Pesantren

Puslitbang Kemenag Harapkan Tipologi Baru Pesantren

Jum, 2 Mei 2014 | 13:08 WIB

Jakarta, NU Online
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Puslitbang Penda) Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI menggelar riset Pemetaan Kelembagaan Pesantren selama sebulan. Penelitian ini dilaksanakan mulai Senin, 28 April hingga Sabtu, 31 Mei 2014.<>

Demikian penjelasan Kepala Puslitbang Penda Prof Abdurrahman Mas'ud PhD kepada NU Online melalui telepon, Rabu (30/4) lalu. Penelitian ini dikhususkan untuk menggali data pemetaan kelembagaan pondok pesantren. Pekan pertama, peneliti disebar ke tiga provinsi yakni Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Di ujung barat, mulai Pandeglang dan Cilegon hingga ujung timur yakni Indramayu dan Cirebon.

"Di Banten, ada 8 kabupaten/kota dengan 84 pesantren yang menjadi sampel. Di provinsi ini yang terbanyak Pandeglang (32). Di Jawa Barat, ada 256 pesantren yang tersebar di 26 kabupaten/kota. Sementara di DKI ada 12 sampel pesantren," ujar Abdurrahman Mas'ud.

Menurut dia, sebanyak 810 dari 27.218 pesantren di seluruh penjuru Tanah Air menjadi sampel penelitian. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 256 pesantren disusul Jawa Timur (168), Jawa Tengah (124), dan Banten (84). "Urutan kelima terbanyak NAD sebanyak 35 pesantren," papar guru besar Sejarah Peradaban Islam ini.

Riset kali ini, tambahnya, menggunakan indikator baru dan pendekatan kapasitas (capacity approach) serta wawancara dengan para pimpinan, kiai, santri, dan atau pengajar di pesantren. Indikator baru digunakan agar dinamika pesantren selalu tampak mengemuka dan up to date sesuai perkembangan global.

Bagi mantan Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan ini, kapasitas (capacity) merupakan pendekatan yang saat ini secara luas digunakan dalam pengembangan masyarakat (community development). Beberapa literatur mendefinisikan 'kapasitas' sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang, organisasi, lembaga (termasuk pesantren) atau masyarakat agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi esensial, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan. Juga, memahami kebutuhan pengembangan diri dalam lingkungan yang lebih luas secara berkelanjutan.

Permasalahan penelitian, lanjutnya, adalah masih relevan atau tidakkah tipologi pesantren dari varian 'salafiyah', 'khalafiyah', dan 'kombinasi' atau varian lainnya. "Tipologi tersebut kan sudah kuno. Kita ingin ada tipologi baru yang inovatif," ujarnya bersemangat.

Dari permasalahan tersebut, Abdurrahman Mas'ud ingin riset tersebut mentipologikan kelembagaan pesantren dengan fokus kepada tiga hal. Pertama, unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi sehingga dapat disebut sebagai sistem pesantren. Kedua, nilai-nilai apa saja yang harus harus dimiliki dan diimplementasikan oleh sebuah pesantren. Ketiga, bagaimana tingkat kapasitas pesantren dalam kaitannya dengan potensi dan peran yang dimilikinya.

Ditanya tentang signifikansi penelitian, doktor jebolan University of California Los Angeles AS ini menjelaskan, secara akademis, riset ini dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang tipologi kelembagaan pesantren meliputi unsur, nilai, dan kapasitas pesantren. "Secara praktis-pragmatis, riset ini dapat memberi masukan kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam mentipologikan pesantren merencanakan penguatan serta pemberdayaan lembaga ini," pungkasnya. (Musthofa Asrori/Anam)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua