Pustaka

Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan

Sen, 24 Agustus 2015 | 06:04 WIB

Bangkalan 1820, serupa dengan kota-kota lain di Madura—seperti Pamekasan, Sampang, dan Sumenep— kota Bangkalan berada di bawah kontrol Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen. Setiap harinya, bala tentara Belanda hilir-mudik di jalan-jalan mengawasi setiap aktivitas penduduk termasuk aktivitas perdagangan antar pedagang Madura dan Pasuruan yang datang melalui pelabuhan di Surabaya. Rakyat tunduk di bawah kontrol penjajah dan tak bisa berbuat banyak, bahkan Sultan Bangkalan II (1815–1847), <>penguasa lokal Bangkalan pada masa itu tak lebih hanya sebagai ‘pegawai’ raja negeri Belanda. (LPM Universitas Negeri Malang, 2007: 146).

Sampai tahun 1820-an, belum terdengar nama ulama besar dari Madura yang mampu menerangi batin penduduk pulau garam tersebut sehingga banyak masyarakat Madura yang mengirim anak-anak mereka ke pondok pesantren di tanah Jawa dengan harapan sepulang nanti dapat mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Madura. 

Di tengah kegersangan hati para penduduk Bangkalan, pada hari Selasa, 14 Maret 1820 M / 11 Jumadil Akhir 1235 H, lahirlah seorang bayi mungil anak dari KH Abdul Latief adalah seorang kiai di Kampung Senenan, Kemayoran,  Bangkalan, Madura. Sang ayah memiliki silsilah yang tersambung sampai ke Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di wilayah Jawa Barat. Kakek dari KH Abdul Latief yaitu Muharrir masih memiliki hubungan darah dengan Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu Sunan Gunung Jati Cirebon.

Sejak kecil sang ayah juga memperkenalkan Cholil kecil dengan berbagai ritual Islam. Meski putranya masih belum paham dengan artinya, namun sang ayah kerap mengajak Cholil menghadiri acara seperti Diba’an yaitu membaca sejarah ringkas keluhuran dan keagungan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya melalui gubahan puitis karya Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i. Diba’an merupakan kegiatan jamiyyah (dilaksanakan secara berjamaah) yang lazim dilaksanakan di kalangan pesantren maupun di kalangan masyarakat Jawa dan Madura. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada malam Jum’at, juga pada acara walimatul khitan (resepsi sunatan) dan walimatul urusy (resepsi pernikahan). Selain itu, sang ayah juga mengajarkan cara membaca Al-Qur’an. 

KH Abdul Latief lalu mengirim putranya ke pesantren Langitan di Tuban yang termasyhur dengan ilmu tata bahasa Arabnya. Sang ayah lalu menitipkan putranya kepada KH Muhammad Nur pengasuh pesantren Langitan pada saat itu. Sang ayah memercayakan sang anak untuk nyantri kepada KH Muhammad Nurbukannya karena selain bagus, di sana juga turut lahir beberapa tokoh generasi pertama NU seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahanda KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahanda KH Ahmad Shiddiq).

Ketika Syaichona Cholil menjadi ulama besar, karisma dan namanya sangat dihormati di seluruh kalangan masyarakat Islam, khususnya kaum pesantren. Saat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) akan didirikan, Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari dilanda kebimbangan yang luar biasa. Syaichona Cholil Bangkalan yang mampu merasakan keresahan KH Hasyim Asy’ari lalu mengutus santrinya, Kiai As’ad Syamsul Arifin kepada KH Hasyim Asy’ari. Kiai As’ad datang dua kali, pertama ia mengantarkan sebuah tongkat dan pesan satu ayat dari Al-Qur’an surah Thaha ayat 17-23, dan kedua ia mengantarkan sebuah tasbih dan amalan Yâ Jabbâr Yâ Qahhâr. Keresahan KH Hasyim Asy’ari reda berubah menjadi keyakinan untuk mendirikan organisasi NU.

Itulah sekelumit kisah yang terdapat di dalam buku ini, betapa sosok Syaichona Cholil Bangkalan memiliki peran besar lahirnya NU, sebuah organisasi Islam terbesar di dunia saat ini.

Cerita lahirnya NU yang berdiri atas restu Syaichona Cholil Bangkalan juga pernah diceritakan oleh Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan pada saat perayaan Harlah NU ke-87 di Pekalongan. Dalam ceritanya ia mengatakan bahwa menjelang berdirinya NU ulama-ulama Haromain mengutus KH Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua ulama besar untuk dimintai restu, pertama Habib Hasyim bin Umar bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan yang kedua yaitu Kiai Cholil Bangkalan.

Buku mungil ini berisikan sekilas catatan hidup sosok mahaguru, lebih dari itu, buku ini kami harapkan bisa menumbuhkan semangat pendidikan di Indonesia. Biografi Mbah Cholil yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bakhri ini mencoba mendedah kehidupan sang tokoh; peristiwa per peristiwa dalam hidupnya, perasaannya, pemikirannya, cita-citanya, dan impiannya, yang dapat menjadi informasi penting bagi para pembaca. dengan data yang memang sangat terbatas, penulis juga menguatkannnya dengan mewawancarai beberapa narasumber yang memiliki cerita tentang Kiai Cholil.

Minimnya literatur yang mengulas sosok Syaichona Cholil Bangkalan  membuat buku ini sangat penting karena menjadi sumber informasi yang sangat berharga menyusuri model pemikiran mereka di saat menghadapi perkembangan situasi dan tuntutan zamannya. buku ini memberikan secercah cahaya untuk menambah informasi tentang sosok Mbah Cholil. Terlebih, di dalam buku ini terdapat terjemahan lengkap kitab berbahasa Arab yang dikarang oleh Syaichona Cholil Bangkalan. As-silâh fî Bayân an-Nikâh dan kitab Al-matnu Syârif.

Mbah Cholil adalah kreator intelektual. Karakternya yang penuh kezuhudan akan menjadi sosok model yang perlu digugu dan ditiru. Namun, cerita sejarahnya jarang sekali orang tahu, Syaichona Cholil Bangkalan sendiri adalah sosok yang penuh dengan ke-tawadu’-an. Saat KH Hasyim Asy’ari meminta restu, kalimat yang disampaikan kepada Mbah Hasyim As’ari oleh dua tokoh besar tersebut hampir sama: ”Laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlussunnah wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“. Begitulah sosok Mbah Cholil, begitu rendah hati.

Buku ini berjudul ”Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan”, sebuah biografi yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bakhri tentang seorang mahaguru yang sangat dihormati oleh masyarakat Muslim Indonesia khususnya di kalangan pesantren. Sang tokoh adalah seorang pendidik andal yang oleh penulis buku ini disebut telah mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan, spiritual, sosial, dan keterampilan esoterik ke dalam pola asuh dan pendidikan di pesantrennya.

Kisah-kisah di dalam buku ini kiranya mampu menginspirasi pembaca khususnya para pendidik di negeri ini. Pelajaran-pelajaran hidup yang terangkum di dalam buku ini kiranya akan menambah wawasan dan kekuatan mental kita dalam membangun karakter bangsa dan menciptakan pola pendidikan yang semakin baik lagi. 

Data Buku

Judul Buku: Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan Kisah Perjalanan Hidup Ulama Legendaris KH. Cholil Bangkalan
Penulis : Mokh. Syaiful Bakhri 
Penerbit : Emir (Erlangga Group) 
Cetakan : Agustus, 2015
Tebal : 200 Halaman
Peresensi : Hijrah Ahmad, editor buku