Pustaka

Renungan Remaja: Sosok Dilan dan Al-Fatih

Kam, 13 September 2018 | 01:00 WIB

NR. Tambunan seorang cendekiawan Alumni University of Lille 1, Perancis mengatakan “BANDUNG pun rela ‘mundur’ ke era 1990-an demi sebuah film remaja yang sedang hits saat ini ‘Dilan 1990’.” Menurutnya Film yang diadopsi dari sebuah novel karya Pidi Baiq itu memang didukung oleh walikota Bandung Ridwan Kamil dan didukung oleh masyarakat Bandung karena berlatar belakang Bandung zaman baheula.

Tak heran, film ini pun akhirnya mampu menembus jutaan penonton dalam waktu hanya beberapa hari. Bahkan tak jarang anak-anak muda baik di kota maupun di desa terkena demam Dilan “jangan rindu, ini berat, kamu gak akan kuat, biar aku saja.” 

Yang menarik dari fenomena ini sesunguhnya apa? Jika Publikasi dan dukungan penguasa menjadi faktor yang menyedot masyarakat terutama remaja zaman now untuk berbondong-bondong terhanyut ke dalam diksi romantis yang ditawarkan Dilan. Tentu hal ini akan berdampak pada tiap film-film remaja bertemakan cinta dan romantisme akan selalu mendapatkan sambutan yang meluap dari masyarakat.

Hal ini juga bisa menjadi bukti bahwa karena masyarakat saat ini haus akan imaginasi romantisme di tengah-tengah kesulitan hidup dan kondisi nyata yang melelahkan, ataukah memang selera masyarakat kita pada kisah yang menawarkan cerita dan merefleksikan fakta remaja kekinian. Yang pasti, film-film serumpun makin menyebar luas dan memenuhi beranda kehidupan masyarakat kita.

Inilah fenomena remaja saat ini yang sudah demikian bebas, semakin liar dan jauh dari nilai-nilai agama adalah kondisi yang memang menjadi sebuah kondisi yang menghawatirkan. Industri hiburan di bidang perfilman memiliki andil yang sangat nyata dalam memelihara arus budaya yang saat ini menggerusi pola pergaulan para remaja.

Budaya permisif yang sekuler adalah budaya yang senantiasa dicekokkan ke dalam benak anak-anak muda Indonesia. Sedangkan anak muda adalah merupakan aset masa depan bangsa. Akankah hal ini akan dibiarkan begitu saja? Adakah hasrat kapitalis di sana?

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Mengapa demikian? Segi positif yang bisa diambil adalah remaja merupakan generasi masa depan penerus bangsa yang diharapkan mampu bangkit dan memiliki pemikiran revolusioner, fresh dan keknian. Namun di sisi lain bukankah ini akan menjadikan mereka menjadi remaja yang alay, lebay dan perayu serta mudah dirayu?

Alangkah baiknya jika kita membuka kembali sejarah Islam, misalnya kita menyoroti kondisi remaja di dalam kepemimpinan Islam. Sebut saja Muhammad Al Fatih, yang telah menjadi seorang pemimpin di usianya yang masih belia. Beliau bahkan telah menaklukkan Konstantinopel yang terkenal tak terkalahkan pada saat menginjak usia 21 tahun. Saat itu ia masih berusia 21 tahun telah mencapai prestasi yang amat luar biasa. Adakah kira-kira di zaman sekarang pemuda seusia itu mempunyai pemikiran dan mimpi-mipi besar untuk bangsa dan agamanya?

Manakala Sultan al Fatih menjadi nakhoda kepemimpinan, kaum Muslimin berhasil menguasai Benteng terkuat pada masa itu. Di bawah sistem kepemimpinan Islam dengan metode pendidikan Islam, potensi remaja sebagai aset masa depan dapat dioptimalkan sehingga mampu mencetak pemuda-pemuda berkualitas semisal Muhammad Al-Fatih.

Apa yang terjadi sekarang? Sungguh amat disayangkan, apabila remaja saat ini kurang peka dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemegang estafet kepemimpinan di masa depan. Sangat penting bagi kita untuk dapat membangunkan remaja agar tidak tenggelam dalam propaganda kapitalis dan terjebak dalam budaya yang tidak kurang mendidik.

Masyarakat harus dapat mengeluarkan sikap kritisnya terhadap serangan budaya dan kepentingan kapitalis yang merasuki remaja melalui industri film maupun cara-cara lainnya. Dilan dan Muhammad Al Fatih adalah dua produk pemuda yang berbeda dengan kualitas yang berbeda. Dan kita saat ini tentu saja lebih membutuhkan para pemuda berkapasitas setara dengan Muhammad Al Fatih bahkan lebih lagi untuk dapat melakukan perubahan yang nyata dan membangun peradaban yang mulia.

Tokoh Dilan yang hidup di tahun1990 dia adalah seorang pria, menyukai perempuan yang bernama Milea dan berusaha menaklukan hatinya. Dalam sejarah Islam ada pemuda pemberani yang mempunyai prestasi luar biasa. Siapakah dia? Namanya adalah Muhammad Al Fatih. Jika sosok Dilan membawa kita kepada perasaan salut dan kagum. Apakah yang akan kita rasakan ketika mengetahui kisah hidup Sultan Al Fatih? menangis haru dan bangga?

Perbedaan mendasar diantara Sultan Fatih dan Dilan adalah jika Pada diri al Fatih ia Mempunyai karakter pemimpin yang ditanamkan sejak kecil, Menghafal Al-Quran 30 Juz di ketika masih kecil, Menjadi Khalifah Utsmani ketia usianya 19 Tahun, Menaklukan Byzantium. Sedangkan dalam diri Dilan ia mampu Menaklukan hati wanita di Usia kurang lebih 20 tahun, Suka Meramal, Anggota Geng Motor.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah "Dilan kuat menanggung berat nya rindu, punya genk motor, ia juga bisa meramal pertemuannya dengan Milea. Sedangkan al Fatih? Ia adalah jawaban dari ramalan Rasulullah SAW, mempunyai pasukan yang amat tangguh dan istiqomah berpuasa. Seperti apakah ramalan Rasulullah itu? Dan bagaimana kehebatan Sultan al Fatih hingga ia bisa menaklukkan Konstantinopel?

Penulis buku ini Ahmad Ali Adhim mengatakan bahwa untuk itulah buku sederhana ini dihadirkan, ia berharap melalui buku ini generasi bangsa kita dapat mengambil pelajaran dari kisah dan perjalanan hidup yang amat mulia dari mereka berdua, baik dari sisi positif yang ada pada diri Dilan maupun al Fatih.

Keduanya sama-sama pemuda yang mempunyai keberanian dan patut diapresiasi. Namun sebagai generasi bangsa yang baik, kita harus bisa memilih dan memilah manakah yang cocok untuk kita jadikan tauladan.

Meski terhitung tipis, sebab buku ini hanya berjumlah 144 Hlm, tetapi di dalamnya terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil; mulai dari perjuangan, diplomasi politik, dan strategi Muhammad al Fatih dalam mengumpulkan pasukan, perjuangan dan semangat Dilan melawan kebathilan (guru yang semena-mena).

Penulis buku ini rupanya ingin mengajak generasi milenial untuk menjaga hak dan martabanya sebagai siswa atau mahasiswa, sebagaimana yang disabdakan oleh Ramsey Clark seorang pengacara, aktivis, dan mantan pejabat pemerintah federal Amerika. “Hak bukanlah apa yang diberikan seseorang kepadamu, melainkan apa yang seorangpun tidak bisa ambil darimu.”

Buku ini cocok untuk generasi Millenial, ada semangat jiwa muda di sana, ada juga lika-liku perjuangan cinta yang selalu berkobar. Karya yang ditulis oleh santri di Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta ini menggambarkan kebesaran jiwa al Fatih dengan begitu dramatis. Bacalah ini:

“Setelah menaklukkan Konstantinopel, masuklah Sulatan ke kota besar itu. Ia kemudian mengubah nama Konstantinopel menjadi Islambul yang bermakna (Ibukota Islam). Meski kemudian nama yang dirumuskan oleh al Fatih itu diselewengkan menjadi Istanbul. Ia juga mengubah gereja terbesar di kota itu yang bernama Aya Sophia menjadi masjid setelah pasukannya menunaikan shalat di sana paska kemenangan perangnya. Bagaimana perlakuan atau sifat beliau kepada orang Kristen?

Beliau sama sekali tidak memperlakukan mereka seperti dahulu mereka memperlakukan kaum muslimin. Beliau memberikan kebebasan kepada mereka untuk beribadah dan membiarkan uskup mereka mengatur segala urusan agama mereka. Ketika kaisar Konstantinopel terbunuh dan para pengikutnya ditawan, beliau mempersilahkan pasukan Kaisar Kristen itu agar dimakamkan dengan cara agama mereka, sedikitpun beliau tidak menyuruh agar Kaisar itu dimakamkan dengan cara yang ada dalam Islam.

Seorang Filosof Perancis bernama Voltaire mengatakan “sesungguhnya orang-orang Turki itu tidak pernah memperlakukan kaum Kristen dengan buruk seperti yang kita yakini. Hal yang harus dicermati adalah bahwa tak satupun masyarakat Kristen yang akan mengizinkan kaum Muslimin mempunyai masjid di negerinya. Berbeda dengan bangsa Turki.

Mereka mengizinkan bangsa Yunani yang kalah dalam peperangan itu mempunyai Gereja sendiri. Hal inilah menunjukkan bahwa Sultan Muhammad Al Fatih adalah sosok yang cerdas dan bijaksana ketika memberikan kebebasan kepada kaum Kristen yang kalah itu untuk memilih sendiri uskup mereka. Dan ketika mereka telah memilihnya, Sultan pun menetapkannya dan menyerahkan tongkat keuskupan kepadanya serta mengenakan cincin untuknya.

Hingga sang uskup berseru saat itu dengan mengatakan “aku sungguh malu menerima penghargaan dan penghormatan ini; suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh raja-raja Kristen terhadap uskup-uskup sebelumku.”

Inilah perbedaan prinsip Islam di medan perang dan toleransinya terhadap pemeluk agama lain yang disajikan oleh penulis. Ada banyak surat-surat Dilan yang super romantis, ada banyak juga surat-surat al Fatih yang super diplomatis nun bijaksana. Ada pula nasehat al Fatih untuk para pejabat negara, salah satunya bacalah ini: “Bekerjalah engkau untuk menyebarkan Islam karena itu sesungguhnya itu merupakan kewajiban para penguasa di muka bumi ini. Kedepankankepetingan agama di atas kepentingan lain apapun."

Sebagai seorang guru, saya sangat setuju dengan ungkapan Dilan yang djelaskan lebih renyah oleh penulis dalam buku ini. “Guru itu digugu dan ditiru, kalau dia mengajariku menampar, aku juga akan menampar!" Membaca buku ini, membuat saya menjadi ingin mengulang masa muda, masa yang selalu berapi-api, dimana semangat masih membaja, apa yang kita inginkan harus terealisasi, pesan itu yang saya dapat dalam buku ini. Selamat membaca!

Peresensi adalah Besse Tantri Eka, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Magister Pendidikan Agama Islam, saat ini menjadi salah satu pendidik di sekolah unggulan SD Budi Mulia 2 Yogyakarta.

Identitas buku:
Judul Buku: Dilan & al-Fatih: Pemuda, Keberanian, dan Perjuangan Cinta
Penulis: Ahmad Ali Adhim
Penerbit: Andalusia
Cetakan: Pertama, 2018
ISBN: 978-602-5653-11-7