Warta BALADA PESERTA KONGRES PMII

Gadaikan Motor, Tak Sampai Tujuan

Jum, 21 Maret 2008 | 08:57 WIB

Jakarta, NU Online
Militansi kader-kader PMII memang tak diragukan. Dengan segala keterbatasannya, mereka berusaha mati-matian untuk bisa berangkat ke arena kongres ke-XVI PMII pada 17-21 Maret di Batam, namun sayangnya sejumlah kendala yang menghadang membuatnya terdampar di Jakarta.

Tio (19) bukan nama sebenarnya, dari PMII cabang Wajo Sulsel mengaku menggadaikan motornya agar bisa berangkat ke Batam. Hal yang yang sama juga dilakukan oleh dua temannya.

<>

Dengan modal seadanya atau bondo nekad (bonek) itu, mereka bersepuluh berangkat dari Wajo ke Makassar dengan mobil angkutan yang ditempuh selama 5 jam, lalu dari Makassar naik kapal laut selama dua hari ke Jakarta dan berharap bisa berangkat dengan pesawat ke Batam. Diatas kapal mereka juga bertemu dengan teman-temannya dari Indonesia Timur dengan tujuan yang sama.

Musibah yang menimpa Adam Air membuat sebagian peserta yang memegang tiket maskapai yang sudah beberapa kali kecelakaan ini batal berangkat sementara untuk berangkat dengan pesawat lain harga sudah terlanjur mahal karena adanya libur panjang. Para peserta dan penggembira kongres tersebut akhirnya harus tidur seadanya di sejumlah tempat di Jakarta. “Kami terpaksa tidur di musholla PBNU, entah sampai kapan,” katanya.

Untuk bisa bertahan hidup ia dan teman-temannya hanya makan sekali sehari di siang hari, sementara pagi dan malam cukup minum kopi. “Makanan disini mahal mas, dua kali lipat harganya daripada di Makassar, kami harus ngirit,” katanya.

Pemerintah daerah katanya memang memberi bantuan untuk berangkat ke arena kongres, namun jumlahnya sangat terbatas. Dikatakannya, PMII disana memang dianggap oposisi karena saat ini memperjuangkan tanah ulayat yang diambil alih oleh para pejabat dan pengusaha. “Nga papa kami dianggap oposisi, yang penting memperjuangkan rakyat,” tuturnya.

Untungnya, perjalanan mereka direstui oleh rektor tempat mereka belajar yang juga menjadi rais syuriyah di PCNU Wajo. “Kami dipermudah izinnya karena untuk mempertahankan ajaran aswaja,” tandasnya.

Untuk mengisi waktunya selama di Jakarta yang baru pertama kali dikunjunginya, mahasiswa semester dua ini menyempatkan diri muter-muter dengan menyewa bajaj. Monas dan Bundaran Hotel Indonesia (HI) menjadi salah satu tujuan favorit. “Sebenarnya kami ingin keliling Jakarta, tapi gimana lagi, nga punya uang,” ujarnya.

Sebenarnya di Jakarta, ia mengaku memiliki banyak saudara, tetapi meskipun dalam kondisi sangat terbatas, ia merasa malu untuk meminta bantuan. “Takut ngrepotin,” katanya singkat.

Satu hal yang kini masih menjadi harapannya adalah bisa mencium tangan Gus Dur agar mendapat barokah. Ia mengaku sudah menunggu berjam-jam di depan gedung PBNU, sayangnya pas Gus Dur datang, tangannya lagi sakit sehingga tidak bisa bersalaman. “Ya, yang penting sudah niat mas. Kira-kira hari apa saja mas Gus Dur ke sini,” katanya dengan penuh harap.

Bulan lalu, ia sempat bertemu dan berfoto bersama dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang waktu itu berkunjung ke Wajo. “Rasanya senang sekali bisa foto dengan Cak Imin,” ujarnya polos.

Nasib yang sama juga dialami oleh kader-kader PMII dari Papua. Mereka bahkan harus melakukan perjalanan melalui kapal laut selama 5 hari. Kini mereka hanya bisa menunggu hasil musyawarah tersebut. Yang masih bisa berharap ke sana adalah para ketua cabang yang memiliki hak suara untuk memilih ketua umum. Perbincangan mengenai harga tiket terdengar diantara mereka.

“Sekarang tiket 800 ribu, sudah turun, kemarin satu juta lebih,” ujar seorang kader berkulit gelap kepada temannya.

Kini yang difikirkan oleh Tio adalah bagaimana bisa segera pulang dan segera menebus kembali motornya dari kantor pegadaian. “Kita sudah habis-habisan, tapi nga sampai juga. Motor masih tergadai pula,” katanya dengan logat Bugis yang kental.

Paling tidak, kini ia sudah mengunjungi ibu kota Indonesia, dan bertemu Gus Dur secara langsung yang biasanya hanya bisa dilihat melalui TV. (mkf)