Pustaka Bagian 1-tanpa pengarang

Helsinki ?

Sab, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Menggugat Perjanjian Hensinki

Setiap warga negara Indonesia baik yang di Aceh maupun di luarnya, semuanya menginginkan terciptanya perdamaian di kawasan Serambi Mekah  itu, dengan tidak adanya pertempuran antara kelompok GAM dengan TNI. Harapan itu telah lama muncul tetapi tidak kunjung tercapai, bakan ketika DOM dicabut JOU dimulai hingga darurat militer diterapkan kembali.

Baru setelah terjadi bencana tsunami, ketika semuanya <>mengalami porak poranda dan membutuhkan rehabilitasi dan rekonstruksi, upaya perdamaian kembali dimulai. Proses itu berjalan begitu tertutup dan begitu cepat, sehingga muncul komentar bahwa perjanjian tersebut tidak bermotif perdamaian abadi dan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya bermotif bisnis, yakni bagaimana berbagai elite penguasa dan pengusaha bisa mengerjakan proyek rekonstruksi Aceh dengan aman.

Untuk keperluan bisnis sekelompok pengusaha-pejabat itu segala konsesi diberikan pada GAM yang dibelakangnya adalah para kapitalis dan imperialis, yang ahli dlam melakukan gerakan pemecah belah dan kolonisasi. Inilah yang diresahkan kalangan nasionalis dari berbagai kalangan baik yang religius maupun secular yang tertuang dalam buku singkat ini.

Lazimnya suatu pakta perjanjian damai hanya dirumuskan dalam beberapa kata, tetapi kesepakatan damai GAM ini dirumuskan sangat lengkap mirip sebuah undang-undang dasar, di mana pemerintah RI menjadi pelayan GAM serta para petugas dari Misi Monitoting Aceh dari  Uni Eropa yang sangat berkuasa. Perjanjian yang rinci tersebut memang bukan dibuat oleh GAM atau rakyat Aceh dipersiapkan oleh Tim Uni Eropa yang ingin berkuasa di sana, baik s ecara politik maupun bisnis.

Perjanjian tersebut dirasa sangat janggal, pertama perjanjian disepakati oleh RI dengan GAM, sementara tidak seluruh rakyat aceh pengikut GAM, sementara perjanjian tersebut mencakup seluruh wilayah Aceh baik Gam maupun bukan. Termasuk pemerintah yang sah yang sudah ada di Aceh terikat dalam perjanjian tersebut,s ehingga tidak diperbolehkan berbat sesuatu oleh Tim Monitoring.

 Kedua, perjanjian tersebut menunjuk adanya entitas yang berbeda antara RI dengan GAM. Hubungan keduanya tidak dilihat sebagai hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, melainkan seolah hubungan antara dua negara RI dan GAM. Ketiga, dengan adanya posisi itu maka Aceh mendapatkan konsesi yang sangat besar, seperti membuat pemerintahan sendiri, lagu kebangsan serta bendera tersendiri, serta gelar kepemimpinan sendiri yang berbeda dengan pemerintah pusat.

Dibolehkannya mendirikan partai local untuk menyelenggarakan pemilu local, serta memberikan wewenag sepenuhnya pada DPR terpilih, sehingga DPRRI diharuskan tundulk pada keputusan DPRD Aceh, segala keputusan tentang Aceh DPR RI harus seizing DPR Aceh.
Kebebasan melakukan bisnis dan investasi dengan luar negeri, serta membuat system perbankan sendiri di luar Bank Indonesia, sebenarnya sudah merupakan pembantukan negara berdaulat tersendiri. Anehnya seluruh proses itu hanya dijalankan segelintir orang pemerintah, yang didampingi beberapa aktivis asing, sementara anggota DPR tidak dilibatkan.

Sebagian anggota DPR ada yang bersikap kritis, tetapi sebagaian besar tidak peduli dirongrongnya kedaulatan negaranya, karena yang dibutuhkan hanya komisi dari perjanjian tersebut.Melihat kenyataan itu kalangan masyarakat, terutama ormas dan juga beberapa kalangan purnawirawan bergerak untuk menolak kesepakatan Helsinki yang penuh manipulasi tersebut. Kesepakatan tersebut bukan murni dari Gam dan rakyat Aceh pada umumnya, tetapi ulah sgelintir para kolonial Eropa yang ingin kembali menjajah Aceh yang kaya raya. Rakyat Aceh memang lagi membutuhkan pertolongan, tetapi para penjajah bangsa Eropa itu sengaja memancing di air keruh, sambil membantu menancapkan kukunya di wilayah itu.
Rakyat Aceh memang menginginkan kebebasan dan kesejahteraaan melalyi perdamaian.

Tetapi jangan sampai terbuai bantuan, nanati bisa menyesal seperti Timor Timur, ketika masih dalam kekuasaan Indonesia, daerah bekas jajahan Portugis yang terbelakang itu dibangun dengan sangat maju baik secara fiisik maupun budaya. Tetapi sekarang ini ketika kembali dalam keemerdekaan yang sebenarnya dalam genggaman penjajahan Eropa yang diboceng PBB, negara itu menjadi sapi perahan Portugis, Australia dan sebagainya sehingga pembangunan mandek, harga kebutuhan hidup langka.

Masyarakat harus tetap sadar b