Pustaka

Kitab Faydhul Hija Karya KH Sahal Mahfudh, Perluas Pemahaman Fiqih bagi Pemula

Rab, 24 Januari 2024 | 06:30 WIB

Kitab Faydhul Hija Karya KH Sahal Mahfudh, Perluas Pemahaman Fiqih bagi Pemula

Kitab Faydhul Hija karya KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. (Foto: NU Online/Syakir)

Kitab Safinatun Naja menjadi rujukan penting bagi para pemula yang hendak belajar memperdalam agama Islam. Kitab tersebut menjadi penting karena disajikan dengan format sederhana dan ringkas, tetapi padat akan sari pengetahuan, khususnya fiqih dasar peribadatan rukun-rukun Islam, mulai thaharah, shalat, zakat, hingga puasa.


Kitab Safinatun Naja ini banyak dikomentari oleh para ulama. Di antaranya, Syekh Nawawi Banten yang menulis kitab Kasyifatus Saja, Kiai Ahmad bin Sodiq al-Lasemi al-Pasuruani yang me-nadzom-kan kitab tersebut dengan judul Tanwirul Hija. Kitab nazam itu kemudian dikomentari oleh ulama asal Makkah, Syekh  Muhammad Ali bin Husein al-Maliki, dengan judul Inaratud Duja.


Seperti kitab tersebut, Faydhul Hija karya KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh juga merupakan syarah atas nadzoman kitab Safinatun Naja yang ditulis oleh KH Maksum Siroj, paman KH Said Aqil Siroj, dari Pesantren Gedongan, Cirebon, Jawa Barat. Nadzam tersebut diberi judul Naylur Raja.


Kitab Faydhul Hija semakin penting dengan adanya pengantar dari mahaguru penulisnya, yakni KH Zubair Dahlan, ayah dari KH Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.


Sebagaimana termaktub di judul, Kiai Zubair juga menegaskan bahwa kitab karya santrinya itu memberikan perluasan pandangan dan pemikiran mengenai fiqih. Bahkan, Kiai Zubair memuji kitab ini sebagai sebuah taman yang bunga-bunganya mekar, serbuk sarinya menebar, dan buah-buahnya segar.


Perluasan

Kitab Safinah dan nadzomnya, Naylur Raja, ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana dan pemahaman yang sangat padat. Kiai Sahal hadir dengan Faydhul Hija untuk memberikan perluasan bagi para santri atau pembelajar yang memerlukan penjelasan lebih.


Setidaknya, ada tiga hal yang dilakukan Kiai Sahal dalam kitabnya ini. Pertama, Kiai Sahal memberikan definisi atau pengertian yang menyeluruh (jami') dan terbatas (mani'). Misalnya, dalam penjelasan fardhu-fardhu wudhu, Kiai Sahal tidak langsung menguraikan apa saja yang harus dilakukan saat berwudhu, tetapi menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi wudhu, baik secara bahasa maupun istilah. Ia juga menegaskan bahwa wawu pada wudhu harus dibaca dhammah mengingat jika dibaca kasrah berarti air yang digunakan untuk berwudhu. Namun, ada juga yang mengatakan keduanya fathah atau keduanya dhammah.


Kedua, Kiai Sahal memberikan penjelasan dengan menyertakan Al-Qur'an dan hadits. Dalam penjelasan wudhu, misalnya, Kiai Sahal menghadirkan Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 6 yang menjelaskan tentang keharusan berwudhu sebelum shalat dan langkah-langkahnya. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014 itu juga menghadirkan hadits, seperti dalam fasal rukun Islam, buniya al-Islamu 'ala Khomsin.


Namun sayangnya, Kiai Sahal dalam menghadirkan ayat dan hadits ini tidak lengkap sehingga terpotong. Pun tidak dijelaskan pula potongan ayat Al-Qur'an itu dari surat apa dan ayat berapa, hadits itu diriwayatkan oleh siapa. Hal ini meskipun tidak begitu penting tetapi menjadi catatan informatif yang menunjang pembaca. Pentahqiq saya kira perlu memberikan catatan kaki atas hal tersebut guna melengkapi penjelasan yang terpotong.


Ketiga tentu saja perluasan penjelasan mengenai fiqihnya. Misalnya, dalam pasal mengenai mandi, Safinah hanya menghadirkan penjelasan mengenai hal-hal yang mewajibkan dan yang harus dilakukan saat mandi. Kiai Sahal di dalam syarahnya memberikan penjelasan mengenai hal yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk dilakukan saat mandi. Menariknya, penjelasan ini tidak ditulis dengan bentuk paragraf atau prosa, tetapi juga dalam bentuk nadzom.


Penjelasan fiqihnya juga tidak saja didasarkan pada pemikirannya secara pribadi. Kiai Sahal juga mengutip pandangan ulama dan sejumlah kitab sebagai rujukan penjelasannya, seperti kitab-kitab karyanya, di antaranya al-Tsamaratul Hajiniyah, al-Faraid al-'Ajibah, al-Fawaid an-Najibah.


Ada pula kitab karya ulama lain seperti al-Faraid al-Bahiyyah, Syarah at-Tahrir karya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshori, Tanwir al-Hija karya Kiai Ahmad bin Shodiq al-Lasemi, al-Bujairami 'ala al-Khathib, Syarh al-Minhaj karya Syekh Taqiyuddin as-Subuki, dan sebagainya. Bahkan, Kiai Sahal juga mengutip penjelasan dari gurunya, yakni Kiai Zubair Dahlan dalam bab rukun khutbah. Artinya, kitab ini cukup komprehensif karena menghadirkan sejumlah pandangan dari abad pertengahan hingga ulama masa kini.


Apalagi, kitab ini juga menghadirkan biografi mini dan sanad dari penulisnya, Kiai Sahal Mahfudh yang bersambung secara terus-menerus sampai pada Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i hingga Nabi Muhammad saw. Jalur keilmuan itu ditempuhnya melalui dua gurunya, yaitu Kiai Muhajir Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur paman dari Kiai Ihsan Jampes, dan Kiai Zubair Dahlan Sarang, Rembang, Jawa Tengah.


Oleh karena itu, penting kiranya bagi para santri untuk dapat memperluas pemahaman dan pandangannya mengenai fiqih dengan mengaji dan mempelajari kitab ini. Terlebih, bulan Januari 2024 ini adalah haul ke-10 dari penulisnya, KH Sahal Mahfudh yang wafat pada 24 Januari 2014.


Peresensi Syakir NF, pengajar di Pondok Darul Amanah Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat


Identitas Kitab
Judul : Faydlul Hija ala Naylir Raja
Penulis : KH MA Sahal Mahfudz
Tebal : 105 halaman
Terbit : 2016
ISBN :978-602-97202-1-1