Tokoh

Menelisik Perjalanan Intelektual Syaikhona Kholil

Sab, 1 Januari 2022 | 21:00 WIB

Menelisik Perjalanan Intelektual Syaikhona Kholil

Syaikhona Muhammad Kholil memiliki keteguhan dan pendirian yang kuat, ia tetap nyantri di Keboncandi walau harus tiap hari melakukan perjalanan demi mencari ilmu ke Sidogiri yang sangat jauh.

Setelah tulisan sebelumnya membahas tentang biografi kelahiran dan tanggal wafatnya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, pada tulisan ini penulis hendak menceritakan kisah pengembaraannya ketika mondok di salah satu pesantren di pulau jawa.


Sebelum jejak dan peran Syaikhona Muhammad Kholil dikenal seantero negeri, bahkan sebelum semua kalangan mengakui bahwa perannya dalam melahirkan ulama-ulama dan sumbangsihnya pada Indonesia dan NU tidak dapat diragukan lagi, jauh sebelum itu banyak sekali pengalaman pahit yang dirasakan, rintangan terjal harus beliau jalani, dan berbagai kesedihan harus beliau jalani lewati.


Jika pada awal abad kelima di timur tengah, tepatnya di kota Thus, (masuk dalam wilayah Khurazan, Iran) ada Imam Al-Ghazali sebagai tokoh ulung yang sukses, berasal dari kalangan tidak mampu dan bahkan ketika mencari ilmu selalu mencari sisa-sisa makanan yang sudah dibuang pada tempat sampah, sebagai bekal kekuatan untuk mencari ilmu. Maka Indonesia memiliki Syaikhona Muhammad Kholil yang sejarahnya tidak jauh berbeda dengan Imam Ghazali.


Pahit getir kenyataan yang dialami oleh Syaikhona Kholil sangat luar biasa, akan tetapi keadaan seperti itu tidak lantas menjadikannya hilang semangat dan patah harapan untuk menjadi pengembara ilmu, meski sangat banyak keterbatasan yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, di balik kesuksesannya dalam ilmu dan bahkan juga berhasil mencetak para ulama, ada kepahitan dan derita yang berhasil beliau sulap menjadi kebahagiaan dan kesuksesan.


Syaikhona Muhammad Kholil merupakan salah seorang ulama besar Indonesia yang hidup pada paruh pertama abad ke-20. Di kalangan masyarakat Islam, khususnya Indonesia, beliau dikenal dengan sebutan waliyullah, tokoh spiritual besar.


Jika pada masa awal perkembangan Islam di tanah Jawa banyak dipenuhi peran Walisongo, seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri sebagai tokoh sentralnya, diikuti oleh Sunan Kalijaga di kalangan masyarakat bawah, maka Syaikhona Kholil pengganti perjuangan estafet Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam dengan jarak tiga abad setelahnya.


Perjalanan Intelektual Syaikhona Kholil

Syaikhona Muhammad Kholil pada masa kecil mendapatkan didikan sangat ketat dan telaten dari ayahnya, KH Abdul Lathif. Sejak kecil beliau sudah menunjukkan bakat dan memiliki keistimewaan, kehasusan akan ilmu, terutama ilmu fiqih dan nahwu. Beliau juga telah mampu menghafal nazham Alfiyah Ibnu Malik (1000 bait ilmu nahwu). Bahkan, beliau mampu menghafalkan nazham-nazham tersebut dengan terbalik dari belakang ke depan, dalam bahasa Madura dikenal dengan istilah nyungsang.


Melihat kecerdasan dan kehausan putranya untuk mendapatkan ilmu, kedua orang tuanya memahami dan mengerti akan kehausan putranya pada ilmu fiqih dan nahwu, akhirnya Syaikhona Kholil dititipkan ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu yang diharapkannya.


Dalamnya pemahaman dan analisis Syaikhona Kholil dalam Alfiyah tidak hanya terlihat ketika beliau masih muda, bahkan beliau membawanya sampai tua. Banyak orang yang bertanya tentang fenomena, peristiwa, atau persoalan kehidupan apa pun, bahkan terkait hal-hal yang ghaib, kemudian beliau jawab dengan satu dua bait nazham Alfiyah.


Hal ini dimaksudkan agar yang bertanya bisa berpikir lebih lanjut atau malah mau belajar Alfiyah. Selain itu, beliau merupakan sosok kiai yang sangat memberikan perhatian lebih kepada orang yang mampu menghafal Alfiyah.


Pengembaraan dalam menimba ilmu dimulai sekitar tahun 1850 M. Beliau pernah nyantri kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan Tuban, dilanjutkan nyantri di Pesantren Cangaan, Bangilan, Pasuruan, yang diasuh oleh Kiai Asyik. Setelah dari Pesantren Cangaan, beliau nyantri lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif.


Selama nyantri di Keboncandi, beliau belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih keluarga dari Pondok Sidogiri yang berjarak 7 kilometer. Untuk mendapatkan ilmu, Khalil muda rela melakukan perjalanan yang sangat jauh setiap harinya. Dalam setiap perjalanan menuju pesantren, ia senantiasa menghafalkan surat yasin sehingga khatam berkali-kali. (Jamal Ghafir, Biografi Ulama Aswaja, 56).


Dari tulisan di atas dapat diambil teladan, bahwa Syaikhona Muhammad Kholil memiliki keteguhan dan pendirian yang kuat, ia tetap nyantri di Keboncandi walau harus tiap hari melakukan perjalanan demi mencari ilmu ke Sidogiri yang sangat jauh.


Sebenarnya, bisa saja beliau menetap di Sidogiri, sebab perekonomian orang tuanya cukup mapan untuk memberikan biaya pendidikannya. Kedua orang tuanya bukan saja seorang guru ngaji, tetapi juga seorang petani yang sukses. Akan tetapi, Kholil muda tidak lantas menikmatinya begitu saja. Beliau tidak mau merepotkan kedua orang tuanya. Beliau tetaplah menjadi anak yang mandiri. Oleh karenanya, selama nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri ia tetap tinggal di Pondok Pesantren Keboncandi agar bisa menjadi buruh batik. Dari hasil buruh batik inilah ia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.


Selama nyantri di Sidogiri, sikap rendah hati dan tawadhu’ sangat tampak darinya, hal itu sangat terlihat ketika akan memasuki kompleks pesantren, Syaikhona Kholil senantiasa melepas terompah (sandal)nya karena tawadhu’ kepada penghuni kubur yang berada di samping kompleks masjid Sidogiri. Dari sinilah beliau memiliki prinsip “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”. (Jamal Ghafir: 57).


Dalam perjalanan pencarian ilmu di berbagai pesantren, Syaikhona Kholil senantiasa menjalani hidup yang sangat prihatin, jauh dari kata mewah dan sempurna. Hal ini bukan dikarenakan ketidakmampuan dalam hal ekonomi, melainkan untuk menunjukan bahwasannya ia memiliki prinsip yang kuat dalam menjalani sebuah kehidupan. Ia sering menjadi khadam (pelayan) kiainya, mencuci baju, mengisi bak kamar mandi, mencucui piring, serta pekerjaan lainnya. Beliau juga sering menjadi juru masak bagi teman-temannya, sehingga ia mendapatkan makanan cuma-cuma.


Hidup prihatin inilah yang menjadikan ia kuat dalam menghadapi kehidupan. Bahkan, dalam beberapa kisahnya, beliau pernah menjadi kuli pemanjat kelapa yang dibayar 3 sen setiap 80 pohon kelapa. Apakah hasilnya dinikmati sendiri? Ternyata tidak, semua hasil yang didapatkan dari jerih payahnya beliau berikan kepada kiainya. Masya Allah


Meneladani Jejak dan Perjuangannya

Kisah pengembaraan Syaikhana Muhammad Kholil Bangkalan dalam mengembara untuk mencari ilmu dan kehausannya pada ilmu telah menjadi ibrah (pelajaran) dan uswah (teladan) bagi setiap santri dalam mendalami ilmu, bahwa belajar tidaklah sekadar membaca, menulis, menghafal, dan memahami, akan tetapi juga menghayati dalam rasa dan kebatinan yang paling dalam.


Keikhlasan dalam mencari ilmu sangat tampak darinya. Beliau tidak memperhatikan pahit getirnya kehidupan saat itu, karena yang ia kedepankan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha dengan ilmu yang didapatkan. Ia dapat membuktikan keikhlasannya ketika Allah swt mengujinya dengan hidup yang serba kekurangan, dan makan ala kadarnya melalui hasil keringatnya sendiri.


Selain itu, cinta, hormat, dan patuh kepada guru juga sangat tampat dari perangainya ketika mencari ilmu. Sikap ini dilakukan tentunya setelah berguru kepada siapapun. Apapun akan ia berikan kepada gurunya untuk membantu dan membuatnya ridha.


Di hadapan gurunya, beliau selalu siap bersedia untuk diperintah melebihi budak di hadapan tuannya. Dengan ibarat, “jangankan harta, nyawa pun siap untuk dipertaruhkan demi gurunya.”

 


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.