Warta SIMPOSIUM LAKPESDAM NU MESIR (2)

Hasan Hanafi: Hendaknya Islam ‘Dibumikan’

Ahad, 7 November 2010 | 06:09 WIB

Kairo, NU Online
Pemikir muslim terkemuka Hasan Hanafi menyatakan, hendaknya Islam dibumikan pada tempat dan kondisi tertentu, melalui penyesuaian dengan kultur-budaya masyarakat setempat.

Hal ini seperti apa yang sudah dipraktikkan melalui pesantren-pesantren yang bertebaran di Indonesia. Peranan pesantren ini telah menjadikan tranformasi Islam lebih cepat dan mudah diterima oleh banyak kalangan di Indonesia.<>

Pendekatan Islam kultural ini, bagi Hasan Hanafi adalah potret Islam yang membumi. Menurutnya, Islam yang membumi merupakan representasi Islam yang tidak hanya berkutat pada struktur, tapi lebih mengedepankan kultur.

Bahkan disinggung di awal pembicaraannya, bagaimana sikap-sikap Gus Dur terhadap setiap fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Dia juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para kader NU yang mampu berdinamika dengan baik dan konsisten dalam bidang keilmuan di Indonesia.

Bagi Hasan Hanafi, Indonesia adalah percontohan Islam kultural. Menurutnya, Indonesia adalah ka`bah Islam di Asia, sebagaimana Mesir ka`bah Islam di dunia Arab (Indonesia ka’bah al-Islam fi Asia kamâ anna Mashr ka’bah al-Islam fi duwal al-‘arabiyyah).

Selanjutnya, Hasan Hanafi memaparkan bahwa gerakan-gerakan Islam berakar dari imperialisme Barat sebagai faktor eksternal (al-`âmil al-khârijiy) kemunculannya. Faktor eksternal ini tak hanya terjadi di Negara Arab, melainkan juga di Indonesia. Disamping itu, pelbagai ‘benturan pemikiran’ dalam tubuh umat Islam ditengarai sebagai faktor internal (al-`âmil al-dâkhiliy) yang melandasi gerakannya. Maka, gerakan Islam (al-harakât al-Islâmiyah) sejatinya merupakan fenomena sosial yang terlahir dari faktor-faktor yang melingkupi, baik eksternal ataupun internal.

Dari perbedaan latar belakang kelompok pergerakan tersebut, seruan mereka sebenarnya berkisar pada; Pertama, Islam adalah solusi (al-Islam huwa al-hâll) untuk pelbagai ketimpangan sosial. Kedua, Islam adalah alternatif (al-Islam huwa al-bâdil). Pada saat masyarakat merasa sistem sosialisme gagal, kapitalisme ambruk, mulai muncul perasaan bahwa Islam adalah alternatif terbaik dari sistem itu semua.

Ketiga, kedaulatan Tuhan (al-hâkimiyah liLLah); berawal dari model kepemimpinan manusia (basyar) yang gagal, mereka pun mengembalikan pada Tuhan sepenuhnya. Keempat, penerapan Syariat Islam; mereka merasa dengan penerapan syariat Islam akan bisa merubah keadaan menjadi lebih baik. Sayangnya mereka selalu berpijak pada pembacaan Islam klasik, dengan mengabaikan sekat ruang-waktu.

Sehingga yang muncul adalah paradigma pembacaan Islam yang arogan, baik arogansi teologis maupun fikih. Tentunya, sikap eksklusif dan anti dialog ini seringkali berakhir dengan kekerasan. Padahal, dimensi ruang-waktu ini sangat diperhatikan Islam, dengan hadirnya konsep nasikh-mansukh yang sangat berkelindan kuat dengan konsep mashâlih. Konsep ini sangat penting agar terbentuk relevansi agama dengan fenomena sosial. (Ahmad Hadidul Fahmi)