Berlin, NU.Online
Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi menilai, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang ucapannya amanah. Artinya, ucapannya itu bisa diterima semua rakyat, figurnya bisa menjadi pemersatu bangsa, dan memiliki visi mau dibawa kemana bangsa ini. Untuk itu, usaha yang perlu dilakukan saat ini adalah memperhatikan persatuan Indonesia di tingkat masyarakat, memilih pemimpin yang kuat melalui pemilu yang jujur dan adil, serta memperbaiki sistem pemerintahan agar lebih kuat dan jelas.
“Setelah persayaratan itu ada, dan memiliki presiden, maka prioritas harus diberikan pada perbaikan ekonomi dan membangun pendidikan. Tanpa itu, Indonesia akan terus terpuruk sebagai bangsa yang tidak punya harga diri,” ujar Ketua Umum Hasyim Muzadi dalam pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Jerman Rahardjo Jamtono dan mahasiswa Indonesia di Jerman, Minggu (27/4) malam.
Menurut Hasyim, melalui pemilu mendatang yang akan menerapkan sistem pemilihan presiden secara langsung, diharapkan bisa memunculkan pemimpin yang betul-betul di pilih oleh rakyat, dan bukan hasil kongkalikong dari sebagian orang yang kebetulan berada di MPR.
Indonesia ke depan membutuhkan presiden yang kuat dan bersih. Kuat dalam arti bisa mengambil tindakan tegas dan memiliki dukungan yang besar dari masyarakat. Posisi presiden yang kuat, diharapkan bisa memberikan efektivitas, sehingga semua roda pemerintahan bisa berjalan dalam satu irama. Sedangkan bersih, maksudnya bebas dari kegiatan korupsi yang merugikan negara. Selain itu, presiden itu bisa menjadi figur pemersatu bangsa, yang bisa menggerakkan potensi masyarakat yang besar, membangkitkan etos kerja keras, dan tidak mencari-cari tempat untuk dirinya, tetapi berpikir bagaimana agar seluruh bangsa ini bisa mendapat tempat.
“Sebagai manusia memang bukan berarti tidak ada dosa, namun dosanya terhadap negara dan rakyat itu tidak ada. Karena sangat sulit menentang korupsi, jika dirinya sendiri terkena masalah korup,” ujar Hasyim.
Pemerintahan
Siapapun jadi presiden saat ini akan sakit semua. Selain memiliki persoalan figur kepemimpinan, juga sistem pemerintahannya belum rapi. Komando kabinet sendiri masih lemah, sebagai akibat kontrol legislatif menjadi intervensi legislatif terhadap eksekutif. Tidak heran kalau kabinet yang ada merupakan kabinet pengkaplingan, yang merugikan dalam kontek kebangsaan.
Menurut Hasyim, sistem yang dilakukan oleh pemerintahan Suharto pada masa lalu memang telah menjamin adanya stabilitas namun tidak memberikan tempat adanya kreativitas. Dukungan militer, partai golkar, dan birokrasi telah menjadi pilar pemerintahan Suharto yang kuat. Sayangnya ketika reformasi mulai digulirkan, peran dukungan seperti ini belum ada yang bisa menggantikannya.
“TNI mundur dari politik, dan beberapa bidang ekonomi, namun belum ada yang bisa menggantikannya. Polisi tidak siap, sipil belum memiliki kemampuan, apalagi parpol juga belum kuat,” ujarnya.
Implikasinya, menurut Hasyim, terjadi persoalan keamanan yang serius terutama persoalan teritorial dan intelegen. Polisi yang seharusnya bisa berperan besar, namun belum bisa langsung mengambil tugas yang sebelumnya dipegang oleh militer. Tidak heran jika masyarakat merindukan adanya keamanan yang stabil, demi kenyamanan hidupnya.
Parpol belum sepenuhnya berdaulat, karena yang lebih berpengaruh adalah broker-broker politik. Ditambah adanya penurunan moral yang luar biasa yang dialami bangsa ini. Tidak heran jika potensi alam yang luarbiasa, tidak bisa digali oleh sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Hasyim menilai, sistem pemerintahan yang dilakukan saat ini hanya bolak-balik dari sistem masa lalu. Saat ini, Indonesia kembali ke arah demokrasi liberal yang pernah gagal dilakukan di Indonesia. Mekanisme liberalisme yang mempengaruhi demokrasi saat ini sepertinya menghambat efektivitas. Padahal, tidak seharusnya proses demokrasi yang terjadi justru menghambat.
Misalnya, saat ini banyak posisi duta besar yang masih kosong, namun karena penentuannya harus melalui DPR maka prosedurnya jadi lebih panjang. Padahal, kualitas orang yang melalui proses ini belum tentu jauh lebih baik. Padahal, politik luar negeri Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius dan bisa ditangani dengan cepat.
“Tidak heran kalau politik luar negeri Indonesia saat ini belum bisa dilakukan dalam tim yang penuh. Citra demokrasi dalam negeri seperti ini, akan terlihat di mata dunia dalam politik luar negerinya,” ujarnya.
Menurut Hasyim, situasi ini sebagai akibat dari ketidakjelasan sistem pemerintahan saat ini. Secara de jure, Indonesia menganut presidensial, namun de facto banyak fakta riil dalam praktek kenegaraan yang memperlihatkan sistem parlementer. (Mam)
Terpopuler
1
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
2
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
3
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
6
Khutbah Jumat: Jadilah Pelopor Terselenggaranya Kebaikan
Terkini
Lihat Semua