Pesantren

Pesantren Mambaul Hikam Blitar, Salaf Hingga Akhir Hayat

Sel, 30 Juli 2013 | 05:56 WIB

Ketika banyak pesantren tergoda untuk mendirikan lembaga pendidikan formal, tidak dengan pesantren ini. Tantangan hidup yang mensyaratkan persaingan dan sejenisnya justru dapat ditaklukkan dengan model pesantren salaf.
<>
Tiga tahun berturut-turut, pesantren ini menjadi tuan rumah kegiatan bahtsul masail dari berbagai tingkatan, termasuk yang diikuti pesantren se-Jawa dan Madura. Letaknya yang lumayan jauh, tidak menyurutkan niat para peserta untuk datang dan bergelut dengan kitab kuning di pesantren ini. Ya, Pondok Pesantren Mambaul Hikam (PPMH) memiliki kharisma dan reputasi seperti pesantren salaf lain di tanah air seperti Sarang, Lirboyo Kediri, Sidogiri Pasuruan dan semacamnya.

Letak pesantren berjarak kurang lebih 24 km dari kota Blitar. Lokasinya ada di Dusun Wonorejo Desa Slemanan Kecamatan Udanawu. Luas areanya sekitar 4 ha yang merupakan tanah wakaf dan milik keluarga. Kendati demikian, pesantren salaf ini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Mantenan kendati tidak berada di desa tersebut. Mengapa? Ini terjadi lantaran masyarakat Mantenanlah yang banyak berperan kala awal pendirian masjid dan pesantren. Sedangkan masyarakat Slemanan yang kala itu tidak terlampau mengenal Islam, tidak terlampau memberikan apresiasi. Sehingga atas “prestasi “ masyarakat Mantenan ini, maka PPMH lebih lekat dengan sebutan sebagai Pondok Mantenan hingga kini.

Istiqamah dengan Salaf

Ditemui di kediamannya, Pengasuh PPMH KH M Dliya’uddin Azzamzami Zubaidi menandaskan bahwa pesantrennya tetap kukuh dengan sistem salaf seperti warisan pendiri. “Pokoknya, sistem salaf ini akan tetap dipertahankan hingga titik darah penghabisan,” katanya mantap. 

Kiai Dliya’ –sapaan akrabnya- memiliki keyakinan bahwa model salaf bagi pesantrennya tetap menjadi harapan masyarakat. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya minat masyarakat sekitar dan dari berbagai daerah untuk bertafaqquh fiddin di pesantren ini. Tidak semata masyarakat sekitar yang belajar agama, bahkan tidak sedikit santri yang berasal dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera maupun Jawa. “Ini kian meyakinkan kami, bahwa respon masyarakat ternyata terus positif,” tandas Kiai Dliya’.

Beberapa kiai dan ustadz yang lama mengabdi di pesantren juga mengemukakan hal yang sama. Ustadz Towil As’adi yang telah berada di pesantren sejak tahun 1991 juga merasakan bahwa tidak ada yang berubah dari pondok ini. “Sejak saya di sini sampai sekarang berumah tangga dan mengabdi di pondok, tidak ada yang berubah dari sistem pengajarannya,” tandasnya. 

Sepertinya, salaf menjadi pilihan dan tak akan berubah. Hanya saja, proses belajar mengajar dilakukan secara klasikal dengan membedakan santri sesuai kemampuan yang dimiliki. Pihak pesantren sendiri telah membagi tingkatan materi yang akan dibebankan kepada peserta didik dari MI (6 tahun), MTs, MA (3 tahun), Pasca Aliyah Putri (2 tahun) serta Madrasah Intidhor. 

Hanya saja, madrasah ini menjadikan pengetahuan calon santri sebagai tolok ukur akan diterima di unit dan kelas mana nantinya. “Dengan demikian, bisa jadi lantaran pengetahuan keagamaan calon santri agak tertinggal, maka dia nantinya akan masuk di unit dan kelas yang lebih awal,” kata Ustadz Towil. Demikian juga berlaku sebaliknya, “Siapa yang pengetahuan dan pemahaman dasar agamanya dalam hal ini kitab kuning ternyata sudah lumayan, maka secara otomatis akan masuk di kelas dan unit yang lebih tinggi,” lanjutnya. Dengan demikian, seleksi para calon santri adalah berbasis kemampuan mereka saat awal mendaftar.

Untuk bisa memacu kemampuan menyerap materi yang disampaikan, PPMH menggunakan metode bahtsul masail, pengkajian kitab salaf, sorogan kitab kuning, sorogan bin nadhar dan bil ghaib, dan istima’ul Qur’an. Bahkan untuk mereka yang mengharapkan ijazah, pihak pesantren juga menyelenggarakan Kejar Paket B yang setara dengan SLTP dan C (SLTA). 

Bangunan permanen juga disediakan untuk menampung aktifitas santri, dari mulai lokal madrasah, masjid, asrama, fasilitas harian berupa sanitasi, dapur, aula, hingga gedung olah raga. Semua tersedia di area pesantren yang kini memiliki 2.267 santri (1.395 laki dan 872 putri) ini. Semua tersebar di lembaga pendidikan dari mulai TPA hingga Pasca Aliyah. Ini belum termasuk jamaah yang terhimpun dalam Thariqah an-Naqsabandiyah.

“Di pesantren ini, menerima santri dari mulai anak-anak hingga yang berumur atau udzur,” kata Ustadz Ahmad Bahruddin yang dipercaya sebagai kepala pondok. “Karenanya, sebagian kalangan menyebut ini adalah pesantren sepanjang hayat,” kata Ustadz Salman Dhuhairi. Bagaimana tidak, sejak usia anak-anak hingga menjelang ajal, semua tertampung di PPMH.

Agar mampu memberikan pelayanan terbaik atas kepercayaan masyarakat, setiap harinya PPMH diasuh dan dibimbing oleh pengasuh bersama ibu nyai, dua orang badal dan 89 ustadz atau guru yang 15 orang di antaranya adalah perempuan. Para pendamping santri ini berasal dari berbagai tingkatan lembaga yakni alumnus MI sebanyak 19 orang, 35 orang dari MTs, 16 alumnus MA, dua orang sarjana diploma, seorang S1 dan alumni pesantren sebanyak empat orang.

Kepercayaan  Berbagai Kalangan

Dengan materi dan sistem yang ada yang juga diimbangi memberikan yang terbaik bagi santrinya, alumni PPMH telah mendapatkan kepercayaan dari banyak pihak. Sejumlah pesantren telah menunggu kiprah mereka lantaran dianggap siap pakai. Bahkan kampus negeri seperti STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Kediri, telah memberikan karpet merah untuk mereka. “Dari ijazah yang kita miliki, STAIN Kediri sudah memberikan kesempatan kepada para alumni untuk melanjutkan studi, tanpa harus mengurus kelengkapan administrasi lain,” kata Kiai Dliya’uddin bangga. Bahkan sebelum ada program mu’adalah yang dicanangkan pemerintah, kurikulum di pesantren ini sudah memenuhi standar kuliah. 

“Ya memang ada beberapa mata kuliah yang tidak begitu dipahami para santri, seperti bahasa asing. Karena itu mereka harus berpacu dengan mahasiswa lain,” lanjutnya. “Tapi untuk pengetahuan keagamaan, rasanya alumni kami tidak akan ketinggalan,” katanya sedikit promosi.

Karena itu, PPMH berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan karakter yang dimiliki. Bahkan pengasuh mengibaratkan sistem salaf sebagai pilihan yang tak bisa ditawar. “Ibarat perang, salaf akan kami pertahankan sampai darah penghabisan,” lanjutnya meyakinkan. 

Hal ini bukannya tanpa alasan. Dalam penilaiannya, metode salaf telah berhasil menciptakan santri yang tangguh dan siap pakai. “Minimal mereka bisa berkiprah di masyarakat dengan menjadi pengasuh TPQ, madrasah dan aktifitas keagamaan lainnya,” lanjutnya. Karena hal-hal seperti inilah yang banyak dibutuhkan masyarakat. Demikian pula dalam hal akhlak. Dengan sedikit berkelakar, Kiai Dliya’ menyatakan “Senakal-nakalnya santri salaf, masih memiliki akhlak kepada guru atau kiainya. Dan mereka lebih mudah diarahkan untuk menjadi orang yang baik,” tandasnya.

Dan yang juga tidak kalah penting adalah, metode ini telah teruji oleh jaman. Bahkan ayahandanya juga mewanti-wanti para penerus untuk tetap mempertahankan model salaf yang selama ini dijalankan. Apakah tidak berencana membuat sekolah atau kampus formal? Terhadap hal itu pengasuh sudah mulai memikirkan. “Namun kalaupun harus membuka sekolah formal, akan dicarikan lokasi yang jauh dari pondok induk ini,” katanya. Hal itu dilakukan agar kemurnian PPMH tetap terjaga. 

“Kami tak ingin ciri khas yang telah melekat pada pesantren ini akan pudar gara-gara pendirian sekolah formal,” tukasnya.

Ya, di tengah tuntutan hidup yang serba materi dan semua ukuran keberhasilan dilihat dari ijazah dan gelar, pesantren ini telah memberikan pelajaran yang nyata. Bangga dan istiqamah adalah jawaban bagi tantangan hidup yang kian kompetetif. 


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Syaifullah

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua