Syariah

Dilema Transaksi Tawarruq pada Lembaga Keuangan Syariah

Kam, 21 Desember 2017 | 08:00 WIB

Dilema Transaksi Tawarruq pada Lembaga Keuangan Syariah

Ilustrasi (Repubika)

Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang telah lalu, bahwa akad tawarruq merupakan akad/transaksi yang dilakukan oleh pihak pertama (pembeli) membeli produk kepada pihak kedua (penjual) secara kredit, lalu dijual kembali oleh pihak pertama kepada pihak ketiga secara kontan. Ulama berbeda pendapat tentang hukum kebolehannya secara fiqih disebabkan karena unsur hiyal atau hilah (rekayasa dagang) di dalamnya yang turut terlibat. Namun, ulama dari kalangan Syafi’iyah masih membolehkan akad tawarruq ini.

(Baca: Mengenal Akad Tawarruq dalam Hukum Islam, Halal atau Haram?)
(Baca: Mengenal Konsep ‘Hilah’, Menyiasati Hukum Fiqih)
Penting diketahui bahwa, kebolehan akad tawarruq menurut kalangan Syafi’iyah tersebut adalah didasari oleh bai’ haqîqî, yaitu jual beli sebenarnya oleh pihak penjual dan pembeli, baik pembeli pertama maupun pembeli ketiga yang disertai dengan unsur saling qabdlu. Persoalannya adalah, bagaimana bila akad tawarruq ini terjadi dengan didasari oleh jual beli yang hanya tercatat dalam “dokumen saja,” namun disertai unsur saling percaya antara pihak pembeli pertama dengan pihak penjual? 

Yang perlu dicatat adalah istilah jual beli yang hanya didasari dengan catatan dokumen saja menurut Fatwa DSN MUI No. 82 Tahun 2011 adalah disebut dengan istilah bai’ hukmî, sehingga unsur penerimaannya juga disebut qabdlu hukmî. Dalam hal ini kita perlu mencermati mekanisme yang disodorkan dalam fatwa tersebut.

Dalam Fatwa DSN MUI No. 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi disebutkan bahwa perdagangan komoditi di bursa, baik yang berbentuk perdagangan serah terima fisik maupun yang berbentuk perdagangan lanjutan, hukumnya boleh dengan memenuhi ketentuan yang diatur dalam fatwa tersebut. Maksud dari perdagangan serah terima fisik adalah perdagangan yang diakhiri dengan adanya unsur serah terima komuditas fisik (‘ain) oleh pembeli. Sementara perdagangan lanjutan adalah yang dilanjutkan dengan penjualan komuditas yang telah dibeli oleh pihak pertama kepada pihak ketiga melalui perantara pihak kedua (penjual). 

Sebuah contoh misalnya, sebuah Lembaga Keuangan Syariah (LKS, Pihak Pertama) membutuhkan liquiditas (keuangan cash) sebesar Rp100 juta rupiah dari Bank Syari’ah (BS, Pihak Kedua) untuk membeli sebuah mobil secara “kredit.” Untuk pembeliannya, LKS mempercayakan kepada BS agar mencarikan mobil tersebut di Pedagang Komuditas (PK, misal Dealer) yang “pasti” menyediakan barangnya. Sampai di sini, selanjutnya BS menyetujui permintaan LKS tersebut dalam bentuk nota/dokumen “wakalah jual beli”. 

Selang 1 atau 2 hari kemudian, BS memberitahukan kepada LKS bahwa harga mobil adalah sebesar Rp150 juta secara “kredit”. Pihak LKS menyetujui harga tersebut dan selanjutnya dilakukan akad jual beli secara dokumen (bai’ hukmî) dengan penerimaan komuditas secara dokumen juga (qabdlu hukmî). Berikutnya, LKS menandatangi sebuah nota agar BS mau menjualkan komuditas yang telah dibelinya tersebut (mobil) ke Pasar Bursa yang dipastikan adanya Konsumen Komuditas (KK, Pihak Ketiga) selaku “pembeli” komuditas (mobil) yang telah dibeli oleh LKS tersebut secara kontan. BS menyetujuinya dan selanjutnya terjadi akad wakalah melalui jalan penandatanganan dokumen perwakilan/samsarah. 

Langkah berikutnya, BS selaku wakil menjualkan mobil tersebut ke Pasar Bursa yang dipastikan adanya KK, dengan penjualan secara kontan. Karena jual beli dilakukan secara kontan, maka harga tentunya lebih rendah dibanding harga kredit. Selanjutnya, BS memberitahu LKS bahwa harga jual mobil adalah 110 Juta rupiah. 

Karena BS berperan selaku samsarah atau selaku wakil dari LKS, maka BS berhak menerima ujrah atau pembagian hasil (murabahah) dari hasil penjualan tersebut. Murabahah diperoleh dari selisih 110 juta dikurangi 100 juta rupiah, dibagi menjadi 2. Dengan demikian, BS berhak menerima pembagian keuntungan sebesar 10 juta rupiah. 

Dengan demikian, liquiditas cash yang diterima LKS adalah sebesar 100 juta rupiah, sementara waktu ia memiliki kewajiban mencicil pembayaran mobil tersebut secara angsuran selama jangka waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan dengan total sebesar 150 juta. 

Demikianlah gambaran mekanisme tawarruq menurut Fatwa DSN No. 82 Tahun 2011 tersebut. Hal yang penting menjadi catatan adalah: 

1. Pihak LKS tidak pernah menerima ain haqîqî, akan tetapi ia menerima ‘ain hukmî.

2. Terjadi mekanisme perwakilan berganda. Di satu sisi pihak BS berperan menjadi wakil dari LKS untuk menjadi pembeli komuditas, di sisi yang lain ia berperan selaku samsarah (makelar) dari komuditasnya LKS untuk dijualkan ke Pasar Bursa kepada Konsumen Komuditas (KK). Mekanisme perwakilan seluruhnya terjadi melalui nota/dokumen. 

3. Pembelian LKS terhadap komuditas (mobil) dilakukan secara kredit, sementara penjualannya dilakukan secara kontan. 

4. BS menjamin “pasti” adanya komuditas yang dibutuhkan oleh LKS tersebut di Pasar Komuditas dan sekaligus “pasti” adanya Konsumen Komuditas (KK). 

Dari kesekian catatan ini, MUI mendasarkan fatwanya dengan salah satu pendapat dari kitab al-Ma’ayir al-Syar’iyah:

التورق ليس صيغة من صيغ الاستثمار أو التمويل، وإنما أجيز للحاجة بشروطها، ولذا على المؤسسات أن لا تقدم على التورق لتوفير السيولة لعملياتها بدلاً من بذل الجهد لتلقي الأموال عن طرق المضاربة أو الوكالة بالاستثمار أو إصدار الصكوك الاستثمارية أو الصناديق الاستثمارية وغيرها، وينبغي حصر استخدامها له لتفادي العجز أو النقص في السيولة لتلبية الحاجة وتجنب خسارة عملائها وتعثر عملياتها

“Tawarruq itu bukan merupakan skema investasi maupun pembiayaan. Tawaruq hanya dibolehkan karena hajat (ada kebutuhan) dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah (LKS) tidak boleh melakukan tawaruq dalam memenuhi kebutuhan likuiditas operasionalnya, untuk menggantikan penerimaan dana melalui produk mudharabah, wakalah untuk investasi, produk reksadana, dan sebagainya. Tawaruq hanya boleh digunakan untuk menutupi kekurangan (kesulitan) likuiditas, menghindari (meminimalisir) kerugian nasabah, dan mengatasi kesulitan operasional LKS.” (Al-Ma’ayiru al-Syar’iyah: 413)

Berdasarkan nukilan ini, seolah-olah, MUI itu menyadari bahwa pada hakikatnya akad tawarruq itu tidak diperbolehkan. Akad tawarruq hanya diperbolehkan karena sisi hajat liquiditas yang sulit didapatkan oleh suatu LKS tanpa melalui proses ini. Pendapat ini nampak jelas sekali, berdasar nukilan dalam Fatwa tersebut yang mendasarkan diri pada pendapat Izzuddin bin Abdu al-Salam dalam kitab Qawa’idu al-Ahkam fi Mashalihi al-Anam: 2/219, yaitu:

ما أدى إلى الحرام فهو حرام

“Segala sesuatu yang menjadi perantara terlaksananya perkara haram, maka haram pula ia.”

Namun, karena faktor mafsadah yang lebih besar yang harus diupayakan penyelesaiannya, yakni berupa liquiditas bagi LKS, maka MUI mendasarkan Fatwanya pada pendapatnya al-Suyuthy yang dinuqil dari kitab al-Asybah wa al-Nadhair: 1/217, yaitu: 

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Menolak mafsadah lebih diutamakan dibanding mengambil kemaslahatan.”

Terkait dengan obyek masyaqqah LKS yang berupa liquiditas sehingga sebuah LKS harus mengupayakan jalan keluarnya, MUI memutuskan fatwanya pada pendapat Ibnu Himam dari kitab Fathul Qadir: 213, yaitu:

كأن يحتاج المديون فيأبى المسئول أن يقرض بل أن يبيع ما يساوي عشرة بخمسة عشر إلى أجل فيشتريه المديون ويبيعه في السوق بعشرة حالة ، ولا بأس في هذا فإن الأجل قابله قسط من الثمن والقرض غير واجب عليه دائما بل هو مندوب

“Seperti orang yang membutuhkan hutangan, namun pihak yang dihutangi enggan memberikan pinjaman, dan bahkan justru menjual kepada orang tersebut barang seharga 10 dengan harga 15 secara kredit, lalu orang tersebut (menerima, lalu) menjual barang tersebut di pasar dengan harga 10 secara tunai, maka [jual beli seperti itu] adalah boleh karena kredit sifatnya adalah berimbal harga, sementara memberi pinjaman hukumnya adalah selamanya tidak wajib melainkan sunnah.”

(Baca:  ‘Syarat Tambahan’ dan Status Hukumnya dalam Fiqih Transaksi) 
(Baca juga: Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah)
Apakah hal sebagaimana tersebut di atas bukan merupakan hiyal yang semata hanya berusaha menghindari riba saja?

Berdasarkan fatwa tersebut, memang MUI seolah sepakat menyadari, bahwa tawarruq memang sejatinya adalah mekanisme untuk menghindari riba saja. Namun, karena hukum menghindar adalah wajib, maka pihak MUI mendasarkan diri pada kaidah fiqhiyah: 

الضرر يدفع بقدر الإمكان

“Menolak bahaya harus diupayakan sedapat mungkin”

Meskipun, mekanisme tawarruq ini dilandasi oleh kebutuhan (hajat) dlarurah, namun pihak BS berhak untuk mengambil ujrah (upah) dari hasil proses jual beli yang diperantainya. Demikian juga, ia berhak mengambil ribhun (laba) melalui akad murabahah antara BS dengan LKS. Keputusan ini didasari oleh pendapat Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughny li Ibni al Qudamah: 6/468, yaitu:

ويجوز التوكيل بجعل وغير جعل فإن النبي صلى الله عليه و سلم وكل أنيسا في إقامة الحد وعروة في شراء شاة وعمرا وأبا رافع في قبول النكاح بغير جعل وكان يبعث عماله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمالة

“Akad taukil (wakalah) adalah boleh dilakukan, baik dengan adanya imbalan atau tidak, karena Nabi SAW suatu ketika pernah mengambil wakil seorang Unais untuk melaksanakan suatu hukuman, dan kepada ‘Urwah untuk membeli seekor kambing, serta kepada Umar dan Abu Rafi’ untuk menerima pernikahan, yang dilaksanakan tanpa adanya imbalan. Nabi juga pernah mengutus para pembantu beliau untuk menarik zakat lalu beliau memberi imbalan mereka.”

Demikianlah isi dari Fatwa DSN MUI No. 82 tahun 2011 tersebut yang ditandatangani oleh Almarhum KH Sahal Mahfudz. Dengan demikian, titik balik persoalan yang memberatkan dari fatwa ini dari sisi turats adalah status qabdlu hukmî dan bai’ hukmî. Demikian juga, keputusan LKS melakukan satu transaksi namun berujung pada dua akad ganda, yang hal ini belum ditemukan dasarnya dalam fatwa tersebut. Sementara waktu, Fatwa tersebut masih berlaku karena faktor hajat liquiditas yang sulit didapatkan oleh LKS yang menjadi dasar pertimbangan utama.

Wallahu a’lam

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Jawa Timur