Warta

Gus Mus: Bersuci dari Najis 'Mughalladhah' dengan Debu Bisa Diganti Sabun

Sab, 24 Desember 2005 | 13:10 WIB

Surabaya, NU Online
Tokoh Nadlatul Ulama (NU), KH Mustofa Bisri (Gus Mus) berpendapat bahwa umat muslim yang ingin bersuci setelah menyentuh najis mughalladhah (berat) yang harus disiram air tujuh kali dan salah satunya harus menggunakan debu bisa diganti dengan sabun.

 

"Tidak masalah kalau itu diganti dengan sabun. Dalam banyak ayat di Al Quran, Allah itu menyebutkan tidak memberatkan umatnya. Ayat mengenai itu sangat banyak ditemui dalam Al Quran," katanya, Sabtu.

 

Gus Mus mengemukakan hal itu mengomentari pernyataan anggota Komisi E DPRD Jatim, Imam Ghozaly Aro yang menyebutkan adanya kegundahan ribuan TKW muslim yang bekerja di Hongkong mengenai cara bersuci karena setiap hari mereka memasak daging babi.

 

"Di Hongkong mereka kesulitan mencari debu karena tinggal di apartemen yang sampai tingkat 25 dan di bawah sendiri sulit karena tanahnya diaspal. Selain itu masak setiap mau shalat mereka mau bersuci dengan debu. Ini yang perlu dicarikan jalan keluar oleh ulama," kata Imam.

 

Menurut Gus Mus, penggantian debu dengan sabun itu bukan hanya dalam konteks karena kondisi di Hongkong itu tergolong darurat, tapi atas pertimbangan memberatkan atau tidak. Dikatakannya bahwa bersuci itu tidak usah dengan peraturan yang sangat ketat sehingga memberatkan.

 

Pengasuh Pesantren "Roudatut Thalibin", Rembang, Jateng itu mengakui bahwa memang banyak pendapat mengenai hal tersebut yang disebut dengan "furuiyah" (perbedaan pandangan), antara lain dikenal dengan empat madzhab, yakni Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi.

 

"Selain itu dibawahnya ada lagi, seperti Imam Rofi’i, Imam Nahrowi dan lainnya. Itu malah lebih rinci lagi perbedaannya mengenai pembahasan terhadap hukum fiqih," kata ulama yang dikenal sebagai sastrawan, penyair dan pelukis itu.

 

Ditanya apakah NU sendiri sudah pernah membahas masalah tersebut, ia mengemukakan, tidak tahu persis. Ia mempersilahkan untuk menghubungi sejumlah kiai yang memang menangani masalah tersebut.

 

Seperti diketahui jumlah TKW di Hongkong saat ini berjumlah sekitar 97.000 orang dan sekitar 85.000 diantaranya adalah muslim. Dari seluruh TKW itu memang tidak semuanya bekerja sebagai juru masak di dalam keluarga.

 

"Jumlah TKW yang menjadi tukang masak itu mencapai sekitar 50.000 dan selebihnya menjadi penjaga rumah, pengasuh anak dan pengasuh orang jompo," ujar Imam Ghozaly.

 

Ia menjelaskan, dalam hal pelaksanaan ibadah, majikan para TKW itu sebetulnya sangat toleran. Bahkan majikan mereka selalu memberikan uang belanja lebih kepada TKW agar bisa membeli makanan yang dinyatakan halal secara hukum Islam.

 

Menurut dia, mereka itu juga mendapatkan jatah libur pada hari Minggu atau Sabtu. Saat libur itu mereka selalu berkumpul di sebuah taman kota bernama "Victory Park" dengan menggelar berbagai kegiatan, termasuk pengajian atau majelis taklim, membaca "dziba’" (membaca puji-pujian untuk Nabi Muhammad) dan lainnya.

 

"Tapi mereka selalu galau menyangkut syarat sahnya shalat dalam kaitan dengan bersuci. Mereka selalu bertanya, bagaimana ibadah saya ini? Padahal ada di antara mereka ada yang hafal Al-Quran, berasal dari Kediri, Jatim," ucapnya.

 

Dikatakannya, para TKW itu sangat kesulitan kalau harus menghindari masakan dengan daging yang diharamkan itu karena memang sudah menjadi budaya makan para majikannya.

 

"Karena itu sangat sulit untuk menyuruh mereka agar menghindari menyentuh daging tersebut. Pencarian dasar dari para ulama itu sangat penting agar para TKW yang menyumbang devisa cukup banyak bagi bangsa ini dapat hidup dengan tenang saat bekerja di negeri orang," ujar dia. (ant/mkf)