Taushiyah

Pidato Pengukuhan Guru Besar KH Ma’ruf Amin di UNINUS Bandung

Jum, 7 September 2018 | 06:15 WIB

Ekonomi Syariah sebagai Triger Terwujudnya Era Baru Ekonomi Indonesia

Oleh Prof. DR. KH. Ma’ruf Amin

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته،
الحمد لله رب العالمين، الصلاة والسلام على سيد الأنبياء والمرسلين سيدنا ومولانا محمد، وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم إلى يوم الدين. أما بعد

Yang Terhormat:
— Para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, khususnya menteri.....
— Rektor Universitas Islam Nusantara (Uninus);
— Para Guru Besar anggota Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Nusantara (Uninus);
— Para undangan dan segenap civitas akademika Universitas Islam Nusantara, bapak-bapak dan ibu, hadirin sekalian yang kami hormati.

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya. Amin.

Hadirin dan Hadirat yang Berbahagia

Ekonomi syariah hadir secara resmi di Indonesia pada awal tahun 1990-an, yaitu bermula ketika didirikan bank Muamalat, lembaga keuangan syariah pertama di Indonesia. Terhitung lebih belakangan dibandingkan dengan negara-negara muslim lain yang lebih dulu mengembangkan ekonomi syariah. Moment tersebut sangat bersejarah bagi umat Islam di Indonesia yang sudah sekian lama mempunyai cita-cita berdirinya lembaga keuangan yang operasionalnya sesuai dengan prinsip ajaran Islam.

Di awal masa berdirinya Bank Muamalat, keberadaannya belum mendapat posisi yang layak di tengah industri perbankan nasional. Hal itu di antaranya disebabkan oleh belum adanya cantolan peraturan perundang-undangan yang kuat. Saat itu, landasan hukum operasional bank syariah hanya disebut “sambil lalu” dalam UU No 7 tahun 1992 sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”. Tanpa ada rincian landasan hukum syariah dan jenis-jenis usaha yang diperbolehkan serta aturan teknis lainnya.

Kondisinya sedikit lebih baik ketika datang era reformasi. Tepatnya ketika diberlakukannya Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah". Undang-undang tersebut sudah memuat landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank umum syariah.

Munculnya bank syariah yang ditopang oleh peraturan perundang-undangan yang kokoh membawa dampak berantai pada lahirnya lembaga keuangan syariah non bank, misalnya asuransi, pasar modal, reksadana, dan lembaga keuangan dan bisnis syariah lainnya. Keberadaan lembaga keuangan syariah, baik bank maupun non bank, semakin berkembang setelah adanya bebarapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur. Misalnya UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya.

Setelah lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebijakan terkait ekonomi syariah semakin terkonsolidasi, karena kebijakan yang awalnya berada di beberapa lembaga yang berbeda ditarik menjadi satu atap di OJK. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia diharapkan akan mengalami percepatan terutama setelah lahirnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang ketuanya langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Hadirin dan Hadirat yang Berbahagia,
Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki persamaan. Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu terutama menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, lingkungan kerja, dan mekanisme penghitungan keuntungan atau bagi hasil.

Dalam hal aspek legal, transaksi di bank syariah didasarkan atas prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam hal struktur organisasi, bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Namun, unsur yang amat membedakan antara keduanya adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) di dalam bank syariah. DPS bertugas mengawasi operasional bank syariah dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS biasanya diposisikan setingkat dengan Dewan Komisaris.

Bank syariah juga harus memperhatikan bisnis dan usaha yang harus dibiayainya. Harus dipastikan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yang tercermin dari terbebasnya dari maysir, gharar, riba, dhulm, dsb. Bank syariah juga harus memperhatikan lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal etika, misalnya, sifat amanah dan shiddiq harus menjadi landasan setiap karyawan, BoD dan BoC bank. Sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan ajaran Islam. Demikian pula dalam hal reward and punishment (imbalan dan sangsi), diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.

Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keungan yang membawa nama Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga. Selain itu, bank syariah juga memiliki kekhasan dalam hal penghitungan keuntungan. Melalui produk dan akad tertentu penentuan keuntungan tidak dilakukan dengan flat atau konstan, tapi fluktuatif karena penghitungan keuntungannya memakai prinsip bagi hasil.

Bank syariah sebagai salah satu pilar Ekonomi Syariah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktifitas umat Islam. Hal itu disebabkan karena ajaran Islam tidak hanya terkait dengan akidah dan ibadah, tapi juga erat kaitannya dengan mu’amalah. Dalam tataran implementatif, bank syariah bukan saja perundang-undangan saja, tapi juga harus patuh pada prinsip syariah. Aktifitas bank syariah yang dalam perspektif peraturan perundangan dinilai tidak melanggar, tapi jika menyalahi prinsip syariah, maka aktifitas ekonomi tersebut tetap dianggap tidak sah dan melanggar hukum. Sebaliknya, aktifitas bank yang secara hukum syariah sudah tidak ada masalah harus tunduk pula pada peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, bank syariah memerlukan adanya sinergi antara peraturan perundangan dan prinsip-prinsip syariah. Aktivitas bank syariah harus patuh dan tunduk pada dua hal sekaligus, yakni prinsip ekonomi dan prinsip syariah.

Bapak dan Ibu yang berbahagia,
Lokomotif penggerak ekonomi syariah antara lain adalah lembaga keuangan syariah, baik bank ataupun non bank. Ajaran agama menyebutkan bahwa lembaga keuangan syariah setidaknya harus mempunyai peran-peran sebagai berikut:

Pertama, sebagai lembaga intermediasi ekonomi yang memudahkan para pihak pelaku ekonomi, khususnya pelaku ekonomi kecil (khidmah ijtima’iyah litaysiri al-mudtharrin wal-muhtajin). Lembaga keuangan syariah mempertemu-kan antara pemilik modal (shahibul mal) yang tidak mampu atau tidak sempat untuk mengelola dananya dan pihak pengelola dana yang kekurangan modal (mudharib). Alasannya sebagaimana disinggung kitab I’anatut Thalibin:

لان صاحب المال، قد لا يحسن التصرف، ومن لا مال له يحسنه، فيحتاج الاول إلى الاستعمال، والثاني إلى العمل.

“karena pemilik modal bisa jadi tidak baik dalam mengelola dananya, sedangkan orang yang tidak punya modal lebih baik. Maka pihak pertama (pemilik modal) butuh untuk mengelola, dan pihak kedua (pengelola) butuh pekerjaan”.

Untuk menjembatani pihak yang saling memerlukan tersebut, perlu ada lembaga yang memfasilitasi transaksi keduanya. Lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah, menjembatani antar-kedua belah pihak tersebut.

Pada masa lalu mungkin belum dibutuhkan adanya lembaga keuangan sebagaimana di dunia modern saat ini. Aktivitas ekonomi cukup dilakukan dengan adanya hubungan antara satu pihak dengan lainnya, tapi saat ini hal itu sulit untuk dilakukan. Terutama terkait dengan keamanaan modal dari shahibul mal. Perlu ada jaminan keamanan bagi shahibul mal untuk memproteksi modalnya dari kemungkinan ketidakjujuran mudharib. Karena itu kehadiran lembaga keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi antar kedua belah pihak sangatlah diperlukan.

Keberadaan lembaga keuangan juga dirasa penting oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi ekonomi, misalnya penjual dan pembeli komoditi. Karenanya perlu ada pasar, di mana kedua belah pihak yang saling membutuhkan tersebut bisa melakukan transaksinya. Dalam hal ini syariah melarang adanya perantara yang tidak diperlukan kehadirannya, karena akan menambah cost harga komoditi. Walaupun syariah membolehkan fee untuk perantara (ujratu at-taswiq) tapi tidak boleh kalau tidak diperlukan, sebagai upaya untuk menghindarkan adanya penambahan cost (talaqqi rukban).

Kedua, membebaskan umat dari transaksi ribawi. Umat Islam semakin sadar bahwa sistem ekonomi kapitalis yang selama ini menjadi sistem ekonomi global cenderung membawa ketidakadilan. Hal ini mendorong kesadaran umat Islam untuk menerapkan ajaran agamanya terutama dalam bidang ekonomi.Sistem ekonomi kapitalis yang salah satunya bertumpu pada sistem bunga semakin menunjukkan dampak negatif dengan munculnya ketidakadilan ekonomi dan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sistem bunga dinilai sama dengan sistem ekonomi ribawi yang berkembang pada zaman Jahiliyah, yang kemudian ketika Islam datang dikoreksi secara mendasar, sebagaimana disampaikan al-Jasshash: fa abthalahullahu waharramahu, (kemudian Allah membatalkan dan mengharamkan praktik ekonomi ribawi tersebut).

Sistem ekonomi kapitalis memang telah menjadi sistem ekonomi global, di mana setiap negara tidak bisa menghindar daripadanya.Namun setelah terbukti dampak negatif yang ditimbulkan dari sistem ekonomi kapitalis tersebut, para ahli ekonomi melakukan upaya-upaya untuk merumuskan sistem ekonomi alternatif yang bisa mengkoreksi dampak buruk sistem ekonomi kapitalis tersebut. Sistem ekonomi syariah yang bebas riba/bunga dinilai layak untuk menjadi sistem ekonomi alternatif menggantikan sistem ekonomi kapitalis.

Ketiga, memberdayakan ekonomi umat. Sistem ekonomi syariah sangat mungkin untuk memberdayakan masyarakat karena system ekonomi syariah tidak menganut sistem “biaya dana” dan tidak boleh memberikan beban kepada hal-hal yang menyangkut opportunity lose (al-furshah ad-dhai’ah). Ekonomi syariah memakai sistem bagi hasil atau jual-beli, sehingga tidak ada beban bagi nasabah pengguna dana.

Ajaran agama juga menggariskan bahwa ekonomi syariah harus memberikan kelonggaran bagi pihak-pihak yang kesulitan. Bagi mereka yang mengalami kesulitan maka dianjurkan untuk memberikan kelonggaran melalui rescheduling atau restrukturisasi.

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 280).

Namun memang untuk merealisasi ajaran agama tersebut tidaklah mudah. Di antara masalah yang masih dihadapi lembaga keuangan syariah, terutama bank syariah ialah belum mampu memberikan bantuan modal tanpa bagi hasil secara optimal melalui al-qardhu al-hasan, karena dana-dana sosial yang terdiri dari Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) masih sangat kecil.

Masalah lain yang juga dihadapi lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah ialah masih belum mampu memberikan pembiayaan tanpa jaminan, karena harus menjaga dana shahibul mal dari wanprestasi dari nasabah. Alasannya karena dana pinjaman tersebut bukanlah milik bank, tapi milik pihak ketiga yang harus dipertanggungjawabkan. Untuk menjembatani hal ini, perlu diperbanyak al-qordhu al-hasan, sehingga mampu secara nyata membantu pemberdayaan ekonomi umat di lapisan ekonomi kecil.

Bapak dan Ibu yang berbahagia,
Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Jumlah umat Islam Indonesia yang demikian besar menjadi market ekonomi syariah yang sangat menjanjikan. Memang ada sejumlah kendala sehingga pertumbuhan ekonomi syariah, baik lembaga maupun permodalannya, masih terbilang lamban. Kendala kepercayaan, misalnya, menjadi persoalan tersendiri.

Umat Islam Indonesia masih banyak yang belum memahami perbedaan mendasar antara lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional. Walaupun harus diakui, kendala kepercayaan ini juga ada andilnya dari lembaga keuangan syariah yang nakal, yang belum secara paripurna menerapkan prinsip syariah di dalamnya. Oleh karenanya, masih sangat diperlukan langkah-langkah penyadaran dan sosialisasi baik terhadap masyarakat luas maupun para pelaku ekonomi syariah sendiri.

Kendala lainnya adalah masih belum kompetitifnya lembaga keuangan syariah dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Kemudahan yang diberikan lembaga keuangan konvensional masih belum tertandingi oleh lembaga keuangan syariah. Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bersama untuk semakin meningkatkan fasilitas dan kemudahan yang diberikan LKS agar lebih kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.

Kendala lainnya adalah belum tersedianya sumber daya manusia yang mumpuni, yang bukan hanya terampil dan cakap terhadap teknis ekonomi tapi juga menguasai dan memahami prinsip-prinsip normative ekonomi syariah. Dalam hal ini peran perguruan tinggi dan universitas sangat penting untuk memenuhi kekurangan SDM dimaksud.

Di samping itu, ada pula kendala yang terkait dengan peraturan perundangan, terutama terkait dengan aturan tentang pajak ganda pada transaksi syariah, dan aturan tentang instrumen keuangan lainnya, misalnya sukuk, dan lain sebagainya. Peraturan perundangan yang ada dinilai belum memberikan keberpihakan dalam menciptakan iklim berinvestasi yang menguntungkan dalam sektor keuangan syariah. Alhamdulillah, kendala peraturan perundangan ini semakin bisa diminimalisir seiring dengan mulai tumbuhnya kesungguhan dari pemerintah untuk memberikan fasilitas yang sama bagi tumbuh-kembangnya ekonomi syariah.

Namun demikian, di luar kendala-kendala tersebut, Indonesia tetap saja menjadi pasar yang sangat potensial bagi bisnis ekonomi syariah. Hal tersebut rupanya dapat dimanfaatkan secara baik oleh Singapura dan Malaysia. Kedua negeri jiran tersebut memberikan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat Indonesia untuk menggunakan fasilitas lembaga keuangan syariah yang ada di negaranya masing-masing. Kebijakan yang dilakukan oleh dua negara tetangga tersebut dilandasi oleh kesadaran bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk ekspansi bisnis ekonomi syariah. Dalam hal ini pemerintah kita dinilai ketinggalan daripada dua negara tetangga tersebut.

Namun saat ini pemerintah Indonesia mulai menunjukkan kebijakan yang jelas terkait dengan pengembangan ekonomi syariah. Pemerintah telah mulai mencanangkan perlunya percepatan pertumbuhan dan perkembangan dalam sektor ini. Pemerintah juga intensif membenahi beberapa peraturan perundangan yang dinilai menjadi faktor penghambat kebijakan percepatan tersebut. Terakhir dengan hadirnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) diharapkan dapat menjadi era baru dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. KNKS yang langsung diketuai oleh Presiden Joko Widodo diharapkan dapat mengurai hambatan kebijakan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Jakarta sebagai Pusat Keuangan Syariah Dunia.

Tentu saja hal-hal terkait dengan pencapaian pencanangan tersebut, baik terkait dengan peraturan ataupun kebijakan lainnya, saat ini sedang dilakukan pembenahan-pembenahan. Bukan hanya sektor keuangan syariah saja yang dilakukan pembenahan, tapi juga sektor bisnis dan wisata syariah.

Apabila komitmen pemerintah ini dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia dapat menjadi pasar ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah, karena selain Indonesia menjadi potensial market karena jumlah penduduknya yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi (economic benefit) bagi para pelakunya.

Bapak dan Ibu yang terhormat,
Tren global menunjukkan bahwa ekonomi syariah dapat menjadi sistem alternatif dalam mengembangkan ekonomi. Tren ini terbukti bahwa saat krisis moneter lembaga keuangan yang memakai sistem syariah tidak banyak terkena pengaruh krisis tersebut. Karenanya, sangat tepat jika Indonesia juga mengakomodir sistem ekonomi syariah sebagai salah satu penyangga sistem perekonomian nasional, sehingga di Indonesia berlaku dual economic system. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi faktor kekuatan bagi laju pertumbuhan ekonomi syariah di negeri ini. Dengan begitu Indonesia menjadi potensial market bagi bisnis di bidang ini.

Namun demikian harus disadari bahwa ekonomi syariah bukan hanya berpaku pada sistem ekonomi saja tapi juga harus mendasarkannya pada prinsip-prinsip syariah. Oleh karenanya, setiap regulasi, aktifitas bisnis, instrumen bisnis dan hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas ekonomi syariah harus memperhatikan dua hal tersebut, yakni prinsip-prinsip ekonomi dan prinsip-prinsip syariah. Demikian dan terima kasih.

Bandung, 6 September 2018


Prof. DR. KH. Ma’ruf Amin