Warta Pesantren Kauman Lasem 1

Dari Kendi Ciu Jadi Kendi Wudlu

Ahad, 14 Agustus 2011 | 04:12 WIB

Rembang, NU Online
Di negeri ini, bangunan berarsitektur China bukan hal aneh. Meski rezim Orde Baru memangkas banyak hal dari tradisi China, tapi bangunan ala negeri tirai bambu itu masih menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Mulai dari rumah, klenteng, hingga pernak-pernik material china masih mudah dijumpai di Tangerang, Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, Rembang, Surabaya, Madura, Pontianak, dan lain-lain. Tapi, pondok pesantren berarsitektur china, mungkin hanya satu di Indonesia, yaitu Pesantren Kauman, di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

<>Bangunan utama dari Pesantren Kauman ini merupakan rumah peninggalan seorang Tionghua. KH Zaim Ahmad Syakir, pendiri dan pengasuh pondok, adalah pemilik ketiga.

“Dalam sertifikat. Rumah ini dibangun tahun 1880. Go Ban San pemilik awal. Kemudian diwariskan ke anaknya, Go Teng Im. Sekarang ke Go Zaim..hahaha..” jelas Gus Zaim, demikian KH Zaim Ahmad Syakir biasa dipanggil.

Meski tidak ada petunjuk arah, pesantren Kauman mudah ditemukan. Dari Masjid Jami’ Lasem, yang di dalamnya ada makam Mbah Sambu, jaraknya tidak lebih dari 150 meter, ke Arah Selatan, jalan kaki.

Jika Anda datang ke pesantren itu, di mulut gang akan disambut pos ronda bergaya china, cat merah dan bentuk bangunan yang khas. Sisi kiri pos ronda ditulis hadits Nabi SAW dengan kaligrafi yang indah.

“Wa allahi la yu`minu! Man ya rosulallah? Al-ladzi la ya`manu jaruhu bawaiqohu,” demikian hadits yang ditulis dari atas ke bawah. Sisi kanan, hadits itu ditulis dengan huruf kanji. Dalam bahasa Indonesia hadits itu berbunyi, “Demi Allah tidak beriman! Siapa ya Rasul? Orang yang tetangganya diuat tidak aman.”

Arsitektur China yang paling khas dari bangunan adalah atap rumah, menjadi kental kechinaannya karena di pendopo rumah dipasang dua lampion besar dan dua lampion kecil. Di wilayah rukun warga sepuluh desa Karangturi ini, mayoritas penduduknya Tionghoa. “Hanya empat rumah yang Jawa,” kata Gus Zaim yang alumni pesantren Ploso Kediri dan Krapyak Yogyakarta.

“Sebetulnya rumah ini merupakan akulturasi antara China dan Jawa. Ruang tamu rumah China kan bukan berbentuk pendopo, tapi ini ada pendopo. Angin-angin rumah ini khas Jawa, tapi lubangnya yang berjumlah dua belas itu unsur China,” jelas Gus Zaim.

Rumah yang difungsikan sebagai tempat tinggal pengasuh dan keluarganya, serta kantor pesantren, juga menyimpan benda-benda keramik kuna peninggalan khas China. Rumah terdiri dari satu pendopo yang berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat ngaji, ruang tengah atau ruang keluarga 3 kamar keluarga dan satu kamar untuk kantor pesantren, serta ruang belakang yang berfungsi sebagai ruang makan dan dapur.

Saat ini, pesantren yang diresmikan tanggal 27 Ramadhan 1424 H atau 21 Nopember 2003 memiliki 300-an santri. Para santri putra menempati bilik-bilik kecil yang terbuat dari kayu yang berdiri di sisi kanan kiri rumah. Sementara asrama santri putri ada di belakang rumah. Di tengah udara Lasem yang panas karena dekat laut, pesantren dengan luas tanah 1622 meter tampak teduh. Di halaman ada satu pohon nangka, dua pohon mangga, satu jambu air yang sudah dipangkas dan kembang-kembang yang tertata rapi di depan rumah.

“Awalnya, saya pindah dari Soditan ke sini bukan untuk mendirikan pesantren. Pesantren ada di Soditan sana, saya masih ngajar di sana. Saya beli tahun 2001, mulai tinggal 2003. Saya nolak-nolak santri. Tapi tahun 2005 saya gak bisa nolak lagi. Ya, bismillah, akhirnya pesantren ini berdiri,” jelas Gus Zaim yang lahir tahun 1963. Soditan adalah kampung pesantren peninggalan kakeknya, KH Ma’soem Ahmad.

“Ya sudah, alhamdulillah kendi bekas ciu menjadi tempat wudlu..haha..Go Ban San pemilik pertama rumah ini usahanya ciu atau arak. Go Teng Im usaha batik,” ceritanya.

Siang itu, Kamis (4/8), Gus Zaim santai, menerima tamu dan dua orang jurnalis dari Semarang dan Jakarta. Selesai menemui para tamu. Ia menuju mushola kecil yang terbuat dari kayu jati tua, di depan rumahnya. Ia duduk di dekat pintu, di antara santri perempuan yang di suah menunggu di dalam dan santri laki-laki yang duduk di serambi musola. Ngaji pun dimulai. Bismillahhirohmanirohim...

Penulis: Hamzah Sahal