Tokoh

KH Muhammad Djunaidi, Ayahanda Mahbub Djunaidi

Kam, 25 Juni 2020 | 05:30 WIB

KH Muhammad Djunaidi, Ayahanda Mahbub Djunaidi

Kiai Haji Moehammad Djoenaidi. (Foto: dok. istimewa)

Siapa yang tidak kenal dengan Mahbub Djunaidi? Tokoh NU, Ketua Umum PMII periode pertama, penulis dan kolumnis ternama, dan sejumlah predikat keren lain yang melekat pada Mahbub, sehingga membuat namanya tetap dikenang dan digandrungi oleh banyak kalangan, meski ia sudah berpulang kepada-Nya, 25 tahun silam.

 

Termasuk di antaranya penulis, merupakan salah satu pengagum dari karya dan tentu kisah hidup Mahbub, yang sarat akan perjuangan. Berawal dari membaca karya-karya Mahbub, membawa saya untuk menuliskan riwayat singkatnya.


Di balik kesuksesan Mahbub tersebut, tentu ada peran serta keluarga dan guru yang membimbingnya. Layaknya peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, karakter dan kecerdasan yang dimiliki Mahbub juga tak lepas dari karakter dan teladan yang diberikan oleh sang ayah, Kiai Haji Moehammad Djoenaidi (baca: Muhammad Djunaidi). Kiai Djunaidi merupakan satu dari sekian banyak tokoh Betawi yang ikut berjuang dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU).


Muhammad Djunaidi merupakan putra dari Kiai Abdul Azis (Kwitang) bin Sainan. Ibunya bernama Hj. Hasnah binti H. Dahlan bin H. Alwi. Ketiganya (Hj Hasnah, H. Dahlan, dan H. Alwi) dimakamkan di Cilenggang Serpong. “Di belakang PTP XII, ada bukit. Di atas bukit di situ ada makam dikelilingi tembok,” terang Fadlan Djunaidi, salah satu putra Kiai Djunaidi.


Pada tahun yang sama dengan kematian sang kakek buyut dari ibu (H. Alwi), tahun 1906, Muhammad Djunaidi lahir. Tepatnya pada tanggal 2 Februari 1906. Djunaidi kecil tumbuh dalam lingkungan yang religius, yakni di daerah Kwitang Jakarta, di mana terdapat banyak ulama saat itu antara lain yang masyhur, yakni Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang).


Semasa remaja, Djunaidi mengenyam pendidikan di Madrasah Jamiat Kheir, sebuah sekolah Islam modern pertama di Betawi. Peneliti sejarah, Alwi Alatas, menerangkan model pendidikan di sekolah Jamiat Kheir waktu itu sudah mirip sekolah umum seperti sekarang, hanya muatan utamanya adalah ilmu-ilmu agama atau keislaman. Selepas belajar di Jamiat Kheir, Djunaidi melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang atas.


Semasa hidupnya, Djunaidi merupakan potret seorang anak yang sangat hormat dan berbakti kepada orang tua. Meskipun ia seorang pejabat dan ulama, ia tetap meminta pendapat orang tuanya mengenai khutbah yang akan disampaikan kepada umat. Ibunya duduk dan ia bersila di depan ibunya, sembari membacakan naskah khutbah yang akan ia sampakan. Pun ketika hendak berangkat, Ia tidak akan meninggalkan rumahnya sebelum mencium tangan ibunya.


Karier dan Perjuangan


Djunaidi muda kemudian mulai menapaki karirnya sebagai penghulu, kemudian di Shumubu (Kantor Departemen Agama di masa pendudukan Jepang) dan berlanjut pada saat Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama di bawah pimpinan KH. M. Rasjid. Kiai Djunaidi masuk di bagian Mahkamah Islam Tinggi, yang diketuai Prof. KH. R. Moh. Adnan dari Surakarta.


Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda, dengan alasan keamanan dan sesuai Keputusan Presiden, mulai tanggal 1 Januari 1946 kantor Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang sebelumnya berada di Jakarta dipindahkan ke Surakarta di bawah pimpinan H. Moh. Djunaidi, yang ketika itu menjabat sebagai panitera pengganti.


Alhasil, ketika hijrah ke Surakarta, Kiai Djunaidi mengemban amanah sebagai panitera MIT sekaligus pimpinan Bagian B (hukum) Kementerian Agama, yang membawahi 4 seksi, yakni Urusan Jawatan Agama Daerah, Urusan Penghulu, Urusan Hakim Agama, dan Urusan Wakaf. Pada perkembangannya, saat dipimpin Kiai Djunaidi, Bagian B (hukum) tersebut berganti menjadi Biro Peradilan Agama.


Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, situasi perang saat Belanda melancarkan agresi militer dan beraneka macam perjanjian yang mengiringinya, mengakibatkan Kiai Djunaidi bersama keluarganya, keluar dari Jakarta untuk pindah ke Solo. Di Solo, Kiai Djunaidi tinggal di daerah Kauman, tak jauh dari kompleks Masjid Agung Surakarta.


Di tempat tinggalnya yang baru ini, keluarga Mahbub menempati sebuah pendopo. Meski luas, namun tidak ada perabot yang tersedia. “Berhubung pemerintah sendiri masih repot, urusan rumah bukan menjadi perhatiannya,” kata Kiai Djunaidi memberi pengertian kepada keluarganya.


Sementara itu, putranya yang pertama, Mahbub, yang kala itu berusia sekitar 13 tahun, sempat dimasukkan ke sekolah partikelir Muhammadiyah. Namun, belum genap sebulan ia pindah lagi ke SDN No. 27 Kauman, yang terletak di sebelah utara Masjid Agung dan tak jauh dari rumah keluarga Mahbub saat tinggal di Kota Bengawan. Selain bersekolah di SDN Kauman, di waktu siang hingga menjelang maghrib, Mahbub juga menimba ilmu di salah satu sekolah agama yang termasyhur di Kota Solo, Madrasah Mamba’ul Ulum.


Selain Mahbub, putra-putri Kiai Djunaidi yang lainnya dari istri yang pertama, Hj. Muhsinati (wafat tak berselang lama setelah kembali lagi ke Jakarta, pen) yakni Muhibbah, Masfufah, Masrofah, Mussofah, Masykur, dan Muyasarah. Sedangkan daari istrinya yang kedua, Hj. Nurmalih, Mahbub dikaruniai 5 orang anak, yakni Fathurrahman, Fauziah, Fu’ad, Fadlan, dan Farhatin. Usai perang berakhir, Kiai Djunaidi dan keluarganya kembali ke Jakarta.


Di Jakarta, Kiai Djunaidi juga bergabung bersama pengurus NU Konsul Jakarta, yang dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Seperti yang dikisahkan KH Saifuddin Zuhri di buku Berangkat Dari Pesantren. Kala itu Kiai Saifuddin mendapat tugas dari PBNU yang masih berpusat di Surabaya, untuk menghubungi sejumlah pengurus NU di berbagai daerah. Ia pun berkunjung ke Majelis Konsul (kini disebut pengurus wilayah) NU Jakarta dan sempat singgah di rumah Kiai Djunaidi, di Kebon Kacang, Tanah Abang.


“H. Muhammad Djunaidi, sekretaris Majelis Konsul NU Jakarta, membawa aku ke rumahnya di Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk makan malam. Dari sana, dengan kendaraan delman, aku dibawa ke rumah Tuan Zainul Arifin, Konsul NU, terletak di Kampung Bukit Duri Tanjakan Jatinegara. Telah menunggu di sana, kecuali Sohibul bait, KH Shodri, KH Mansur, KH Abdurrozaq, H. Saprin, Ahmad Fathoni, dan lain-lain pengurus Majelis Konsul NU Jakarta,” tutur Kiai Saifuddin.


Pada Pemilu tahun 1955, Kiai Djunaidi terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai NU mewakili daerah pemilihan Djakarta Raya. Sebelum berakhir masa jabatan, ia wafat pada 28 Oktober 1958 dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Karet, Tanah Abang, Jakarta. Jabatannya di DPR RI, digantikan oleh H.A. Mursjidi.


KH Djunaidi sangat peduli dengan aktivitas keagamaan di lingkungannya. Beliau mewakafkan langgar di depan rumahnya (sekarang sudah jadi masjid) di Jalan Kebon Kacang III No. 42 Tanah Abang Jakarta Pusat. Selain itu, beliau juga aktif mengajar dan berdakwah di Masjid Al-Ma’mun Tanah Abang. Lahu al-fatihah!


Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: Fathoni Ahmad

 

Sumber:

1. Abu Bakar Atjeh, Riwayat KH A Wahid Hasyim, 2014, Jombang: Pustaka Tebuireng.

2. Penuturan Fadlan Djunaidi (putra Kiai Djunaidi) dan Isfandiari Mahbub (cucu KH Moh. Djunaidi), 2 Juni 2020

3. Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, 2014, Yogyakarta: LKiS.

4. Mahbub Djunaidi, Dari Hari ke Hari, 2014, Jakarta: Penerbit Surah Sastra Nusantara (terbit pertama kali tahun 1975, sebagai pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta).

5. Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Mutiara yang Tak Terlupakan: Profil dan Pemikiran Tokoh-Tokoh Peradilan Agama di Indonesia, 2012.