Warta

Gus Sholah: Saatnya NU Tumbuhkan Budaya Kerja

NU Online  ·  Senin, 14 April 2008 | 03:02 WIB

Bogor, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Ir KH Salahuddin Wahid yang akrab disapa Gus Sholah mengatakan, sudah saatnya Nahdlatul Ulama (NU) menumbuhkan budaya kerja nyata dan meningkatkan amal usaha sosial. Hal ini merupakan keniscyaan jika NU menginginkan manfaat keberadaannya semakin dirasakan masyarakat.

“Budaya kerja kita sangat lemah. Itulah realitas yang harus kita akui dengan jujur," kata Gus Sholah saat menghadiri undangan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam acara Maulid Nabi SAW 1429 H bertajuk ”Membangun Sinergi antara Dunia Pesantren dan Kampus,” Ahad (13/4), di Kampus IPB Bogor.<>

Menurut pengamatan Gus Sholah, dari sekian banyak lajnah, badan otonom, maupun lembaga di lingkungan NU, hanya Muslimat yang memiliki budaya kerja yang baik. Selain itu, program yang digagas sudah terencana dan mesin organisasi dapat berjalan efektif.

Tak heran, lanjutnya, Muslimat kini terdepan di NU dalam hal amal usaha nyata. Pasalnya,selain mengelola sekolah formal, Muslimat juga mengelola rumah sakit dan berbagai layanan sosial, yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.

“NU perlu mengembangkan apa yang sudah dijalankan Muslimat. NU harus mulai menumbuhkan budaya kerja. Lemahnya kesadaran bekerja, harus dapat diatasi. Jangan hanya budaya bicara yang ditumbuhkan. Karena masyarakat melihat amal nyata yang kita lakukan,” papar mantan Anggota Komnas HAM ini.

Selain itu, lanjut Gus Sholah, NU juga perlu memperbaiki budaya organisasinya, karena selama ini budaya dan etika organisasi di NU masih lemah. Dikatakannya, struktur keorganisasian NU masih mengalami kerancuan, sehingga sering terjadi konflik internal yang merugikan kepentingan jam’iyah dan jamaah NU.

Gus Sholah juga menyoroti pentingnya sinergi antara kalangan Nahdliyin di pesantren dengan mereka yang berkutat di kampus, terutama di kampus umum yang berbasis ilmu eksakta. ”Jangan ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. NU membutuhkan dua-duanya,” tegas Ketua PBNU 1999-2004 ini.

Lebih lanjut ia menyampaikan, dikotomi antara ilmu umum dan agama masih kerap terjadi di kalangan Nahdliyin. Padahal baik ilmu umum maupun ilmu agama, sama-sama dianjurkan dalam Islam. “Kalau kita mengesampingkan ilmu umum, sama halnya dengan kufur kepada ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat alam semesta seperti fisika, matematika, dan kimia, sebagai tanda kebesaran Tuhan),” tandasnya.

Dalam kondisi sekarang, sambung adik kandung Gus Dur ini, dikotomi tersebut sudah tidak relevan lagi. Minat mengkaji ilmu-ilmu umum sudah saatnya dikembangkan di lingkungan NU, sehingga NU memiliki tenaga-tenaga SDM yang terampil dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.

“Karena itu, kurikulum pesantren di lingkungan NU perlu dimodifikasi dan dikembangkan lagi, disesaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Kurikulum yang dikembangkan harus memiliki kejelasan orientasi, yakni mau jadi apa kelak santri setelah keluar dan terjun di masyarakat.”

Sebagai wujud apresiasi terhadap minat ilmu umum, dalam waktu dekat ini Pesantren Tebuireng dan pesantren-pesantren lain di Jombang, akan membuat sebuah jaringan televisi, untuk memuat pemberitaan pesantren. “Ini rencana yang kami ingin kembangkan, sebagai langkah untuk menumbuhkan minat kepada ilmu umum sekaligus guna memperkuat eksistensi pesantren di tengah masyarajkat,” katanya. (hir)