat itu pula Habib Lutfi memberikan nama pondok ini dengan Sunan Gunung Jati Ba’alawy. Kiai mengatakan awalnya keberatan dengan nama tersebut, karena tempat ini bernama Gunungpati, tapi kenapa di beri nama gunung Jati dan ada tambahan Ba’alawy.

“Habib Lutfi bilang kalau ada orang yang bantah dan tak terima disuruh tanya beliau, karena yang punya nama adalah beliau. Menurut beliau, sebenarnya Gunungpati dan Gunung Jati itu sama. Gunung jati itu sejatine gunung, yaitu sarine gunung; sedangkan gunung pati itu patine gunung, yang berarti juga sarine gunung,” kiai bercerita.

Awalnya kiai dan keluarga masih menetap di Sayung Demak. Kiai memerintahkan dua santrinya untuk menetap di situ, satu santri putra dan satu santri putri beserta suaminya.

“Pertama yang tinggal di sini saya sendiri, istri dan keluarga masih di Sayung, saya mondar-mandir sampai satu tahun, 2009-2010, tapi lama kelamaan terasa kerasan, begitu juga istri, tapi anak-anak protes, karena belum tau dan menyatu dengan alam dan lingkungan disini,” aku Kiai Masroni.

Pada akhirnya is beserta istri dan anaknya kerasan dan bahkan senang tinggal di Gunung pati dari pada di Sayung Demak, karena, suasana pedesaan di Gunung Pati bagi Kiai Masroni dan keluarga lebih terasa.

Walaupun sudah 7 tahun berdiri semenjak dirintis pertama kali, pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy belum memiliki papan nama. Kiai Masroni menyatakan bahwa papan nama yang terpampang akan membawa dampak signifikan bagi perkembangan pesantren sebagai eksistensi bahwa pesantren ini ada sedangkan Kiai Masroni sendiri belum tahu apakah beliau selamanya di Gunungpati ataukah tidak. Walaupun secara legal formal Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy terdaftar di Kementrian Agama dengan nomor statistik pondok pesantren 5120337440186 di bawah Yayasan Sunan Gunung Jati Ba’alawy Semarang.

Dalam rangka berjuang dijalan Allah, Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy membuka  beberapa cabang. Pertama cabang Sragen yang gerakannya lebih fokus kepada Taman pendidikan Qur’an (TPQ) dan sudah mendapatkan tanah, rencana juga dibuka pondok.

“Sudah ada santri bersama istri yang menempat di sana. Nantinya, kita jadikan kiai di sana. Kami juga sudah ada konfirmasi dengan pemerintahan setempat, pengajian juga sudah dimulai,” jelas Kiai. Sedangkan cabang kedua berada di daerah Klaten. Sudah ada tanah wakaf, kegiatan juga  sudah berjalan, walaupun belum ada santri full time menempat disana. (M. Zulfa/Zaimuddin/Mahbib)

 

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua