Tokoh

KH Muntaha Al-Hafiz, Al-Qur’an Berjalan dari Kaki Gunung Bismo Kalibeber

Sen, 16 Januari 2023 | 18:30 WIB

KH Muntaha Al-Hafiz, Al-Qur’an Berjalan dari Kaki Gunung Bismo Kalibeber

KH Muntaha Al-Hafiz (peci merah) saat bersama Gus Dur. (Foto: Dok. Pribadi)

Letaknya di kaki Gunung Bismo, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah menjadi salah satu destinasi bagi masyarakat yang bercita-cita menjadi penghafal Al-Qur’an. Di sanalah, lahir sosok Al-Qur’an berjalan, yaitu KH Muntaha Al-Hafiz, putra ketiga dari KH Asy’ari bin Kiai Abdurrahim bin Kiai Muntaha bin Nida Muhammad.


Kakek buyutnya itulah yang kali pertama duduk di desa tersebut dengan mendirikan padepokan, sebuah cikal bakal Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah. Pesantren ini pun tumbuh sebagai salah satu pesantren yang mengkhususkan pengajaran bidang Al-Qur’an. Para santri fokus menghafal Al-Qur’an dan belajar ilmu tentang Al-Qur’an.


Untuk menunjang pengajaran itu, Mbah Muntaha, sapaan akrabnya, mendirikan sejumlah sekolah formal. Sebagaimana induknya, sekolah-sekolah tersebut juga fokus dalam pendidikan Al-Qur’an, dari mulai tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

 

Di tingkat menengah, ada Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Takhassus Al-Qur’an, Sekolah Menengah Atas (SMA) Takhassus Al-Qur’an, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Takhassus Al-Qur’an. Sementara untuk perguruan tinggi, ada Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq).


Melalui lembaga-lembaga pendidikan tersebut, termasuk pesantrennya, Mbah Muntaha berupaya untuk menanamkan Al-Qur’an dan nilai-nilai yang dikandungnya itu kepada masyarakat.


Pengembangan pendidikan yang dilakukannya itu tidak lepas dari kecintaannya terhadap Al-Qur’an. Cintanya pada Al-Qur’an ini diakui Mbah Muntaha, turun dari ayahnya, Kiai Asy’ari.

 

Saban rampung shalat, ayahnya selalu membaca dan menghafal Al-Qur’an, meskipun tidak berhasil menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Tak pelak, Mbah Muntaha tegas menyatakan bahwa kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an bukanlah sebab dirinya, tetapi berkat ikhtiar dan perjuangan yang dilakukan mendiang ayahnya tersebut.


“Sebenarnya, hafizhku ini dikarenakan riyadhah bapakku, bukan karena riyadhahku,” demikian kata Mbah Muntaha, sebagaimana dikutip dari buku KH Muntaha al-Hafizh: Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat karya Samsul Munir Amin (2010).


Mbah Muntaha menamatkan hafalan Al-Qur’annya pertama kali kepada Kiai Utsman saat ia mengaji di Pondok Pesantren Kauman Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Tidak cukup kepada satu guru, ia meneruskan pendidikan Al-Qur’annya kepada mahaguru Al-Qur’an Nusantara, yaitu KH Munawwir di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di sana, ia tidak saja mengulang hafalannya, tetapi semakin mendalami keilmuannya dalam bidang Al-Qur’an, seperti ilmu qiraat sab’ah.


Sebagai penghafal Al-Qur’an, Mbah Muntaha selalu menjaga hafalannya tersebut. Waktu-waktu luang tidak pernah dibuangnya sia-sia, karena selalu diisi dengan mendaras firman-firman Allah swt tersebut. Sebab, baginya, di antara zikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an.


Mushaf terbesar

Selain pendidikan Al-Qur’an, karya monumental Mbah Muntaha adalah sebuah mushaf Al-Qur’an raksasa. Ia ingin merealisasikan hajat mbahnya yang pernah menulis Al-Qur’an. Namun, mushaf tersebut hancur karena diobrak-abrik oleh penjajah di zaman revolusi.


Al-Qur’an tersebut berukuran 1x1,5 meter dan ditulis oleh dua santri yang ditunjuk langsung Mbah Muntaha, yaitu Hayatudin sebagai penulis dan Abdul Malik sebagai pembuat ornamen bingkainya. Mushaf ini ditulis sejak tahun 1991 hingga 1994 dan diserahkan kepada Presiden Soeharto.

 

Hal ini sebagaimana ditulis Muniful Ichsan Al Hafizi dan Adelia Intan Ardani dalam Historiografi Al-Qur'an Akbar gagasan KH. Muntaha Al-Hafidz di Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Tahun 1991-1994 dalam jurnal Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities Vol. 03 No. 02 Desember 2022.


Akrab dengan Gus Dur

Mbah Muntaha merupakan salah satu ulama yang memiliki hubungan akrab dengan KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur beberapa kali sowan kepada Mbah Muntaha di Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Dalam sebuah video, tampak Mbah Muntaha menyambut Gus Dur dengan memeluk dan menciuminya. Saat duduk bersama, Mbah Muntaha juga merangkul putra sulung Kiai Wahid Hasyim itu.


Gus Dur mengenal Mbah Muntaha sebagai seorang yang sederhana dan mengutamakan kepentingan umum, serta sosok yang penuh keikhlasan. Mbah Muntaha juga dilihatnya sebagai sosok perwujudan dari tradisi yang sangat besar, yaitu tradisi Arab dan sebelumnya, tradisi keulamaan yang bergerak di luar pemerintahan, dan tradisi untuk tidak menolak unsur-unsur yang baik dari mana pun dan meninggalkan yang buruk dimulai dari diri sendiri. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kata pengantar buku biografi KH Muntaha al-Hafizh: Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat karya Samsul Munir Amin (2010).


Mbah Muntaha wafat pada tanggal 29 Desember 2004. Ia diistirahatkan di Desa Deroduwur, sekitar 8 km dari Desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad