Sirah Nabawiyah

Keterampilan Rasulullah Menyusun Kata dan Tamsil dalam Dakwah

Ahad, 12 Juni 2022 | 16:30 WIB

Keterampilan Rasulullah Menyusun Kata dan Tamsil dalam Dakwah

Keterampilan Rasulullah Menyusun Kata dan Tamsil dalam Dakwah

Nabi Muhammad saw tidak hanya membawa akhlak mulia, kepemimpinan yang kuat, dan pribadi yang halus, tetapi beliau juga memiliki keterampilan dalam menyusun kata yang ringkas dan jelas sehingga dakwah Nabi Muhammad dapat diterima oleh umat. Tamsil-tamsil atau perumpamaan-perumpamaan yang beliau sampaikan juga turut memberikan perhatian menarik sehingga mudah diterima.


Dalam penjelasan KH Zakky Mubarak (2021), keterampilan Nabi Muhammad merupakan salah satu keistimewaannya. Beliau dikaruniai oleh Allah swt kemampuan untuk menyusun kalimat yang ringkas dan jelas, akan tetapi memiliki jangkauan makna yang luas dan kalimatnya sangat menarik, karunia itu disebut Jawami’ul Kalim.


Nabi Muhammad bila menyampaikan pesan-pesan atau pernyataan kepada para sahabat selalu singkat tetapi sarat dengan makna dan ucapan yang disampaikannya memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga semua orang ingin memperhatikannya.


Setelah memperoleh karunia jawami’ul kalim atau menyusun kalimat yang singkat dan sarat dengan makna itu, Nabi Muhammad sangat pandai dalam menyampaikan perumpamaan-perumpamaan atau tamsil dalam kehidupan, sehingga pesan dan nasihatnya mudah dicerna oleh para pendengar dan pembaca.


Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam kesempatan ini, sabda Nabi yang mengandung tamsil atau perumpamaan. Bahwa kehidupan umat manusia di dunia ini, bagaikan seorang yang lewat jalan (musafir) yang bernaung di bawah pohon.


Betapa senang dan nikmatnya ia bernaung di bawah pohon, pasti akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah tempat tinggalnya. Hidup di dunia ini betapa pun nikmatnya, pasti ia akan kembali ke alam akhirat yang kekal. Kehidupan dunia ini amat singkat, bagaikan orang yang bernaung di bawah pohon saja.


Contoh lain yang diungkap oleh KH Zakky Mubarak ialah ketika Nabi Muhammad mengumpamakan bahwa persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim itu bagaikan tubuh yang satu. Satu sama lain saling tolong menolong dan saling membantu, bila kaki kanan akan terpeleset, kaki kiri segera membantu, bila tangan kanan membawa beban yang berat, tangan kiri segera membantunya.


Dan banyak contoh lain yang dapat dikaji dalam ilmu-ilmu hadits. Perumpamaan orang mukmin yang rajin membaca Al-Qur’an adalah bagaikan buah utrujjah (jeruk) yang aromanya semerbak, bentuknya indah, segar dan menimbulkan selera, sedang rasanya manis dan nikmat.


Perumpamaan orang mukmin yang tidak rajin membaca Al-Qur’an, bagaikan buah kurma, ia tidak memiliki aroma yang indah, namun begitu, rasanya manis menyehatkan. Perumpamaan seorang munafik yang membaca Al-Qur’an, bagaikan raihanah (bunga) yang baunya semerbak mewangi, bentuknya menarik tetapi rasanya pahit getir.


Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah bagaikan buah handzalah (ketimun bongkok) yang bentuknya tidak menarik, tidak memiliki bau yang menyenangkan dan rasanya pahit.


Menurut Kiai Zakky Mubarak, hadits ini mengungkapkan perumpamaan yang sangat menarik, dengan empat macam perumpamaan, tentang manusia yang rajin membaca, mengaji dan mengamalkan Al-Qur’an dan orang-orang yang tidak mau membaca dan mengamalkannya. Atau orang yang rajin membaca Al-Qur’an tetapi hanya untuk pamer, mencari pujian orang lain, sedang ia sendiri tidak mengamalkannya.


Daya tarik Nabi Muhammad dalam dakwah tidak hanya ketika di Makkah, tetapi juga saat di Madinah. Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menjelaskan bahwa kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Yatsrib yang kerap berkonflik karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Dengan teladan akhlak mulianya itu, Nabi Muhammad melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib”. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.


Banyak dari kisah itu yang ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah. Di permukaan mereka memiliki banyak kesamaan dengan kaum Mukmin. Kedua kaum itu sama-sama menganut monoteisme. Keduanya menghormati nabi yang sama. Dan, pada awal kenabian, keduanya beribadah menghadap Yerusalem.


Akibatnya, beberapa orang Yahudi di Madinah menerima Muhammad sebagai nabinya dan masuk Islam. Kitab suci Yahudi menjelaskan ihwal Messiah dan, bagi mereka, Nabi Muhammad-lah manusia yang dijanjikan. Akan tetapi, banyak pula yang menolaknya. Pesan tentang kesetaraan dan persatuan seluruh umat Muslim tanpa memperhatikan etnisitas berbenturan dengan kepercayaan kaum Yahudi sebagai "umat yang terpilih". (Fathoni)