Puisi

Puisi-puisi Gatot Arifianto

Ahad, 28 April 2019 | 03:30 WIB

Lelaki Yang Tak Menghendaki Kursi
 
tampuk tak perlu diperebutkan dengan siasat
mungkin juga muslihat, seperti kursi peningkat martabat
 
ada ingin setelah angin mengirim wangi yamuna. dan sambang
yang memperjelas kabar seperti ikanikan dalam akuarium
semakin menggoda duda santanu menumbangkan lengang panjang
– rabutlah sepi bertahun ditunjamkan gangga –
 
nelayan menjala harapan: masa depan tak perlu lasah
awan cerah dan harum anggur dari cawan emas meliurkan matanya
– guntinglah lipatanlipatan senyap. sunting dan dekaplah anakku
sebagai permaisuri. tapi berikanlah tahta bagi benih dari rahimnya –
 
tampuk tak perlu direngkuh dengan tikai, seperti kursi
lima tahun sekali yang nikmat untuk tidur sembari
membahas anggaran dan kotakota di luar negeri
 
jauh sebelum mata terpejam di saratalpa
kurusetra yang kisruh dan penuh alpa
dewabrata, jantung hati amba
menaklukan riuh dan singgasana
yang menjanjikan ampuh sekaligus piuh
 
– akulah bisma, pendendang bhishan-pratigya
peminang kembang satyawati bagi duka
dan hening ranjang paduka
terimalah baktiku, narendra junjungan hastina pura –
merentang jemparing alpukah
ia bidik kelasah ayah tanpa segumpal sesal
kehilangan mahkota di depan mata
 
Netrahyahimsa Institute, 28 Agustus 2016
 
  
Epigram
 
di beranda, angin menggiring tembang
imagine all the people
living life in peace*
 
mata lelaki benderang
jatuh di benak seperti sepiring pastel
ketika kenari meningkahi gerimis tipis
 
kasih sayang adalah bayang
bukan lengan sesekali bermain barbel
Ia yang maha, tak mengajarkan agama untuk mala bengis
 
Netrahyahimsa Institute, 20 April 2019
*kutipan lagu Imagine John Lenon
 
Penipu Tolol

Setelah gagal mengelabui Tuhan. Seorang politisi berinisial LOL bertekad menaikkan stressnya ke tingkat karesidenan.

 "Beri aku talenta Deddy Mizwar, yang bisa menjadi Roy Paturingi hingga Naga Bonar," ujar LOL sembari menggayau galau.

Rusa telah lincah, meninggalkan kaki kanakkanaknya yang gemetar. Tapi Tuhan tak juga merampungkan pinta. "Rakyatlah sebentar Tuhan!" jerit LOL sembari mengangkat poster dan kembang gula.

 Netrahyahimsa Institute,  18 Juni 2016
 
Hikayat Tabiat
 
kenapa tepung kado ultah pada tubuh
atau peluh meski dibersihkan dengan sungguh?
 
kota, desa dan kita tak juga dewasa
sekian tahun berlalu masih saja anakanak bahkan benalu
 
bumi yang tak lelah memberi cinta bagi hidup dan mati
hanya menerima kenakalan hingga imitasi
dari kita yang melulu lalai mencampakkan kitab suci
 
pada tanah tak lelah memberi nutrisi
pada sungai tak lelah memberi protein
pada laut tak lelah memberi omega
styrofoam dan plastik keingkaran tambun
menimbun Ar Rum 41 tanpa ampun
tapi kita masih saja gemar
bahkan barbar, melesakkan cemar
 
Netrahyahimsa Institute, 6 Agustus 2016


 Sapere Aude
 
antara wayang dan orang, mana lebih cerlang?

sanggahlah dengan sungguh jika salah. laut adalah maut dan hutan adalah hantu. percayalah. apa yang maslahat bagi rakyat adalah hal mencemaskan kapitalis, seperti komunis layak disingkirkan suatu rezim, yang mungkin alim, mungkin juga zalim. maka kenanglah cara, bara di dada pemburu dan dominasi partai. bagaimana dengan elaeis, yang bengis mengganti flora, dan kota yang menukar biota?

kiralah kemudian kurakura dalam perahu, atau bacalah kisah kerakera pancawati menggempur gergasi jika nyali tak kunjung nyala. barangkali ada greget menuntaskan reformasi dibutuhkan, bukan reformasu

 Netrahyahimsa Institute, 14 September 2016
 
Lahan Itu Bernama Petani

selalu ada tubuh basah di harihari lasah, agar tanah tak bernasib rahim srikandi. bukankah sering kita saksikan atau sekedar dengar? tentang fajar, layar terkembang yang riuh tembang sederhana di antara harakah cangkul dan dengkul: ora obah ora mamah

maka pada senja di beranda resto dengan segelas kopi dan salad premium berharga fantastis, seperti jadi pantas membekalkan sepakat terhadap mata, keyakinan orangorang legam, karib matahari perunggu, sebagai mantra penghalau galau bagi hasil memberatkan menambal dua gigi berlubang, apalagi tidur di hotel berbintang menawarkan kangkung ditumis dengan minyak kelapa sawit hingga panas sup asparagus, sepanjang penantian semusim

sungguh dan tak perlu sanggah. jutaan hektar lahan yang tak lelah memberi warnawarni hasil bumi itu bernama petani. nektar manis yang terus dicecap gergasi kapitalis sesantai pembantai berdarah dingin: ora mamah ora obah

 Netrahyahimsa Institute, 14 September 2016
-- ora obah ora mamah: tidak bergerak (kerja) tidak bisa mengunyah (makan).
-- ora mamah ora obah: tidak mengunyah (makan) tidak bias bergerak (kerja).
 
Penulis. Gusdurian - Asinfokom Satkornas Banser

-- 



Terkait

Puisi Lainnya

Lihat Semua