Warta

Dai Harus Mampu Ubah Tatanan Masyarakat

Jum, 29 September 2006 | 10:12 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam melakukan dakwah, seorang dai atau daiah tak cukup berbicara di atas panggung dengan mengutip berbagai ayat tentang keutamaan menjalankan ibadah tertentu, tetapi seorang dai harus bisa memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan membantu menyelesaikannya.

“Seorang dai harus mampu menggerakkan ummat untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya. Misalnya bagaimana mensikapi impor beras yang menyebabkan turunnya harga beras ditingkat lokal, dai harus bisa membantu solusinya,” tandas Khamami Zada, MA dari Lakpesdam NU dalam pelatihan kader Dai di PBNU, Jum’at.

<>

Karena itulah dalam hubungannya dengan masyarakat, seorang dai harus menyatu dan tanpa sekat sehingga mereka dapat merasakan apa yang dialami oleh ummat, termasuk problem-problem yang mereka hadapi

“Ini yang dilakukan oleh para kyai zaman dahulu yang menyatu dengan ummatnya, mereka selalu bertanya tentang problem-problem yang dihadapinya, mulai masalah keluarga, sakit, sampai pekerjaan. Sayang  pesantren sekarang terpisah dengan masyarakat karena ada tembok tinggi yang membatasinya,” tuturnya.

Upaya untuk melahirkan dai-dai yang bisa berdakwah sekaligus bisa melakukan perubahan-perubahan sosial tersebut telah dilakukan oleh Lakpesdam NU dengan mengadakan pelatihan dai transformatif, seorang dai yang mampu mentransformasikan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

Menurut Hamami yang menjadi manajer program kajian agama dan kebudayaan PP Lakpesdam tersebut, terdapat lima indikator dakwah transformatif. Pertama adalah materi dakwah telah mengarah pada persoalan-persoalan sosial seperti korupsi, kemiskinan dan penindasan. “Para dai tak hanya berkutat pada materi ubudiyah, tapi berusaha menjawab berbagai persoalan sosial yang timbul,” tandasnya.

Indikator kedua adalah perubahan dari monolog menjadi dialog dengan jamaahnya sehingga problem yang dihadapi masyarakat langsung dicarikan solusinya. “Dakwah dengan model dialog akan memancing keaktifan jamaah untuk berpartisipasi dalam perubahan social dalam dimensi keagamaan,” tuturnya.

Selanjutnya, para dai harus menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapat legitimasi yang kuat. Institusi memungkinkan adanya bargaining power yang lebih kuat terhadap negara, pelaku pasar dan masyarakat.

Factor keempat adalah adanya keberfihakan pada kaum mustada’fien untuk melakukan usaha-usaha sosial bagi kepentingan kaum tertindas di daerahnya seperti penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan petani. Rasa empati merupakan modal dasar melakukan langkah strategis dalam membantu korban penindasan.

Terakhir, para dai harus mampu melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap satu kasus yang dialami di daerahnya. Inilah puncak dari dai yang menggunakan pendekatan transformatif.

“Semua ini merupakan tantangan bagi para dai untuk membebaskan dirinya dari belenggu primordialnya sebagai elite agama yang selama ini dalam menara gading, hanya berceramah dan menasehati umat tanpa pernah melakukan upaya konkret terhadap kerja-kerja sosial,” tuturnya.

Contoh kongkrit kyai yang berhasil memerankan diri sebagai mediasi bagi perubahan sosial adalah KH Basith yang mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk Madura. Ia telah melakukan peran sebagai agen perubahan sosial. Peran yang sama telah dilakukan oleh KH Sahal Mahfudz di Pati dengan upaya peningkatan ekonomi disekitar pesantrennya.

Diakunya bahwa memang susah untuk melahirkan dai yang tansformatif. Dari 25 peserta pelatihan yang diselenggarakan oleh Lakepsdam NU beberapa waktu lalu, hanya sekitar 10 persen yang berhasil melakukan aksi di masyarakat lingkungan sekitarnya. (mkf)