Tokoh

KH Hasyim Padangan, Ulama Ahli Nahwu Guru Masyayikh NU

Ahad, 13 Maret 2022 | 12:00 WIB

KH Hasyim Padangan, Ulama Ahli Nahwu Guru Masyayikh NU

KH Hasyim Padangan, Ulama Ahli Nahwu Guru Masyayikh NU

Selain dikenal sebagai ulama spesialis ilmu nahwu sharaf, KH Hasyim Padangan adalah guru dari banyak ulama besar. Salah satu santrinya adalah KH Baidlowi Lasem. Namanya juga masyhur sebagai Syekh Muhammad Hasyim Al Fadangi. Seorang ulama kharismatik yang juga penulis, penerjemah, mufasir, hingga syaikhusyaikh (guru besar para guru) ulama-ulama besar tanah Jawa.

 

KH Hasyim Padangan tak hanya intelek dalam dunia literatur, tetapi juga ulama yang waliyyun minauliyaillah. Berkah kealimannya, banyak orang bisa baca kitab gundul (kitab kuning tanpa harokat) dan kitab gandul (kitab makna Pegon miring).

 

Dalam penutup kitab Tashrifan Padangan yang diterbitkan Maktabah Ahmad Nabhan Surabaya, bertarikh 1388 H (1968 M), tercatat sejumlah karya Mbah Hasyim Padangan, mulai terjemah Imrithi, terjemah Alfiyah Ibnu Malik, hingga terjemah Nadham Maqsud. Sayangnya, tak semua karyanya terdokumentasi dengan baik. Saat ini, hanya Tasrifan Padangan yang masih bisa dijumpai.

 

K.M. Arifin Mustagfiri (Mbah Pin), pengasuh Darul Ilm Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, sekaligus kiai saya, pernah bercerita pada saya, nama Syekh Hasyim Al Fadangi sering diperbincangkan di kalangan intelektual Timur Tengah. Karena kitab-kitabnya sering dibahas dan didiskusikan di sana.

 

Ia juga bercerita bahwa dulu ada dua ulama Nusantara yang masyhur di Timur Tengah, berkat kitab nahwu-sharaf yang mereka tulis, yaitu Syekh Hasyim Al Fadangi (1850-1942), pengarang Tashrifan Padangan; dan Syekh Maksum bin Ali (1887-1933), pengarang Tashrifan Jombang.

 

Kata Mbah Pin, di kalangan pesantren, ada dua poros kitab klasik nahwu-sharaf paling populer di Indonesia pada abad 20. Yakni kitab Tashrifan Jombang karya Mbah Maksum bin Ali (menantu KH Hasyim Asy'ari) dan Tashrifan Padangan karya KH Hasyim Padangan.

 

Selain dikenal karena Tashrifan Padangan dan sejumlah karya kitab klasik, Mbah Hasyim Padangan masyhur karena memiliki banyak santri yang kelak jadi ulama besar. Tak terkecuali para muasis NU di wilayah Padangan, Bojonegoro.

 

Di antara santri-santrinya yang cukup terkenal adalah KH Baidlowi Lasem, KH Bisri Mustofa (ayah Gus Mus), KH Usman Cepu, KH Ahmad Bisri Mbaru, KH Abdul Hadi Padangan, dan hampir semua Muasis NU Padangan Bojonegoro kala itu.

 

Pendidikan dan Sanad Ilmu

Dalam buku Lahirnya NU Bojonegoro dan Hikayat Padangan Kota Cahaya (2020), dijelaskan bahwa Syekh Hasyim Al Fadangi atau KH Hasyim Padangan (1850-1942) lahir di Desa Ngasinan Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.

 

Ia lahir di Desa Ngasinan yang masyhur sebagai markas Pasukan Diponegoro Divisi Malang Negoro pada Perang Jawa (1825-1830). Di Kecamatan Padangan, ada dua kawasan yang dikenal sebagai kawasan Islam sepuh. Selain Desa Kuncen, adalah Desa Ngasinan.

 

Kiai Furqon Azmi, peneliti di Sarkub Institute mengatakan, Mbah Hasyim Padangan menuntut ilmu pada seorang waliyullah bernama Sayyid Abdurrahman Hasyim Basyaiban, yang makamnya berada di maqbarah Purworejo, Padangan sebelah selatan.

 

Meski tak banyak dibahas, dan masih belum banyak yang mengetahuinya, Sayyid Abdurrahman Hasyim Basyaiban adalah sosok yang kelak sangat berperan pada kealiman dan kiprah KH Hasyim Padangan di dunia syiar Islam.

 

Mbah Hasyim juga pernah menuntut ilmu di tanah Haramain pada ulama-ulama besar pada zamannya. Tak berhenti di sana, Mbah Hasyim masih memperdalam ilmu ke Pulau Madura. Mbah Hasyim belajar secara langsung pada KH Kholil Bangkalan.

 

Pasca menuntut ilmu pada Mbah Kholil, Mbah Hasyim baru mendirikan Pondok Pesantren yang berada di Dusun Jalakan, Desa Padangan, Bojonegoro. Di tempat itu pula, santri dari berbagai daerah mulai berdatangan. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Mbah Hasyim Jalakan Padangan.

 

Pendiri NU Padangan, NU Cepu, dan NU Bojonegoro  

Selain menulis banyak kitab dan melahirkan banyak ulama besar, dalam dunia organisasi, kiprah terpenting Mbah Hasyim Padangan adalah mendirikan sejumlah pengurus cabang (PC) NU lintas kota dan provinsi. Yakni NU Padangan, NU Cepu (Kabupaten Blora, Jawa Tengah), sekaligus NU Bojonegoro.

 

Dalam buku NU Bojonegoro dalam Lintasan Sejarah (2008) karya Dr. Anas Yusuf, dijelaskan bahwa Mbah Hasyim Padangan adalah sosok yang sering disowani sekaligus ditabaruki dan diistifadahi (dicari berkah dan faedahnya, red) oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, saat awal masa pendirian NU.

 

KH Wahab Chasbullah adalah teman satu angkatan KH Usman Cepu, yang tak lain adalah menantu dari Mbah Hasyim Padangan. Selain karena ayah mertua dari sahabat karibnya, kedatangan KH Wahab Chasbullah pada Mbah Hasyim juga untuk ngalap berkah pada beliau.

 

Pasca disowani Mbah Wahab Chasbullah itulah, Mbah Hasyim Padangan langsung mengumpulkan murid-murid dan anak-anaknya seperti KH Marwan Kuncen, KH Masjkur Kuncen, KH Ahmad Bisri Mbaru, dan KH Hakam Hasyim untuk merintis keberadaan NU Padangan pada 1938.

 

Mbah Hasyim Padangan juga langsung memerintahkan menantunya, yakni KH Usman Cepu, untuk berdakwah dan mendirikan Pondok Pesantren Assalam Cepu (kelak menjadi pesantren pertama di Kota Cepu) yang juga jadi cikal bakal tempat deklarasi NU Cepu pada 1938.

 

Tak hanya itu, Mbah Hasyim Padangan juga memerintahkan anaknya yang lain, yakni KH Sholeh Hasyim, untuk berdakwah dan membangun jalan berdirinya NU di Kota Bojonegoro pada 1940-an. Meski, NU Bojonegoro baru lahir secara resmi pada 1953, saat KH Sholeh Hasyim sudah wafat.

  

Guru dari Mbah Baidlowi Lasem

Di antara santri Mbah Hasyim Padangan, yang paling terkenal tentu saja KH Baidlowi Lasem (1880-1970). Ayah dari KH Hamid Baidlowi tersebut, adalah santri Mbah Hasyim Padangan yang kelak jadi ulama besar di Makkah dan masyhur sebagai waliyullah Lasem.

 

Hampir di semua literatur tentang manakib KH Baidlowi Lasem, selalu menyebut nama KH Hasyim Padangan sebagai salah seorang gurunya. Mbah Baidlowi memiliki tiga guru (dari kalangan Ulama Nusantara) yang sangat mempengaruhi kealimannya. Yakni, Kiai Hasyim Padangan Bojonegoro, Kiai Umar Harun Sarang, dan Kiai Idris Jamsaren Solo.

 

Setelah belajar dari 3 ulama besar itu, Mbah Baidlowi melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Haramain dan menjadi ulama besar di Tanah Haramain. Saat pulang ke Tanah Air, Mbah Baidlowi juga jadi guru dari ulama-ulama besar seperti KH Maimoen Zubair, KH Bisri Mustofa, KH Abdullah Faqih Langitan, hingga Abuya Dimyati Banten.

 

Pernah saat pengajian umum di Cepu, Syaikhina Maimoen Zubair berkata bahwa daerah di sebelah timur Kota Cepu (maksudnya Padangan), adalah lemah sepuh (tanah tua) yang pernah ditempati ulama besar ahli nahwu sharaf, yakni KH Hasyim Padangan yang tak lain adalah guru dari guru Mbah Moen (yakni Mbah Baidlowi).

 

Ini pula alasan kenapa Syaikhina Maimoen Zubair sangat menghormati Mbah Hasyim Padangan. Sampai saat ini, santri Sarang masih sering ziarah ke makam Mbah Hasyim Padangan. Bahkan dzuriyah Mbah Moen juga masih sering mengisi rutinan di Padangan, sebagai giat menjalin silaturahim.

 

Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"