Pustaka Islam yang Semakin Asing

Dehistorisasi Islam Indonesia

Sel, 10 Oktober 2006 | 06:39 WIB

FENOMENA keberislaman di negeri ini semakin mengarah pada ketercerabutan jati diri yang telah mencapai titik mapan. Ia telah lama mengarah pada proses “dehistorisasi” Islam Indonesia. Yakni, sebuah kondisi dimana geliat kehidupan Islam, khususnya yang terlihat diruang publik, telah melangkah jauh meninggalkan akar kesejarahan serta permasalahan orisinil Islam di Indonesia. Jika kita membaca perdebatan Islam baik di media, seminar, hingga penerbitan buku, maka yang bertarung adalah dua macam fundamentalisme: Islamisme vis a vis liberalisme.

Kegelisahan ini mungkin dianggap mengada-ada, karena semua fenomena tersebut sudah menjelma fakta. Mata publik kita tersedot kepadanya. Hanya saja, ia berangkat dari satu keprihatinan ‘nasionalistik’, ketika menyaksikan bandul keberislaman kita kok lebih bergerak ke arah ‘luar’: kalau tidak Islamis, ya westernis. Artinya, diskursus Islam yang mengemuka selalu dijul-beli oleh dua agenda ‘luar’ yang saling bertentangan: Barat vis a vis Islam (is).

Apa yang diperjuangkan dibalik wacana <>penertiban pornoaksi dan pornografi misalnya, adalah kelanjutan dari diskursus ‘kebangkitan Islam’ yang menghendaki proses simbolisasi Islam, baik tataran negara Islam, formalisasi syari’at, pengharaman liberalisme-sekular, hingga penggunaan negara tak habis-habisnya, untuk mengobok-obok wilayah agama yang merupakan ‘independensi kebudayaan’ masyarakat. Dari sini, muslim Indonesia kemudian ‘menjadi’ muslim Arabis, yang memaksakan standar idealitas keislaman universal, kepada fakta kebudayaan Islam di Indonesia, yang tentunya memiliki historisitas sendiri.

Di seberang lain, bidik tembak pun diarahkan untuk menghadang gelombang simbolisasi Islam tersebut, yang sayangnya sudah tidak bebas nilai, karena lebih menggunakan paradigma keilmuan dan metodologi kajian milik kesejarahan Barat. Lahirlah liberalisasi Islam itu, yang telah dipatahkan juga oleh para ‘pembela Islam’. Memang, apa yang diperjuangkan pihak ini adalah nilai-nilai kemanusiaan universal.

Hanya saja, universalisme sebagai sebuah epistemologi historis tentunya memiliki ‘agenda’ sendiri yang bersifat eurocentrism, sementara rasionalitas Islam Indonesia sebenarnya memiliki epistemologi sendiri, yang berangkat dari kesejarahan panjang islamisasi Nusantara, sehingga pada tataran strategis, tidak selalu menetapkan Arabisasi sebagai satu-satunya musuh utama umat yang harus diberantas, karena masih terdapat ‘penyakit’ real ditengah masyarakat yang menuntut penyelesaian non-simbolik, semisal ketidakadilan struktural.

Jurnal Pesantren Ciganjur edisi kali ini mendefinisikan sebuah kondisi, ketika sebagai muslim dan orang Indonesia, kita sudah tidak bisa lagi merumuskan apa sebenarnya “permasalahan historis” kita? Historis dalam arti kesatuan antara hati, pikiran, ucapan, dan tindakan yang menstruktur dalam jaringan kesejarahan Nusantara. Tentu saja, tidak menginginkan Indonesia modern ini kembali kepada zaman prae-Indonesia, meminjam istilah STA.

Juga tidak hendak mengagungkan mistisisme sebagai rasionalitas asli, pra kedatangan rasionalitas instrumental. Tidak menutup mata atas segala kemajuan yang telah dihadirkan modernisasi, karena ia juga telah menghantarkan kebudayaan manusia kepada “hidup yang lebih mudah”. Hanya saja, jika Fouchault menyatakan bahwa manusia hanyalah “produk peradaban belakangan”, maka manusia harus membebaskan diri dari proses “memproduk manusia”, sesuai dengan berbagai standar keilmuan, mesin, negara, kolonialisme, ideologi, bahkan agama, selama berbagai “produk manusia” itu sudah tidak sesuai dengan kepenuhan jati diri manusia, sebagai “produser kebudayaan”.

Yang diingkinkan adalah perumusan kembali titik tolak dan arah kebudayaan, yang saat ini, entah berjalan sampai mana. Jika bicara Islam, maka perumusan ini berpijak dari model pendekatan para da’i dalam islamisasi awal yang merujuk pada sosio-kultural, dimana proses transformasi tidak ditujukan pada penggantian lembaga dan struktur budaya masyarakat, melainkan sebaliknya, menelusup ke dalam struktur tersebut guna menggerakkan Islam, sehingga sesuai dengan mekanisme pergulatan kebudayaan dari masyarakat Indonesia.

Pada edisi khusus “Islam Nusantara” Jurnal Pesantren Ciganjur kali ini menurunkan kajian tentang akar keilmuan Islam Nusantara abad ke XVI-XVIII, pertarungan antara Islam Walisongo versus Islam Wahabi, perjalanan tarekat dari masa, komunalisme dan kebangkitan politik islam Nusantara, Menuju Dekolonisasi Kebudayaan, serta Studi Kasus Islam Liberal vs Fundamental.
 
Wawancara dengan Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal) mengupas tiga karakter islam Indonesia. Sementara M. Jadul Maula dalam wawancaranya memaknai dehistorisasi kebudayaan. Hasil diskusi bersama Gus Dur disajikan dalam artikel bertajuk ““Kiri” Gus Dur, Perubahan tanpa Marx”. Secara mengejutkan KH. Maimun Zubair dalam satu halaqoh men